Mohon tunggu...
Rudi Hartono
Rudi Hartono Mohon Tunggu... -

Suka dengan dunia penulisan, membaca buku, jurnalisme, aktivis pergerakan, dan politik. Sangat mengagumi Bung Karno, pemimpin terkemuka dan ideolog perjuangan pembebasan nasional bangsa ini, seperti juga Nehru, Nkruma, Tito, Zhou Enlai, dan beberapa pemimpin negara baru merdeka.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemana Bola Liar Century?

29 Maret 2010   07:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:07 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_105211" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi soal "bola liar skandal Bank Century". sumber photo: jakartapress.com"][/caption]

Bagi sebagian besar pengamat politik, sidang paripurna DPR dan keputusannya adalah akhir dari sebuah “drama panjang”, yang pelakonnya adalah partai politik di parlemen dan kekuasaan politik di tangan SBY-Budiono. Mereka telah memperkuat dugaan, bahwa pandangan akhir dan keputusan paripurna akan menjadi “sirine” untuk mengakhiri konflik politik.

Namun, pada kenyataannya, meskipun kedua belah pihak merasa terpuaskan dan meraih kemenangan, namun tidak demikian dengan publik –Rakyat Indonesia. Publik Indonesia telah berharap sebuah penyelesaian “tuntas” suatu skandal, dan tidak menghendaki sebuah kompromi politik menunda ataumenginterupsi tujuan tersebut.

Drama politik yang menegangkan di senayan itu tidak memuaskan rakyat, pihak yang paling berkepentingan dengan perbaikan hukum dan keadilan di negeri ini. Meskipun secara mayoritas fraksi dan anggota parlemen memutuskan ada pelanggaran terkait bailout, namun rekomendasinya sangat mandul dan menciptakan banyak celah untuk “mengkerangkeng” kasus ini dalam ruang legal-formal belaka.

Awal Petaka “kompromi Politik

Sebelum pembacaan kesimpulan akhir di rapat paripurna DPR, sejumlah media massa telah menurunkan berita utama mengenai “bau” kompromi politik antar partai-politik, yang diduga dilakukan di belakang layar. Akan tetapi, bagi saya, proses kompromi politik sudah terjadi jauh-jauh hari, setidaknya sejak awal pembentukan pansus ini.

Pertama, Dalam logika politik, dimana perimbangan oposisi dan penguasa harus terjaga, partai politik pendukung pemerintah telah dibiarkan masuk untuk mengisi komposisi pansus hak angket, serta membiarkan kepemimpinan diserahkan kepada tokoh yang tak mengeluarkan keringat dalam proses penggalangan dukungan.

Kedua, perdebatan di dalam pansus dipaksa bersifat normatif, yakni aspek-aspek pelanggaran dalam pengucuran duit sebesar Rp6,7 T, bukan mempertanyakan validitas keputusan pemerintah untuk bersandar kepada bailout, sebagai strategi utama menghadapi dampak krisis financial.

Ada perdebatan sengit soal itu saat pansus menghadirkan para ekonomi, namun itu segera tertutupi dengan diskusi-diskusi normatif dalam pengambilan kebijakan. Apalagi kehadiran partai penguasa di dalam pansus, turut mempengaruhi ritme pansus untuk sekedar berbicara aspek verbal, bukan sesuatu yang substansi.

Ketiga, meskipun Pansus mendapat dukungan kuat dari gerakan di luar parlemen, namun itu tidak dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh partai oposisi dan pengusung hak angket. Padahal, komposisi partai pengusung hak angket ini tidak sepenuhnya bersih dari persoalan hukum dan politik, terutama kasus korupsi, sehingga mereka sering disering diperhadapkan pada ancaman—saling membongkar kasus korupsi.

Keempat, dalam mendefenisikan siapa pihak yang patut bertanggung jawab dalam kesalahan ini, pansus terlalu mengarahkan bidikannya kepada penanggung jawab di lapangan, dan tidak menyinggung sama sekali otak pengambil kebijakan di markas besar. Karena hanya membidik operator di lapangan, maka sulit bagi pansus untuk mengurai rangkaian kejahatan dalam kasus ini dan siapa pelaku utamanya.

Rekomendasi Abortif

Saya mendefenisikan dua jalur berbeda untuk mengungkap kasus bank century ini, tentunya dengan proses dan target yang berbeda. Pertama, proses hukum, ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi adanya pelanggaran hukum dalam kasus ini, seperti penyalah-gunaan kekuasaan yang menyebabkan kerugian negara, dan sebagainya. Kedua, proses politik, bertujuan untuk memeriksa kebenaran politik dari kebijakan pemerintah, apakah kebijakan tersebut dapat dibenarkan atau tidak berdasarkan konstitusi negara.

Terkait kasus ini, proses hukum baru sebatas menangkap Robert Tantular, pemimpin Bank Century, belum ada proses hukum lanjutan. KPK sendiri, yang di tangannya terletak harapan publik yang sangat besar, justru terlihat sangat lamban merespon kasus ini.

Rapat paripurna DPR memperlihatkan, bahwa pansus telah mengaborsi proses politik dengan menawarkan rekomendasi hukum, yang derajatnya tentu sangat jauh berada di bawah keharusan rekomendasi politik. Hasil dari proses politik berbulan-bulan kinerja pansus tidak menghasilkan capaian politik apapun, bahkan untuk sekedar menyentuh kepada siapa kesalahan politik ini harus dilemparkan.

Sekarang, rekomendasi hukum itu paling banter berbuah reformasi birokrasi, seperti yang sekarang ini dijalankan oleh satgas mafia hukum. Supaya terkesan sukses dan berhasil, maka dipilihlah target-target tertentu, seperti penjara Artalyta, kasus gayus di dirjen pajak, dan semacamnya, namun ada begitu banyak kasus serupa lainnya yang diendapkan.

Merenungkan keputusan DPR ini, aku langsung teringat dengan pernyataan seorang aktivis kiri Brazil, Frei Betto, bahwa ““Aku merasa seperti sedang menunggu kura-kura. Pada kenyataannya, yang lebih buruk, adalah bahwa kura-kura itu berjalan pada arah yang lain”. Inilah yang terjadi dengan kinerja pansus dan paripurna DPR ini.

Serangan Balik

Kesimpulan paripurna DPR bukan akhir daridrama panjang kasus Century, melainkan sebuah titik balik yang menguntungkan bagi penguasa. Jika pada saat sebelumnya, isu Century menjadi senjata opensif bagi kalangan oposisi, maka sekarang ini merupakan periode “serangan balik” pihak pemerintah.

Periode opensif balik dimulai saat SBY menyampaikan pidato tanggapan, namun sebetulnya lebih tepat dikatakan sebagai pidato perlawanan atau bantahan. Karena, di dalam pidato tersebut, SBY justru menyatakan pembelaan politik terhadap dua orang koleganya yang sedang tersandera rekomendasi DPR, Budiono dan Sri Mulyani. Segera setelah SBY terlihat bersedia pasang badan, Budiono pun menyatakan ketidaksediaannya untuk mundur, seperti yang dianjurkan oleh berbagai gerakan oposisi.

Beberapa hari kemudian, kekalahan DPR seperti akan membalikkan situasi situasi politik, dan giliran pemerintah untuk unjuk gigi. Sekali lagi DPR ingin memberikan perlawanan, yaitu melalui gerakan pemboikotan terhadap Sri Mulyani, tetapi isu ini kurang popular dan malahan menjatuhkan kredibilitas politik DPR.

Dalam kesempatan pidatonya pada acara pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) I Partai Demokrat Tahun 2010 di Kemayoran, Sabtu (28/3), SBY telah memerintahkan proses hukum kepada pihak-pihak yang telah menuding partainya terlibat skandal Bank Century. Dengan begitu percaya diri, SBY telah memulai serangan terbuka kepada lawan-lawan politiknya.

Critical Suppor untuk DPR dan Gerakan Anti-korupsi

Syarat-syarat untuk tekanan politik di luar parlemen sangat kecil, karena sebagian besar kalangan pergerakan tidak memandang isu ini strategis. Sehingga, karena faktor itu, sebagian besar publik terpaksa meletakkan harapan pada kinerja pansus dan proses politik di parlemen.

Proses politik di parlemen lebih banyak dimainkan oleh kekuatan kepentingan, sedang unsur pro-rakyat di dalamnya tidak sanggup memainkan peranan signifikan dalam menggalang dukungan, baik di dalam parlemen sendiri maupun di luar parlemen. Berkali-kali politisi pengusung hak angket, seperti Maruar Sirait, mendatangi tokoh-tokoh politik nasional untuk mencari dukungan, namun apa yang didapatkan tidak terlalu berpengaruh.

Di luar parlemen, berbagai spectrum gerakan yang konsisten mengusung isu skandal Bank Century, khususnya gerakan mahasiswa, gagal menemukan titik serang bersama. Bahkan, karena ketiadaan titik serang dan perencanaan yang baik, gerakan mahasiswa di Makassar bisa diubah menjadi kerusuhan.

Ada beberapa posisi yang harus ditegaskan untuk mengambil-alih kembali bola liar skandal Bank Century. Pertama, Menuntut DPR untuk segera menaikkan derajat tekanan politiknya menjadi hak menyatakan pendapat. Terkait hal itu, kubu Cikeas bisa saja menggunakan kasus-kasus seperti LC fiktif dan korupsi sebagai bargain dan amunisi untuk serangan balik. Untuk mencegah serangan balik seperti itu, DPR harus mempersilahkan anggotanya diperiksa sesuai proses hukum yang adil dan sehat, namun tetap konsisten dalam menjalankan niatan politik ini.

Kedua, mengajak gerakan rakyat untuk menciptakan ruang untuk mempertemukan proposal anti-korupsi dan anti-neoliberalisme dengan sektor luas massa rakyat, dan ini dapat dicapai melalui ruang-ruang seperti konsultasi kerakyatan, referendum, dan plebisit.

Cara ini, meskipun sering diboikot dan diblokade media mainstream, namun dapat dilakukan dengan mengetok “pintu ke pintu” rumah rakyat, berdiskusi dengan mereka, dan menanyakan sikap mereka terhadap proposal kita. Tanda tangan yang terkumpul dalam jumlah besar, dapat menjadi alat untuk melakukan dorongan politik lebih luas, bahkan bisa dipergunakan untuk menarik mandat eksekutif (presiden).

Ketiga, gerakan rakyat sudah harus menggabungkan isu korupsi dan ketidakmampun rejim neoliberal untuk menciptakan pemerintahan bersih. Reformasi birokrasi harus ditelanjangi kepalsuaannya, misalnya, bahwa reformasi di Depkeu hanya naik gaji tanpa perubahan perilaku dan etos kerja. Selain itu, reformasi birokrasi yang dikomandoi administratur neoliberal ini akan menghabiskan anggaran sebesar Rp18,1 T di RAPBN 2010, yang sebagian besar diperoleh dari pinjaman Bank Dunia. Output dari reformasi birokrasi, seperti yang didengun-dengunkan oleh Sri Mulyani, adalah kasus Gayus di Dirjen pajak.

Bagaimanapun, reformasi birokrasi palsu ini telah menelan anggaran terlampau besar, sementara program subsidi dan jaminan sosial semakin dipangkas. Disamping itu, kasus gayus sangat menakutkan bagi kalangan pembayar pajak, khususnya kelas menengah. Untuk itu, gerakan anti-korupsi harus bersanding dengan gerakan “tolak bayar pajak”, sebagai ekspresi perlawanan terhadap administrator neoliberal yang memang korup.

*) Rudi Hartono adalah peneliti di Lembaga Pembebasan, Media, dan Ilmu Sosial (LPMIS) dan pengelola Jurnal Arah Kiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun