Mohon tunggu...
rfenn fenn
rfenn fenn Mohon Tunggu... -

simple life

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Keraton Kesepuhan Cirebon

4 Februari 2016   00:16 Diperbarui: 4 Februari 2016   00:32 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keratonku sayang, keratonku malang

Akhirnya tibalah saatnya liburan mengunjungi orangtua dan saudara di Cirebon, selama 4 tahun tidak ketemu. Terakhir mudik ya 4 tahun yang lalu bersama anak saya yang tertua, sekarang ini saya membawa anak yang kecil hampir 3 tahun umurnya. Anak yang tertua tidak mau ikut karena akan rindu dengan omanya disini, dan tidak betah katanya, panas, tidak bisa ngobrol dengan emanya dan juga tidak ada sepupu seumurannya di Cirebon ini  Ya sudahlah, saya bawa si kecil ketemu mamah dan sodara, dan berniat mengunjungi pemakaman papah di Sasono Mulyo, Cirebon.

Dari landing di bandara Sukarno Hatta, naik kereta Cirebon Express dimana saya akui terasa beda dengan 4thn lalu saya datang,  AC kereta terasa, tak ada pedagang yang berkeliaran menawarkan barang jualannya di dalam/ luar kereta, wc nya lumayanlah bersih gak bau-bau amat, dan kalau tidak memiliki tiket apapun alasannya, bisa diturunkan di tempat.  Akhirnya bertemu mamah tercinta. Masih sehat diumurnya yang 82 tahun ini, agak pelupa, tapi ingatannya tajam mengenai masa-masa lalu. Hawa di Cirebon sangat panas di bulan Juli 2015, suasananya sama seperti 4 tahun yang lalu, tapi macet makin padat dengan becak, kendaraan bermotor, mobil, pejalan kaki.

Pagi-pagi banyak orang membakar sampah di sekitar alun-alun Kesepuhan, dimana mereka berjualan makanan di gubuk-gubuk jajanan itu. Rumah mamah yang dekat alun-alun, terkena polusi pembakaran sampah, asapnya nggak kira-kira bikin sesak napas. Pohon beringin sekitar alun-alun ini sangat rindang, tapi sampah menumpuk, rumputnya gersang,  banyak gubuk-gubuk menjual makanan, banyak kucing liar berkeliaran malah ada yang naik ke meja-meja makan.  Beberapa anak sekolah melakukan olahraga disini, senam, main bola. 

Dulu kalau mau masuk keraton gratis, sekarang ada karcis tiketnya, untuk lokal Rp 20.000, pelajar Rp 15.000, dan untuk turis asing Rp 70.000, turis pelajar Rp 40.000.  Di dalam keraton banyak sisa-sisa kejayaan keraton, tidak terawat, kalinya kotor, warna airnya nya kayak kopi, ditambah banyak sampah dimana-mana. Ada beberapa tour guide memakai pakaian tradisional  menawarkan jasa dan menjual buku. Mereka sopan sih, tidak maksa untuk menawarkan jasanya. Tapi ada juga guide karbitan yang menguntit saya dan anak saya kemana saja, dan menceritakan tentang keraton ini. Saya sudah jelaskan bahwa saya Wong Cerbon asli, tinggal deket keraton ini, dagang menyan dan lain-lain dari tahun 1955. Akhirnya bapak ini kenal dengan orangtua saya, akhirnya dia ngobrol banyak. Pasrah deh diikutin terus sama bapak ini. Dia antar saya ke dalam keraton, liat kereta kencana, peninggalan jaman dulu seperti keris, pedang, batik cirebonan.  Seharusnya ada acara tarian Cirebonan, video mengenai sejarah Cirebon/ keraton. Saya sempat ngobrol dengan beberapa turis local dan mancanegara, mereka terkejut dengan keadaan keraton ini, kalah dengan Keraton Jogyakarta-- katanya-- karena saya sendiri belom pernah kesana. Tapi disana lebih menarik, lebih bersih, banyak acara cultural nya, dan benar-benar tempat pariwisata yang membanggakan.

Bapak guide kenalan ortu saya menunjukkan sumur-sumur dimana kita bisa ambil air keraton, kondisi sumur menyedihkan, tak terawat. Ada yang menarik sewaktu si Bapak membawa kami ke tempat dimana ada beberapa kayu berbentuk hewan sapi, kuda, dan singa. Sudah tidak terawat, dimakan jaman, banyak tumbuhan liar di danau. Jembatan yang ada sudah tidak aman untuk dijelajahi.  Loh kok apa gak malu ya banyak yang kritik tentang keraton ini, karcis bayar, tapi sarana publiknya sangat minim, acara culturalnya paling pas Muludan saja.  Semoga pemda Cirebon/ pihak keraton bisa memperbaiki sarana keraton, memiliki daya tarik untuk turis berkunjung.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun