Bahasa memang selalu mengalami evolusi pemaknaan. Konsep Saussurean yang njelimet bin rigoris mengenai penanda-petanda agaknya sudah out of date untuk menerangkan dinamika pemaknaan bahasa yang kekinian.
Kini makna selalu bermain dalam dunia fantasi, setiap orang boleh menginvestasikan pikirannya dalam pemaknaan kata dan bahasa. Konvensi pemahaman bukan lagi soal yang secara bersungut-sungut harus diupayakan, 'buat yang paham aja' begitu ujar anak Selatan yang sangat dekat hari-harinya dengan nasihat Orang Tua yang sudah berdiri sejak 1948.
Ya memang ada arogansi elitis bersemayam di situ, dalam bahasa yang hanya dikonsumsi oleh sejumput kalangan saja. Tapi tak apalah, memang lambung dan pikiran kita tidak pernah benar-benar diciptakan pada satu sensus communis yang sama, atau konsep pemahaman bersama itu hanya imaji terbayangkan saja.
Dari Yunani kita kenal konsep pembentukan bahasa yang berasal dari penyerapan bunyi, onomatopoiea namanya. Dalam perbendaharaan bahasa kita ada kata Tokek yang bisa digunakan untuk merujuk konsep pembentukan bahasa itu.
Tidak hanya dari bunyi, pembentukan bahasa bisa kita upayakan dari berbagai macam hal. Pada kalangan psikoanalisa, pemaknaan itu menggelincir dalam rantai penandaan katanya, maknanya bergantung sepenuhnya pada yang menandai.
Cukup! Foreplay yang terlalu panjang untuk menjelaskan konsep sepele yang biasa saya gunakan dalam keseharian. Banocticon, kata yang belum terdaftar secara resmi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata yang bagi orang lain tak jelas juntrungan maksud dan pemaknaannya. Tapi, itulah hal yang sedang saya upayakan, menambah suatu perbendaharan kata baru untuk menjelaskan sebuah konsep, suatu hal yang mungkin dapat menjelaskan sebuah kegiatan dalam keseharian yang kita lakukan.
Banocticon adalah kata yang digunakan secara segmented di kalangan beberapa mahasiswa di sebuah jurusan yang katanya menghasilkan orang-orang dengan pemikiran radikal. Radikal yang tentu tidak secara banal sebagaimana yang dipahami oleh publik, radikal yang pemaknaannya belum terkontaminasi anasir-anasir pejorative.
Sepintas mendengar kata banocticon/banoc mungkin pikiran kita akan cepat-cepat berasosiasi pada kata banok, sebuah akronim dari 'bandar nonok', kata yang digunakan untuk menjelaskan lelaki flamboyan yang suka bergonta-ganti pasangan.
Pada masyarakat kata ini memiliki tendensi negatif. Bukan karena mengandung kata yang merujuk pada alat vital dalam akronimnya, tapi bahkan dalam pelafalannya ketika diucapkan pun sudah memiliki nada-nada yang tidak ramah ketika menyapa telinga.
Dalam genealoginya kata banocticon/banoc memang berdekatan dengan kata banok dalam pemahaman yang berkembang di masyarakat. Tapi lebih dari itu banoc berupaya menyelamatkan kata banok dari stigma buruk dan imajinasi kotor yang disematkan oleh masyarakat.
Banoc adalah sebuah plesetan dari kata Panop yang merujuk pada Panopticon, sebuah konsep bangunan melingkar yang ditengahnya berdiri sebuah menara pengawasan untuk memantau aktivitas orang yang berada di dalam gedung tanpa diketahui, biasanya fungsi Panopticon dijalankan pada lembaga pemasyarakatan.