Pada awalnya, ketika Uruguay baru saja melepaskan diri dari penjajahan Spanyol pada tahun 1830, ruang politik didominasi oleh dua faksi politik besar; the Blancos of the National Party, yang mewakili tuan tanah di pedesaan, dan para colorados dari partai Colorado, yang mewakili segelintir elit di perkotaan. Pada abad 20 ini, kedua faksi politik ini mengubah arena politik Uruguay menjadi sistim dual party, mirip dengan sistim politik di Amerika serikat.
Dengan iklim politik seperti itu, kehadiran kekuatan politik ketiga sangat tidak memungkinkan untuk memangkan pemilu, dan menurut perkiraan para analis politik, paling banter mereka mengantongi 12% suara. Sebagian besar masyarakat Uruguay---yang dikenal sulit ditebak loyalitasnya—sangat dipengaruhi oleh kedua partai politik itu hanya karena factor tradisi, bukan persoalan politik ataupun ideologi.
Pada tahun 1904, Uruguay memasuki sejarah politik modern, bertepatan dengan terpilihnya seorang nasionalis progressif, Jose Batlle y Ordonez, sebagai presiden. Dia merupakan presiden paling progressif di masanya, dengan memobilisasi pekerja imigran dan penjaga toko ke dalam sebuah koalisi politik sosial demokrasi, dan mengubah Uruguay menjadi negara pertama di benua ini yang menganut model kesejahteraan dan sistim demokrasi.
Semenjak itu, Uruguay memasuki era kesejahteraan, sebuah bangsa yang egaliter untuk 2-3 juta penduduknya, dimana negara memainkan peranan penting di bidang ekonomi, pemberantasan buta huruf, pengurangan kemiskinan, dan sebagainya. akan tetapi, kemajuan ekonomi ini dihasilkan dari sebuah struktur ekonomi yang begitu bersandar kepada ekspor daging dan kulit ke negara-negara eropa. Ketika pasar produk Uruguay runtuh bersamaan dengan meletusnya perang Korea, ekonomi negeri ini jatuh dalam krisis mendalam sejak tahun 1960-an, dan ditandai dengan meningkatnya inflasi dan stagnasi yang mendorong pengangguran, menjatuhkan standar hidup rakyat, dan sebagainya.
Meskipun Batlle sedikit menerangi representasi politik sayap kiri, tetapi kebijakan sosialnya kurang mempolitisasi basis politik massa. Akibatnya, kaum kiri hanya menyisakan sedikit pengaruh di kalangan radikal, dengan dukungan besar kaum intelektual daripada pekerja, sementara pengaruh kekuatan komunis di dalam gerakan buruh tidak tercermin dalam kehidupan politik. Akan tetapi selama 1960-an, di bawah pengaruh krisis ekonomi nasional dan revolusi Kuba, kaum sosialis yang semakin teradikalisasi mulai membentuk perlawanan gerilyawan kota, Tupamaro, sementara partai komunis berhasil melakukan sebuah terobosan politik.
Pada tahun 1967, partai sosialis dilarang dan, pada tahun 1968, Uruguay jatuh ke dalam krisis ekonomi. Pemerintah mengirim tentara dan polisi untuk menindas aksi protes, sehingga menyebabkan represi yang berujung kepada sejumlah aktifis mahasiswa. Pada Oktober 1970, sekolompok kaum professional Uruguay membuat pernyataan publik melawan “situasi suram dan represi” yang diciptakan pemerintah, dan menyerukan sebuah persatuan nasional untuk melawan pemerintahan nasional anti rakyat, serta membuka peluang bagi kemunculan alternative politik baru.
Menghadapi situasi ini, kaum progressif Uruguay tidak memerlukan waktu lama untuk menjawab situasi. Terilhami oleh Aliansi Populernya Salvador Allende, yang membawa kaum kiri berkuasa di Chili pada tahun 1970-an, dan pengalaman membangun gerakan serikat pekerja lima tahun sebelumnya, kaum komunis, trotskys, sosialis, dan democrat Kristen berhasil mendirikan Aliansi Lebar atau Frente Amplio (FA), tepatnya 5 februari 1971.
Para pendiri Frente Amplio menegaskan bahwa serikat atau gerakan massa harus menjadi inti kekuatan mereka. Meskipun begitu, dengan dukungan berbagai sektor gerakan massa, partai sendiri menahan diri untuk memaksakan peleburan identitas seluruh kekuatan sosial di dalam partai. Meskipun potensi pemilihan menyediakan peluang untuk memperoleh banyak kekuasaan, tapi pendiri Frente menegaskan bahwa tujuan mendasar mereka adalah aksi politik yang permanen, bukan persaingan pemilu.
Para pemimpin Frente memutuskan untuk mengorganisir komite-komite akar rumput (comites de base) di seluruh negeri, untuk berpartisipasi dalam koalisi organisasi komunitas. Melalui komite ini, para pimpinan Frente berharap bahwa partai dapat memimpin gerakan sosial dan organisasi komunitas, melalui sistim jaringan yang terbuka untuk komunikasi antar partai dan massa, serta mempromosikan komunitas untuk terlibat pengambilan keputusan partai.
Menjelang pemilu presiden di musim gugur, Frente memobilisasi basis massa pendukungnya untuk memilih kandidat presiden mereka, Liber Seregni, seorang pensiunan militer, bersama dengan kelompok-kelompok pecahan partai Colorado dan Blanco. Sektor-sektor rakyat yang sebelumnya kurang percaya mengenai pengambil-alihan kekuasaan, segera percaya bahwa mereka benar-benar punya kesempatan. Akan tetapi, Frente segera berhadapan dengan struktur politik Uruguay, berbagai kampanye negatif mengenai partai ini, dan sebuah rumor tentang kudeta militer segera bila kaum kiri menang.
Di akhir Agustus 1971, Frente mengakhiri kampanye berjudul “The First 30 Pemerintah Measures”, yang diambil dari program “40 measure”nya Allende, dengan pilar transformasi sosial yang didasarkan pada reformasi agraria, nasionalisasi seluruh bank swasta, serta pengambil-alihan industri dasar dan sumber-sumber perdagangan luar negeri.
Dalam pemilihan itu, Frente memperoleh hasil yang cukup mengesankan, berupa dukungan suara sebesar 300 ribu suara atau 18% dari suara nasional, dan memenangkan lusinan kursi di kongres nasional.
Kemenangan awal Frente dalam pemilihan, bersamaan dengan pertumbuhan gerilyawan perkotaan, Tupamaros, menciptakan kekhawatiran besar bagi AS dan sektor-sektor tradisional di dalam negeri Uruguay. Puncaknya, pada Juni 1973, Militer mengambil alih kekuasaan dan segera membubarkan parlemen. CNT dan Frente Amplio diputuskan sebagai partai terlarang. Liber Segreni, sang pemimpin partai, akhirnya ditahan oleh pejabat militer, bersama dengan ribuan pendukung Frente lainnya.
Lebih dari satu dekade kemudian, seperti juga negara tetangga Brazil dan Argentina, kediktatoran militer tidak lagi dapat dipertahankan. Dalam perjuangan itu, Frente dan kaum kiri memainkan peran kunci, sehingga menaikkan kredibilitas politik bagi kaum kiri. Segera setelah pemimpinnya, Liber Segreni, dibebaskan, Frente segera disahkan menjadi partai politik resmi, dan membuat kejutan dalam pemilu pertama paska kediktatoran militer; mereka memenangkan perolehan 21% suara, dan meskipun gagal mencapai kursi kepresidenan, tetapi kehadiran Frente mulai berhasil mendobrak sistem two-party sistem; Colorado dan Blanco. Frente hadir sebagai kekuatan politik ketiga yang patut diperhitungkan.
Frente semakin mendapatkan keuntungan dari kegagalan dua partai tradisional utama, Colorado dan Blanco, dalam menyelesaikan problem sosial dan ekonomi. Partai Colorados, yang dipimpin oleh Julio Maria’ Sanguinetti, memangberhasil memenangkan pemilu 1984, tapi gagal mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkan dari pendekatan neoliberalnya.
Dalam perkembangan kemudian, rakyat semakin kehilangan kepercayaan terhadap kesanggupan dan kemampuan partai politik, yang berujung kepada pertumbuhan sikap apolitis dan anti terhadap partai politik, khususnya di pusat-pusat kaum miskin di perkotaan dan kelas menengah. Meskipun begitu, situasi ini hanya sedikit sekali menurunkan pamor Frente Amplio.
Frente agak sedikit menggeser orientasi politiknya yang bersifat nasional, untuk mengisi ruang-ruang politik lokal, dimana mereka berencana membuat sebuah eksprimen perubahan dalam skala kecil. Frente mengajukan seorang politisi pendatang baru, Dr Tabare’ Va’squez, seorang dokter yang begitu dihormati rakyat, untuk bertarung dalam Pilkada kota Montevideo. Hasilnya, sang dokter berhasil memenangkan pemilihan, dan mengumpulkan 35,5% suara.
Untuk pertama kalinya, dalam sejarah politik Uruguay, sebuah partai politik mendemonstrasikan kemampuannya untuk memerintah dengan baik, dan itu berlangsung di ibukota negeri itu, Montevideo. Frente memulai aksinya dengan mendesentalisasi politik kota itu. Mereka mendirikan kantornya di 18 kabupaten, dan mulai menanamkan program partisipasi melalui dewan-dewan komunitas, mirip dengan model anggaran partisipatif yang dipraktekkan partai buruh (PT), Brazil.
Pengalaman Montevideo 1990-an
Montevideo, saat itu, merupakan kota yang berpenduduk 1,3 juta orang, dan mewakili 4o% jumlah penduduk nasional. Ketika itu, Frente mewarisi berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik pemerintahan sebelumnya. Kota ini menderita kerusakan berat akibat kediktatoran militer dan kekuasaan neoliberal, berupa kemiskinan sosial sebagian besar penduduknya, sistem pelayanan publik yang merosot, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat terbengkalai, dan hancurnya infrastruktur kota. Pemukiman liar, yang disebut dengan cantegriles, kini menyebar di seantero kota.
Di akhir tahun 1980an, mengutip Daniel Chaves, kota Montevideo telah menjelma menjadi kota yang suram. Dua belas tahun era kediktatoran telah mengubah kota ini—meminjam bahasa Mario Arana—dari kota kebebasan kreatifitas menjadi represifitas. Ribuan penduduknya dipindahkan secara paksa dari pusat kota menuju pinggiran kota. Kebijakan nasional yang mendorong liberalisasi pasar perumahan, menyebabkan banyak warga yang tidak sempat mempunyai rumah atau tempat berlindung, dan akhirnya tersingkir secara sosial.
Ketika memulai kekuasaannya, Frente segera meluncurkan program untuk mendorong desentralisasi pelayanan kota dan mempromosikan partisipasi rakyat. Untuk mencapai tujuan ini, Frente merumuskan kebijakan yang disebut Plan Estrategico de Montevideo (Strategic Plan). Hal ini dipahami sebagai sebuah proses permanent dan partisipatif dengan melibatkan tiga pilar dasar manajemen kotamadya;masyarakat (los vecinos), para pekerja, dan pemerintah setempat. Dengan begitu, Frente mampu mengupayakan pendekatan sistematis untuk mengorganisir dan memajemen kota.
Tidak seperti model perencanaan tradisional yang berdasarkan ramalan yang kaku, strategi perencanaan ala Frente dibasiskan kepada kebutuhan real masyarakat. Strategi perencanaan ini dibasiskan pada; (1) memfasilitasi persetujuan antara kotamadya dan aktor-aktor sosial, politik, dan ekonomi, sebelum sebuah projek diimpelementasikan. (2) Mendorong partisipasi komunitas pada level tertinggi dan komunikasi dalam perencanaan dan pengelolaan projek. (3) sanggup menjalankan projek secara efektif dan efisien. Artinya, hampir seluruh projek yang dilaksanakan pemerintahan kota mendapatkan konsensus dari sektor sosial secara luas.
Keseluruhan strategi perencanaan ini dilaksanakan oleh sebuah divisi teknis khusus dalam pemerintahan kota: UCP - Unidad Central de Planificación (Central Planning Unit). Didalamnya terdapat kalangan dari multidisiplin, seperti arsitek, insinyur, ekonom, pengacara, dan ilmuwan sosial, yang didukung oleh tenaga administratur; ahli statistic dan computer. Namun, basis dari perencanaan itu sendiri bersumberkan pada komite akar rumput; serikat buruh, organisasi rakyat, komite komunitas, dewan-dewan lokal, hingga badan lokal---yang punya tanggung jawab dalam pengumpulan data, pengambilan keputusan, dan implementasi projek.
Berdasarkan penjelasan diatas, UCP akhirnya menghasilkan hal-hal sebagai berikut;
Manajemen lahan : Meskipun tekanan demografis terbilang rendah, yaitu rata-rata 0,6% pertahun, Montevideo sedang mengalami proses pertumbuhan perkotaan yang dicirikan dengan semakin menipisnya jumlah lahan pemukiman. Akibatnya, disamping tekanan kemerosotan ekonomi nasional, banyak penduduk berpendapatan rendah dipaksa menyingkir ke pinggiran kota. Selain itu, semakin banyak pemukimam liar yang menghiasi pusat dan pinggiran kota.
Berhadapan dengan situasi itu, dewan perencanaan kota kemudian berdiskusi soal ketersediaan lahan, kemudian membicarakannya dengan unit yang mengatur soal perumahan, dimana dewan lingkungan terlibat di dalamnya. Lebih dari 600 hektar tanah, pada tahap awal, terdistribusi kepada koperasi-koperasi komunitas, dan memungkinkan pembangunan 3000 rumah baru bagi warga berpendapatan rendah.
Pada saat bersamaan, sebuah negosiasi juga dilakukan dengan kementerian perumahan nasional untuk mengatur solusi terbaik bagi pemukiman liar, supaya tidak terjadi pengusiran paksa (baca, penggusuran), disamping mencari tambahan dana untuk menunjang program ini.
Infrastruktur dan Layanan Dasar : Berbeda dengan sebagaian besar kota-kota di amerika latin, Montevideo merupakan kota yang mempunyai pembangunan awal infrastruktur yang baik, sebagian besar peninggalan abad 19. Ini adalah kota pertama di benua ini yang mempergunakan jaringan pembuangan limbah, yang sekarang ini meliputi 60% dari wilayah kota atau 80% dari populasi. Hanya saja, memang, ada kelemahan dalam persoalan pemeliharaan dan perluasan. Sejak tahun 1960, investasi untuk mengatasi persoalan ini sangat sedikit, sehingga memperburuk sistim pembuangan kotoran dan sebagainya.
Ketika berkuasa, Frente Amplio menempatkan penyelesaian persoalan ini sebagai prioritas dari lima tahun pertama untuk penggunaan anggarannya. Hasil dari prioritas anggaran dalam pengelolaan pembuangan ini dapat dinikmati oleh 100.000 orang penduduk kota. Masyarakat kota juga sangat dilibatkan dalam pemeliharaan infrastruktur ini.
Persoalan transfortasi: Konsentrasi ekonomi di pusat perkotaan mendorong seluruh aktifitas penduduk memenuhi jalan-jalan kota. Perkembangan populasi dan jumlah kendaraan mendorong kemacetan luar biasa di kota ini, sementara banyak penduduk belum bisa mengakses alat transportasi murah dan nyaman.
Ada beberapa gebrakan yang dilakukan frente Amplio untuk mengatasi persoalan ini. Untuk mengatasi ledakan jumlah kendaraan, misalnya, mereka menerapkan sistim pembayaran uang parkir yang lebih tinggi. Disamping itu, untuk memenuhi kebutuhan warga akan transfortasi murah dan nyaman, pemerintah menyalurkan kredit kepada perusahaan angkutan swasta untuk memperbaharui armada bus kota, serta menerapkan kontrol ketat terhadap kualitas layanan angkutan umum.
Pembangunan Ekonomi Lokal: Montevideo menjadi pusat dari kehidupan industri di negeri itu, dimana 53% unit industri terkonsentrasi di kota ini dan 73% angkatan kerja mengadu nasib di kota ini. Secara histories, sektor industri telah memainkan peranan penting bagi banyak penduduk di negeri ini. disamping itu, industri telah menjadi tempat menciptakan lapangan pekerjaan penting, kemudian faktor kunci dalam penataan ruang kota, semenjak para pekerja membangun hunian di kawasan sekitar pabrik. Disamping itu, penggeseran ekonomi nasional menuju liberalisasi ekonomi mendorong berlanjutnya deindustrialisasi dan pertumbuhan sektor informal.
Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah kotamadya mengajukan keterlibatan kementerian, universitas, dan para pengusaha untuk membicarakan soal restrukturisasi industri dan penataan ruangnya. Selain itu, untuk mengantisipasi menjamurnya pusat perbelanjaan di pusat kota, yang terkadang membunuh peritel tradisional, pemerintah kota mengajukan sebuah pengetatan aturan mengenai pendirian pusat perbelanjaan.
Proposal pemerintah kotamadya lainnya adalah mendorong kelahiran sebuah Undang-undang untuk melindungi keberadaan sektor informal, dan memberikan sokongan kredit dan fasilitas memadai bagi para pekerja informal.
Kesejahteraan Sosial: Akses warga Montevideo terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dan pembangunan sosial sangat berkaitan dengan kebijakan ekonomi nasional. Setelah dua dekade neoliberalisme, meskipun ada pertumbuhan GDP nasional, indicator sosial memperlihatkan gejala penurunan; dimanifestasikan oleh pertumbuhan pengangguran dan sektor informal.
Kapasitas pemerintah untuk melakukan intervensi kebijakan sangat terbatas, sebab secara konstitusi kebijakan sosial—khususnya persoalan jaminan sosial, pendidikan, perumahan, dan kesehatan—merupakan tanggung jawab pemerintah nasional. Akan tetapi, berbeda dengan pemerintahan kotamadya sayap kanan, Frente Amplio meluncurkan sebuah program sosial yang bersifat otonom, tanpa pendanaan dan kontrol pemerintah pusat. Ini semuanya dilakukan bersama dengan organisasi-organisasi komunitas. Pemerintah juga menjalankan proyek sosial yang menguntungkan anak-anak (TK dan fasilitas kesehatan dasar), penyandang cacat, dan para lanjut usia (lansia).
Sebetulnya, disamping mengatasi persoalan-persoalan diatas, Frente Amplio juga masih banyak melakukan terobosan pada bidang-bidang lain, seperti pengelolaan lingkungan, persoalan budaya, dan persoalan kependudukan. Sebagai misal, pemerintahan Frente Amplio sangat maju alam urusan sensus penduduk dan sensus kekayaan property. Dengan begitu, Frente berhasil mengelola anggaran dan sumber daya, serta menerapkan sistim pajak yang proporsional.
Pengalaman Berharga
Apa yang dijelaskan diatas, masih merupakan secuil dari pengalaman Frente Amplio dalam mengelola pemerintahan kotamadya di Montevideo. Meskipun begitu, pengalaman secuil ini telah memberikan hasil yang menguntungkan bagi partai kiri dan gerakan progressif, terutama ketika berhadapan dengan periode ultra-konservatif ketika itu.
Dalam sepuluh tahun terakhir, penetrasi kapitalisme global bukan hanya menjangkau Negara atau sebuah wilayah ekonomi, tetapi sudah menjangkau lapisan luas masyarakat hingga unit paling kecil. Penetrasi itu bukan saja berbentuk eksploitasi ekonomi, tetapi juga penghancuran segala syarat-syarat bagi transformasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dan eksistensi strategi pemerintahan lokal, mungkin, berada di dalam proposal ini.
Rakyat muak dengan janji-janji yang tak dapat dipenuhi dan dengan demikian hanya sekedar berpropaganda tentang masyarakat alternatif tidaklah cukup. Butuh untuk mendemonstrasikan dalam praktek-praktek sehari-hari apa yang dikhotbahkan. Ini hanya mungkin "dengan mengembangkan alternatif kerakyatan terhadap kapitalisme dengan cara membuang motif profit dan hubungan-hubungan yang dipaksakan olehnya dan menggantikannya dengan suatu logika baru yang humanistik dan didasarkan pada solidaritas dalam ruang-ruang yang dikuasai oleh kaum kiri" (Harnecker, 2001, 164-165).
Terlepas dari perbedaan formula dalam mendemonstrasikan praktek, tetapi pemerintahan kiri di tingkat lokal telah berhasil menjawab sejumlah tantangan sosial, ekonomi, dan politik yang dihasilkan oleh neoliberalisme.
Sekarang ini, ada dua arus pararel yang sedang bertabrakan di Amerika latin; arus neoliberal, didukung oleh lembaga-lembaga internasional dan kekuatan politik konservatif, dan arus alternative yang dipromosikan oleh pemerintahan progressif.
Ada beberapa point keuntungan dari pengalaman pemerintahan lokal ini;
pertama, menjadi lapangan uji soal bagaimana kita memerintah atau menjalankan sebuah kekuasaan untuk rakyat banyak. Selama ini, kita selalu dipandang sebagai tukang kritik tanpa mengajukan solusi praktis.
Kedua, pemerintahan lokal dapat menjadi arena bagi kaum kiri untuk mendemonstrasikan kemampuannya guna membuat alternative diluar kapitaalisme, seperti pengalaman partai buruh Brazil dan Frente Amplio. Bentuk keberhasilan sekecil apapun, seperti pengalaman Erundina Zousa yang hanya berhasil mengelola sistim transfortasi modern di Kota Sao Paulo, atau pengalaman pendidikan gratis di Jembrana, Bali, akan menjadi point penting untuk menaikkan kredibilitas politik dan partai di tingkat nasional.
Ketiga, pemerintahan lokal dapat digunakan untuk mempolitisasi, mengorganisasikan, dan mendorong partisipasi rakyat dalam mempersiapkan syarat-syarat bagi transformasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Ada pengalaman menarik di Brazil, kaum kiri dapat memenangkan pemilu dalam satu putaran, meskipun aksesnya di media diblokade. Sebagai contoh, masyarakat di kotamadya Porto Alegre, ibukota Rio Grande Do Sul, yang telah memilih walikota dari partai buruh (PT) tiga kali. Masyarakat memilih PT karena pengalaman mereka memerintah. Sekitar 130 ribu orang, dari 1,3 juta jiwa penduduk di kota itu, pernah terlibat dalam penganggaran partisipatif.
Dalam kasus itu, propaganda negatif yang diarahkan media TV dan cetak, yang dikontrol pemilik media dan elit oligarkhi, tidak sanggup mengalahkan praktik demokrasi langsung pemerintahan lokal.
Dan, seperti yang dikatakan Tabare Vasquez, kemenangan Frente Amplio dalam pemilu nasional tidak dapat dipisahkan dari pengalaman yang kaya pemerintahan lokal. Terlepas, kemudian, apakah ini dipandang sebagai strategi memanjat kekuasaan (kotamadya, propinsi, nasional) atau bukan, tetapi pemerintahan lokal punya kontribusi penting dalam strategi kiri.
*) Penulis adalah Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), dan juga mengelola media alternatif: Berdikari Online dan Jurnal Arah Kiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H