Mohon tunggu...
Rudi Hartono
Rudi Hartono Mohon Tunggu... -

Suka dengan dunia penulisan, membaca buku, jurnalisme, aktivis pergerakan, dan politik. Sangat mengagumi Bung Karno, pemimpin terkemuka dan ideolog perjuangan pembebasan nasional bangsa ini, seperti juga Nehru, Nkruma, Tito, Zhou Enlai, dan beberapa pemimpin negara baru merdeka.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Isu Korupsi dan Prospek Gerakan Anti Neoliberal

30 November 2009   07:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:08 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paska pilpres 2009, gerakan atau isu anti neoliberal memang terlihat agak surut. Meski begitu, sentimen anti neoliberal tetap terpelihara sebagai isu paling penting dari kalangan oposisi secara umum. Pelemahan hanya terjadi pada kubu-kubu elit politik, sebab SBY-Budiono akhirnya merangkul bagian terbesar fraksi elit di parlemen. Sementara, di luar itu, sentimen anti neoliberal tetap terpelihara, khususnya di barisan ekonom, aktivis pegerakan, dan sebagian tokoh nasional.

Saat ini, seiring dengan munculnya pergolakan politik akibat isu kriminalisasi terhadap KPK dan perkembangan kasus century, gerakan anti neoliberal memiliki peluang besar untuk membangun oposisi sosial secara lebar.

Munculnya Perimbangan Kekuatan Baru

Situasi politik di Indonesia sedang memasuki fase baru; munculnya korelasi kekuatan yang baru. Situasi ini muncul dalam sebulan terakhir, seiring dengan munculnya isu kriminalisasi KPK dan perkembangan kasus century. Hal ini melahirkan perubahan korelasi kekuatan yang sangat radikal.

Sebelum kejadian ini, SBY-Budiono boleh dikatakan masih sangat hegemonik, baik melalui konsesi luas dengan berbagai fraksi elit maupun penjinakkan terhadap massa rakyat luas, gerakan oposisi ekstra-parlemen, dan lain-lain.

Namun, hanya dalam hitungan sebulan, situasi itu berubah sangat cepat. Ketidakmampuan SBY merespon desakan publik untuk menghentikan proses hukum Bibit-Chandra, menertibkan institusi penegak hukum korup, dan memberi penjelasan memadai soal skandal century, membuat popularitas SBY-Budiono merosot tajam.

Menurut Direktur Eksekutif Reform Institute, Yudi Latif, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintahan SBY merosot tajam dibandingkan ketika digelar pilpres 2009. Dalam survey September lalu, Reform Institute mencatat penurunan popularitas SBY hingga 64%. Tentu, setelah sebulan polemik soal KPK dan century ini, popularitas SBY tentunya makin anjlok.

Sementara menurut catatan Lembaga Survey Indonesia (LSI), pada bulan Juni tercatat sekitar 61 persen masyarakat yang puas, sedangkan akhir Juli menurun menjadi sekitar 54 persen. Bagaimanapun, angka-angka ini belum bisa dipegang sebagai kenyataan murni, sebab kebanyakan merupakan simulasi.

Namun, berdasarkan kenyataan di masyarakat akhir-akhir ini, memang muncul sebuah ketidakpuasan yang sangat besar terhadap sikap ambigu presiden dalam merespon isu kriminalisasi KPK dan skandal bank century. Pergeseran ini paling banyak menjangkiti kelas menengah dan kalangan intelektual, sektor yang paling aktif untuk menyerap dan mencerna informasi mengenai perkembangan politik.

Isu Korupsi dan Peluang Oposisi Sosial Luas

Dari perkembangan isu kriminalisasi KPK dan skandal bank century, sebuah potensi oposisi sosial secara lebar muncul. Penyebabnya, banyak pihak yang merasa kecewa dengan sikap lamban dan mengambang SBY, khususnya kalangan menengah dan atas. Akibat dari ketidaktegasan tersebut, sebuah pesimisme terhadap keterpurukan institusi penegak hukum dan masa depan pemberantasan korupsi, telah berkembang menjadi ketidakpercayaan terhadap pemerintahan secara umum.

Ketidakpercayaan ini berhasil mengikis posisi hegemonik ideologi neoliberal, yakni sebuah sistim ekonomi yang disebut-sebut sangat memerangi korupsi. Pada kenyataannya, murid-murid terbaik dan paling setia mereka justru tersangkut paut dalam skandal perbankan yang berbau kriminal. Sementara SBY-Budiono, yang sempat melejit dengan isu pemerintahan bersih, kini terdegradasi karena disangka melindungi koruptor dan penegak hukum nakal.

Makin banyak elit yang tidak puas dengan kinerja SBY. Demikian pula dengan kalangan intelektual, yang pada periode lalu begitu sungkan mengeritik SBY, kini menjadi pengeritik-pengeritik yang cukup pedas. Terutama mengomentari kisruh soal KPK dan skandal century ini.

Bahkan, di Makasar, sejumlah akademisi dan tokoh politik sudah menyatukan diri dengan gerakan perlawanan. Mereka bukan hanya memberi dukungan politik, tetapi juga menjadi bagian dari seruan umum untuk memperluas perlawanan. Citra dan kharisma politik SBY sudah perlahan terkubur di gerbang timur nusantara ini.

Ada beberapa faktor yang mendorong isu korupsi bisa melahirkan oposisi sosial yang lebar; pertama, korupsi merupakan penyakit (kejahatan) sosial dan ekonomi yang punya andil besar dalam perampasan sumber daya ekonomi milik bersama, menghambat kemajuan ekonomi, dan menciptakan ketimpangan ekonomi yang luar biasa.

Dalam banyak kasus, kemuakan terhadap korupsi yang melampaui batas telah mendorong kemarahan sosial, seperti perlawanan terhadap rejim orde baru, penggulingan pejabat lokal korup, dsb.

Kedua, ketika memulai kekuasaannya, salah satu proposal yang diterima dan didukung secara luas adalah pemberantasan korupsi dan pemerintahan bersih. Sejak awal, strategi pemberantasan korupsi SBY bersifat targeting atau tebang pilih; suka menebas koruptor yang merupakan lawan politik. Namun demikian, prestasi besar KPK tetap melambungkan namanya.

Beberapa ekonom yang menjadi administratur SBY, seperti Budiono dan Sri Mulyani, merupakan pengeritik paling pedas terhadap korupsi atau model kapitalisme kroni. Sejak tahun 1998, ekonom-ekonom ini telah mengunci perdebatan soal penyebab persoalan ekonomi pada persoalan korupsi.

Dengan isu kriminalisasi KPK dan kasus century, baik SBY maupun administraturnya, kini menjadi sandera dari sistim atau rejim korup. Dan, SBY sulit untuk menghindari tuduhan-tuduhan semacam itu.

Artinya, secara politik, isu korupsi dan skandal century telah mendelegitimasi pemerintahan SBY-Budiono yang baru berumur sebulan lebih. Ada banyak orang meninggalkan kubu SBY karena isu korupsi dan century itu. Meskipun belum tentu anti SBY, tetapi mereka secara politik sudah beralih.

Dengan demikian, menurut saya, sunami ketidakpercayaan ini hanya mempertebal lapisan orang atau massa yang sudah mengakui kegagalan neoliberalisme.

Berbicara Kendala dan Peluang

Meski sudah muncul perimbangan kekuatan yang baru, tetapi harus diingat bahwa neoliberalisme terkonsolidasi melalui fragmentasi masyarakat dan penghancuran jaringan-jaringan solidaritas atau ikatan-ikatan kohesifitas. Melalui aparatusnya, neolib berhasil mengatomisasi masyarakat menjadi individu ekonomis di bawah pasar, dalam pandangan Sosiologis Kuba Antonio Juan Blanco, menghasilkan manusia sampah yang sulit didaur ulang secara social dan keseluruhan bangsa-bangsa yang kehilangan orientasi (frustasi).

Masyarakat, secara sosial, mulai dipecah menjadi semacam unit-unit yang terpisah satu sama lain, sehingga mereka tidak mungkin menjadi satu kekuatan mayoritas yang bersatu. Inilah tantangan terbesarnya.

Gerakan rakyat, atau sering disebut gerakan sosial, masih merupakan serpihan-serpihan kecil yang tercerai berai, tanpa kehadiran sebuah pengelompokan yang lebih besar untuk mewadahi mereka. Ada begitu banyak organisasi rakyat, komite aksi, front-front perlawanan, tetapi semuanya tumbuh seperti jamur; hanya tumbuh pada musim-musim tertentu, setelah itu meredup.

Dalam hal ini, menurut saya, keterlibatan lapisan sosial paling bawah---yang juga notabene paling dikorbankan oleh neoliberal dan praktik korupsi—masih belum signifikan. Dalam isu anti neoliberal maupun anti korupsi, sektor sosial paling bawah belum menemukan pertalian antara situasi politik yang berkembang dan keharusan mereka untuk bertindak.

Dalam periode saat ini, menurut saya, kesadaran umum rakyat kita belum melampaui kesadaran korporatis ekonomis, sebuah istilah yang dipopulerkan marxist Italia, Antonio Gramsci, mengacu kepada tahap seseorang untuk memperjuangkan kepentingan terdekat atau pribadinya (ekonomis). Dalam gerakan buruh, misalnya, konsentrasi mereka masih pada persoalan upah minimum, meskipun mereka mengetahui bahwa korupsi merupakan faktor ekonomi biaya tinggi dalam industri. Demikian pula dengan sektor sosial lain, seperti petani, miskin kota, dan lain-lain.

Karena hal itu, maka sebagian orang mulai beralih ke gerakan mahasiswa, berharap bahwa kelompok kelas menengah ini menjadi “katalisator” untuk menciptakan suhu yang cukup revolusioner, sehingga memicu keikutsertaan sektor-sektor lain. Hanya saja, memang, sektor ini pun mengidap “penyakit sosial” yang hampir sama dengan masyarakat kita pada umumnya; apathis, cuek, dan apolitis. Belum lagi, pamor “mahasiswa” sudah begitu merosot di mata masyarakat umum.

Meskipun begitu, bukan berarti bahwa situasi itu tidak potensi untuk berubah secara cepat. Dalam setiap perubahan sejarah, situasi ini akan berubah sangat cepat jika bertemu dengan momen krisis; momen di mana penduduk semakin melihat jelas bahwa kelas penguasa tidak lagi mampu menyelesaikan isu-isu paling mendesak bagi kemanusiaan. Dan, ini punya potensi besar dalam beberapa bulan mendatang; rencana pemerintah menaikkan harga tariff dasar (TDL) listrik pada awal 2010. Hal ini bisa memicu kemarahan besar, sebab sebelum ini masyarakat sudah muak dan kesal dengan pemadaman listrik bergilir.

Dalam momen krisis itu, seberapa jauh gerakan progressif dapat mengambil keuntungan? Itu bergantung pada sejauh mana kaum progressif secara memadai memanfaatkan dan mengolah perimbangan kekuatan yang ada, menarik sebanyak mungkin sektor sosial di belakang proposalnya, dan kemampuan memberikan alternatif atas kegagalan saat itu.

Pertanyaan kemudian adalah: (a) bagaimana menambah akumulasi kekuatan untuk semakin mendesak tiang-tiang penyangga kekuasaan neoliberal; (b) bagaimana memenangkan konsensus secara luas dengan berbagai sektor sosial, mungkin, dengan sebuah proposal bersama yang mengikat seluruh sektor dan kepentingan politik;

Pada point (a) berbicara soal bagaimana melakukan pembangunan blok sosial politik dengan menyusun kekuatan-kekuatan yang beragam. Ini juga soal bagaimana menyusun strategi politik; seni mendefenisikan kawan dan musuh pokok. Ada beragama di sini, mulai dari anti neolib tulen hingga mereka yang sekedar bicara soal anti korupsi---dan mungkin pendukung neolib. Di sinilah, kemampuan organisasi progressif diuji.

Pada point (b) berbicara mengenai alat dan cara memenangkan perang propaganda, memenangkan pengaruh terhadap massa luas, dan membongkar selubung-selubung ideologis yang menutupi kebohongan rejim ini. Ini juga mencakup bagaimana cara menghadapi dominasi media massa pro-neoliberal (cetak dan elektronik). Dan, yang terpenting, adalah soal metode komunikasi dan penyampaian pesan-pesan yang mudah dipahami rakyat, bersifat massal, dan murah meria.

*) Rudi Hartono adalah pemimpin redaksi Berdikari Online. Selain itu, menjadi peneliti di Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS) dan pengelola Jurnal Arah Kiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun