Berita dari MetroTVNews menyebutkan bahwa batu Malin Kundang mulai habis dimakan abrasi. Malin Kundang adalah sebuah legenda dari Sumatera Barat tentang seorang anak yang menjadi batu setelah ia dikutuk ibu yang ingkari. [caption id="" align="alignnone" width="480" caption="Sumber MetroTVNews.com"][/caption] Pertanyaannya, apakah memang sebaiknya diperbaiki lagi? Nah, di sini masalahnya. Di tautan di atas, jelas dikatakan bahwa apa yang disebut dengan reruntuhan kapal Malin Kundang dan sosok manusia yang sedang bersujud di reruntuhan itu adalah sebuah "pahatan". Informasi lain yang saya dapatkan dari seorang sahabat menyatakan bahwa batu itu tidak dipahat, namun dibuat dengan disemen. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, baiknya kita mendiskusikan dulu beda legenda dengan sejarah. Penjelasan tentang legenda saya ambil dari sini dan saya kutip di bawah ini. Penekanan (dimiringkan) saya tambahkan.
A legend, on the other hand, is a story which is told as if it were a historical event, rather than as an explanation for something or a symbolic narrative. The legend may or may not be an elaborated version of a historical event. Thus, examples of legends are the stories about Robin Hood, which are set in a definite period, the reign of Richard I of England (1189-99), or about King Arthur, which were perhaps originally based on the exploits of a Romano-Celtic prince who attempted to resist the expansion of the Anglo-Saxons in what was to become England. The stories about Robin Hood and King Arthur have been elaborated and expanded on down the years.
Definisi legenda di atas memberi kita simpulan (1) legenda adalah sebuah cerita yang dibuat seakan-akan sebuah peristiwa yang bersejarah, (2) cenderung naratif, dan (3) bisa jadi adalah sebuah versi tentang sebuah sejarah. Di sana dicontohkan dengan cerita Robin Hood yang dikaitkan dengan Raja Richard I. Di dalam masyarakat kita juga banyak legenda yang berhubungan dengan sejarah. Misalnya, legenda tentang Sangkuriang dan hubungannya dengan terciptanya Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang, Gunung Bukit Tunggul, dan Danau Bandung. Di wiki dijelaskan bukti sejarah kaitan danau dan gunung-gunung itu dengan sebuah peristiwa alam besar. Peristiwa alam besar itu menjadi sejarah tempat cerita Sangkuriang dikaitkan atau ditumpangkan. Artinya cerita Sangkuriang, yang mungkin saja dituturkan dan ditulis lama setelah bencana alam itu, digunakan untuk menjelaskan fenomena alam, sambil menumpangkan pesan moral ke dalamnya, yang, menurut tebakan saya, larangan dan bencana kalau kawin sedarah. Hal yang sama mungkin saja berlaku untuk sebuah batu yang terpisah dari bebatuan lain di pantai Air Manis Padang. Kalau kita perhatikan ada perbedaan antara pantai Padang dengan pantai Air Manis. Pantai Padang memiliki pantai yang landai dan tidak ada perbukitan di dekat pantai; sementara di selatannya, dipisahkan oleh Gunung Padang, laut berhadapan dengan bukit-pantai yang tinggi. Artinya pantai di selatan Pantai Padang curam, berbatu. Tidak seluruhnya memang curam, namun lebih banyak demikian. Dan seingat saya hingga jauh ke selatan masih demikian. Foto di bawah ini menunjukkan Pantai Padang di tahun 1970an dan di latar belakang, di sebelah selatan, adalah Gunung Padang. Di utara dari Pantai Padang seingat saya tidak ditemukan pantai yang berhadapan dengan bukit atau pantai yang curam.
[caption id="attachment_236906" align="aligncenter" width="924" caption="Arsip pribadi"]
Perbukitan yang bertemu dengan laut itu adalah bagian dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Kita tahu bahwa di barat Sumatera Barat ada patahan besar yang selalu mengguncang pulau Sumatera. Sementara di timur, ada patahan lain yang membelah pulau itu. Keduanya adalah sumber gempa. Dengan demikian, setidaknya ada dua potensi kekuatan alam penjelas mengapa ada sebuah batu bisa terpisah jauh dari tempatnya dan, mungkin, sedikit di tengah laut. Misalnya, bisa saja batu itu bukan terpisah dari bukit di darat oleh gempa namun justru muncul dari dasar laut karena gerakan patahan. Sejarah mencatat bahwa di Meksiko sebuah gunung muncul dari nol menjadi setinggi bangunan lima lantai (20-25 meter) dalam sepekan. Apalagi hanya sebuah batu.
Layaknya legenda yang lain, sebuah peristiwa bencana alam, mungkin gempa, menjadi latar waktu peristiwa "kemunculan" batu di pantai Air Manis. Peristiwa yang menjadi tempat cerita itu ditumpangkan mungkin tidak diceritakan, seperti tidak diceritakannya letusan Gunung Sunda purba yang membentuk ketiga gunung dan satu danau di Jawa Barat. Yang muncul kemudian adalah legenda Sangkurian dan Dayang Sumbi dan keterjadian ketiga gunung dan satu danau itu.
Hal yang sama mungkin saja terjadi dengan legenda Malin Kundang dan batunya.
Apakah legenda adalah sebuah sejarah?
Sejarah didefinisikan di wiki sebagai "sebuah pencarian, pengetahuan yang diperoleh dari pencarian".Di abad ke-15 sejarah dipersempit menjadi "catatan/rekor dari peristiwa di masa lalu", sementara Francis Bacon menyebut sejarah sebagai "pengetahuan tentang objek-objek yang dibatasi ruang dan waktu". Secara tradisional, sejarawan mencatat peristiwa di masa lalu, baik dalam bentuk tulisan atau penuturan secara lisan, dan mereka berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan historis melalui studi atas dokumen dan penjelasan oral. Di tahap awal, seorang sejarawan menggunakan monumen, inskripsi, dan gambar. Secara umum, sumber pengetahuan historis bisa dipisahkan ke dalam tiga kategori: catatan, penuturan, dan apa yang secara pisik tersedia (preserved). Seorang sejarawan seringkali membutuhkan ketiganya untuk mempelajari sebuah sejarah. Satu hal yang penting, sebuah catatan adalah penanda yang membatasi sejarah dengan apa yang datang sebelumnya, yaitu zaman yang disebut dengan pra-sejarah.
Penjelasan di wiki di atas memberi kita batas yang jelas beda antara legenda dengan sejarah. Sejarah mesti didasari dengan bukti, sementara legenda tidak. Tidak ada bukti bahwa Sangkuriang memang ada, misalnya. Bahkan, salah satu legenda yang paling banyak diceritakan hingga ke dalam film, legenda tentang Robin Hood sendiri hingga sekarang tidak bisa menjadi sejarah karena tidak tersedianya bukt-bukti yang bisa menunjukkan bahwa seseorang memang adalah ia.
Jadi batasan penting adalah: yang memiliki bukti berupa artifak itu hanya sejarah, tidak legenda.
Kembali ke batu Malin Kundang .
Batu Malin Kundang dibuat seakan-akan menjadi bukti bahwa Malin Kundang MEMANG ada. Jika memang orang itu ada, dan batu itu adalah artifak dari masa lalu, apakah memang telah ada pemeriksaan dari sejarawan, seperti usia artifak kapal, dan, yang paling "menarik", DNA si Malin Kundang?
Tidak ada, bukan? Menarik kalau kita bisa menemukan siapa keturunan Malin Kundang yang masih hidup hari ini, misalnya. Atau kapan kejadian itu sebenarnya dengan pengujian usia sisa kapal.
Dua puluh dua tahun yang lalu adalah terakhir saya mengunjungi reruntuhan kapal Malin Kundang dan melihat "jasadnya", setelah sebelumnya di usia yang sangat kecil yang tidak bisa saya ingat. Di kunjungan "pertama" ini saya langsung merasa malu melihat "penipuan" sejarah itu. Betapa kentara bahwa semua yang dilihat itu adalah hasil karya artis, entah siapa. Tong, tali, dan sosok manusia terlalu kentara sebagai sebuah sisa dari sebuah "konon-kutukan".
[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Sumber dari http://4.bp.blogspot.com/-K3cvgAfGg00/TfxO4NmFeJI/AAAAAAAAACY/4QYHg0hHeGk/s1600/malin+kundang1.jpg"]
Makanya, andai batu itu tergerus laut, biarlah, tidak usah dibuat lagi sebuah "reruntuhan" kapal dan Malin Kundang yang baru. Jika tujuan dari penuturan legenda itu adalah untuk mendidik anak-anak untuk tidak mendurhakai kedua orang tuanya, maka ada baiknya mencari cara yang lain. Banyak daerah yang tidak memiliki cerita "malin kundang" namun tetap bisa mendidik anak-anak mereka dengan baik.
Saya sendiri tidak akan datang ke pantai Air Manis dan menunjuk ke patung-patung buatan manusia itu ketika mengajarkan anak-anak saya akibat dari mendurhakai orang tuanya. Saya tidak ingin malu berdusta bahwa "manusia" di sana pernah hidup. Bukti sejarah tentangnya saja tidak pernah ada. Dan saya tidak ingin berdusta bahwa legenda adalah sejarah.
Jadi biarlah ia hancur dimakan alam.
Nusantara, 8 April 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H