Mohon tunggu...
Rahmat Febrianto
Rahmat Febrianto Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Blogger dan siswa; @rfebrianto; 2eyes2ears.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Celana Kolor Superman

22 November 2012   03:07 Diperbarui: 4 April 2017   16:12 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah merenungkan jawaban putra saya itu, saya teringat dengan sebuah penjelasan kelemahan atau bias manusia dalam membuat keputusan yang disebut availability heuristic. Kutipan dari Wikipedia

The availability heuristic is a mental shortcut that occurs when people make judgments about the probability of events by the ease with which examples come to mind. The availability heuristic operates on the notion that, "if you can think of it, it must be important." The availability of consequences associated with an action is positively related to perceptions of the magnitude of the consequences of that action. In other words, the easier it is to recall the consequences of something, the greater we perceive these consequences to be.

Ketika kita membuat sebuah keputusan kita seringkali kita memilih strategi pembuatan keputusan yang sederhana. Prinsipnya, " if you can think of it, it must be important". Dengan kata lain, seberapa penting sebuah contoh bisa diingat kembali oleh manusia atau sebuah memori dipanggil kembali sangat berhubungan dengan seberapa sering peristiwa itu terjadi.  Oleh sebab itu, orang cenderung untuk menggunakan atau memanfaatkan atribut yang bisa dengan segera diakses untuk melandasi keyakinan mereka tentang sebuah konsep yang masih samar.

Sebuah contoh teka-teki lama mungkin bisa menggambarkan penjelasan di atas.

Pertanyaan: "Bagaimana cara memasukkan gajah ke dalam kulkas?"

Ketika pertanyaan ini diberikan kepada saya bertahun-tahun yang lalu jawaban saya sangat banyak, yang mungkin merupakan jawaban banyak orang lain. Jawaban itu misalnya,

  • Mana bisa gajah masuk ke dalam kulkas.
  • Foto gajahnya, lalu masukkan fotonya ke dalam kulkas.
  • Sembelih gajah itu, lalu masukkan ke dalam kulkas.

Sementara jawaban yang benar adalah: "Buka pintu kulkas, giring gajah masuk ke kulkas, lalu tutup pintu kulkas tersebut." Sesederhana itu. Apa yang membuat semua jawaban di atas keliru? Semua jawaban itu keliru karena si penjawab--diri saya--terjebak di dalam kumpulan contoh yang saya miliki tentang ukuran gajah dan kulkas. Di dalam memori saya, seekor gajah memiliki ukuran raksasa, seukuran jip atau minibus. Sedangkan kulkas yang saya miliki dan pernah saya lihat di rumah orang lain atau di dalam televisi atau di tempat lain hanyalah kulkas dua--paling banyak tiga--pintu yang dimiliki oleh hampir setiap rumah tinggal. Di dalam memori mungkin saja ada pengetahuan sebuah kulkas yang berukuran raksasa, milik sebuah pabrik, berwujud gedung yang besar. Namun, seperti premis di atas, "jika sesuatu bisa anda panggil dari memori anda, maka hal itu penting", maka jawaban saya selalu keliru. Saya terjebak di dalam strategi pembuatan keputusan yang hanya didasarkan pada keseringan sesuatu muncul dan dengan demikian dengan cepat bisa kita panggil untuk membantu membuat keputusan. Nah, hal itu yang terjadi dalam kasus celana kolor Superman ini. Anak saya menyadarkan saya bahwa jawaban saya selama ini bias oleh memori yang saya miliki tentang urutan letak  dan ukuran celana dalam dan celana luar. Dan, masya Allah, dia bukan hanya menyadarkan, namun memberikan pandangannya sendiri dan saya yakin bahwa jawabannya memang benar. Mengapa jawabannya benar? Di masa kecil, entah fakta itu benar atau tidak, ada yang disebut dengan "celana kotok" atau "celana dalam nabi". Saya kira penamaan ini bukan untuk mengolok nabi, namun hanya untuk menunjukkan bahwa nabi menutup auratnya lebih banyak dibandingkan dengan manusia biasa. Sehingga pakaian paling akhir atau terdalam yang dikenakan oleh nabi, sebelum kulitnya terlihat, adalah sebuah celana dalam yang panjang. Dulu saya ingat sekali ketika seseorang mengenakan celana pendek yang melebihi lutut dianggap memakai celana kotok (a la) nabi. Nah, di dalam sejarah, saya kutip dari Wikipedia, di Abad Pertengahan, celana dalam pernah berbentuk celana panjang. Jadi klop sudah. Jawaban Ismail sangat tepat dan ia contoh orang yang bebas dari fenomena bias karena heuristic availability yang dialami oleh bapaknya. Dari sebuah sudut di Nusantara, 22 November 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun