Mohon tunggu...
Raa Tyas Putri
Raa Tyas Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia pereat mundus - sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Senyum Zara

20 Agustus 2024   19:30 Diperbarui: 20 Agustus 2024   19:37 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Zara dikenal sebagai sosok wanita yang serius dan terkesan judes. Teman-temannya sering mengatakan bahwa dia seperti gunung es, dingin seolah tidak memiliki hati dan perasaan. Namun, Zara terkadang juga bisa menjadi sosok yang sehangat matahari pagi. Saat itu senyum Zara selalu terukir di sudut bibirnya. Mereka tak ada yang tahu, di balik senyum yang terkadang terpancar di wajah Zara itu, menyimpan rahasia yang hanya ia bagi dengan dirinya sendiri dan beberapa orang terdekat: Zara adalah seorang penyintas bipolar.

Seperti roller coaster yang tak pernah berhenti begitulah Zara melukiskan tentang hidupnya. Di satu sisi, ada saat-saat ketika dia merasa seolah bisa menaklukkan seisi dunia. Ide-ide mengalir tanpa henti seperti air sungai yang deras, setiap langkah terasa ringan, seakan dia bisa terbang tinggi dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Zara mampu bekerja sepanjang malam tanpa lelah, menyelesaikan segala tugas yang bahkan mustahil karena kesulitannya, dan masih tetap memiliki energi untuk bersenang-senang keesokan hari bersama teman-temannya. 

Ada masa-masa ketika dia merasa dunia terasa begitu berat. Saat bangun tidur menjadi tantangan terbesar dalam hidupnya, dan hal-hal kecil yang dulu membahagiakan kini tidak lagi memunculkan minatnya. Di masa-masa itu, Zara merasa terjebak dalam lorong panjang gelap yang tak berujung, pikirannya pun dipenuhi dengan keraguan dan rasa takut. Saat-saat seperti inilah, senyuman Zara sering menghilang dan meninggalkan kesan keras, galak dan judes di mata orang-orang. 

Pagi itu, Zara duduk dan menatap bayangannya di cermin ketika selesai menyapukan riasan tipis di wajahnya. Hari ini, dia harus menghadiri rapat penting di kantor. 

"Kamu bisa melakukannya, Zara." Zara berbisik pada diri sendiri, mencoba menggali resah yang seolah membuat semangat dalam dirinya terkubur. 

Dia kembali meraih parfum favoritnya, aroma buah peach selalu berhasil membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Namun, tangan Zara gemetar saat mencoba menyemprot parfum tersebut ke pergelangan tangannya. Buliran kristal bening mulai menetes dan membasahi pipi wanita ini.

"Kenapa aku tak bisa mengendalikan diri?" pikir Zara jengkel pada dirinya sendiri. 

Padahal seminggu yang lalu, dia merasa berada di puncak dunia, menyelesaikan semua tugas-tugas yang menumpuk dengan cepat dan merasa penuh semangat. Namun sekarang, dia bahkan harus berusaha sekuat tenaga demi menggerakkan tangannya. Zara merasa dia mulai depresi, fase yang paling mengerikan untuk para penyintas bipolar seperti dia. Kali ini dia merasa perasaan putus asanya itu tidak bisa diabaikan. 

Zara menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ini bukan pertama kali dia merasakan fase depresi. Fase ini sudah menjadi bagian dari hidupnya sebagai penyintas bipolar. Dia sudah terbiasa dengan perubahan suasana hati yang tak terduga ini, namun itu tidak membuatnya menjadi lebih mudah.

Ingatan Zara kembali pada masa di mana ia pertama kali didiagnosis beberapa tahun yang lalu. Saat itu, dia merasa dunianya runtuh. Dia tidak menyangka jika seseorang yang tampak begitu 'normal' seperti dirinya, ternyata memiliki gangguan yang begitu serius?

Seiring waktu berlalu, Zara belajar bahwa menerima keadaan yang ia alami adalah langkah pertama menuju pemulihan. Sayangnya, hanya segelintir orang yang mau mengerti dan membantu Zara. Dia pun mandiri belajar tentang perubahan mood-nya dibantu dengan terapis yang menanganinya.

Akan tetapi, hari ini terasa lebih sulit dari biasanya. Mungkin karena tekanan pekerjaan yang semakin berat, atau mungkin karena harapan yang selalu ia paksakan pada dirinya sendiri untuk menjadi 'sempurna'. Zara selalu takut mengecewakan orang-orang di sekitarnya, terutama mereka yang tidak tahu tentang kondisi mentalnya. Dia khawatir jika mereka tahu, mereka akan memandangnya dengan cara yang berbeda.

Ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Itu pesan dari Aiz, pria yang sudah enam tahun ini jadi kekasihnya. 

"Kamu baik-baik saja? Aku bisa menjemputmu jika kamu butuh teman bicara," bunyi pesan tersebut. 

Aiz adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu tentang kondisi Zara. Dia selalu ada, tanpa menghakimi, hanya mendengarkan dan memberikan dukungan yang dibutuhkan. Bahkan pria ini selalu mengalah ketika mood Zara sedang berantakan. 

Zara meraih ponselnya, mengetik jawaban singkat, "Aku baik-baik saja, terima kasih." Dia ragu untuk menekan tombol kirim di ponsel. 

Dia menyadari kalau dia sedang tidak baik-baik saja saat ini. Zara sedang berjuang keras hanya untuk menjaga kepalanya tetap di atas air, dan berpura-pura tidak akan membantunya.

"Aku butuh bantuan." Zara menulis ulang pesan tadi dan mengirimnya kepada Aiz.

"Bisakah kita bicara sebentar?" Zara kembali menekan tombol kirim, merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Mungkin, dia tidak harus melalui ini sendirian. Mungkin, dia tidak harus selalu kuat.

Beberapa menit kemudian, Aiz tiba di apartemen Zara. Mereka duduk bersama di sofa, pria ini mendengarkan dengan tenang saat Zara menceritakan perasaannya. 

"Kamu tahu, Zara, tidak apa-apa merasa seperti ini. Yang penting, kamu tidak menyimpan semuanya sendirian." Kalimat yang menenangkan terlontar lembut dari Aiz, ia menggenggam tangan Zara seakan ingin memberi kekuatan untuk kekasihnya yang rapuh itu. 

Zara mengangguk, merasa sedikit lebih ringan. Meskipun perjalanan ini masih panjang dan tidak mudah, dia tahu bahwa dia tidak sendiri. Di balik senyum yang sering dia kenakan sebagai topeng, ada warna-warna emosi yang rumit, tetapi dia bertekad untuk terus melangkah maju, satu hari demi satu hari, dengan dukungan orang-orang yang mencintainya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun