Udara dini hari terasa menggigit. Saat itu pukul dua tepat. Saya dan rombongan berjumlah lima belas orang akan melakukan trekking ke Kawah Ijen yang terletak di puncak Gunung Ijen. Gunung ini terletak di perbatasan Banyuwangi dan Bondowoso.
[caption id="attachment_331853" align="aligncenter" width="300" caption="Saya diantara rombongan"]
Sebelumnya, kami menempuh lima jam perjalanan dari Probolinggo menuju Sempol. Tiba di penginapan Jampit Guest House menjelang isya’, solat, makan malam dan tidur sebentar, kemudian harus bangun pukul satu untuk mempersiapkan pendakian ke Kawah Ijen. Mungkin karena kesempatan untuk beristirahat hanya empatjam saja, beberapa diantara kami merasa berat membuka mata. Bahkan saat mobil yang mengangkut kami ke Pos Paltuding—gerbang masuk Kawah Ijen—berhenti, sebagian kami malah enggan turun.
Beberapa saat setelah ketua rombongan melapor, terdengar pemberitahuan dari petugas yang berjaga di pos, bahwa pendakian boleh dilakukan mulai pukul tiga. Artinya, kami masih harus menunggu satu jam lagi. Sebagian dari kami pun memanfaatkan kesempatan itu untuk memejamkan mata kembali di dalam mobil.
Saya dan rombongan termasuk beruntung, karena saat kami berkunjung, Kawah Ijen baru dibuka kembali untuk wisatawan. Dua minggu sebelumnya pendakian sempat ditutup karena Gunung Ijen dinyatakan waspada. Oleh sebab itulah pengunjung tidak boleh melakukan pendakian sebelum pukul tiga.
Perjuangan Memburu Blue Fire
Pukul tiga, himbauan petugas kembali terdengar. Penderita asma, jantung, dan tekanan darah tinggi dilarang mendaki. Setelah berdoa bersama, kami pun trekking beramai-ramai dengan rombongan lain. Senter-senter dinyalakan. Dalam keadaan menggigil, kami mulai berjalan pelan. Pakaian berlapis lengkap dengan jaket tebal, penutup kepala, kaus tangan, sepatu gunung, dan kaus kaki seolah tak mempan melawan tamparan udara dingin Ijen.
Jalan setapak menanjak sedikit demi sedikit. Teman-teman serombongan mulai berpencar.
Dua puluh menit berjalan, kaki mulai pegal, napas juga mulai ngos-ngosan. Saya jadi sering berhenti untuk minum, menyelonjorkan kaki, atau mengatur napas. Padahal perjalanan ke puncak gunung yang tingginya sekitar 2.386 meter dpl itu memakan waktu 1,5—2 jam. Masih sangat panjang. Seorang teman mengingatkan saya untuk tidak bernapas melalui hidung dan mulut, sebaiknya hanya melalui hidung saja agar tidak cepat lelah. Teman yang lain menyarankan agar saya tidak perlu berjalan cepat. Pelan saja, lama-lama pasti sampai. Pendakian kali ini memang tanpa persiapan sama sekali. Mungkin jika sebelumnya rutin berolahraga beberapa menit, stamina akan terjaga dan tidak mudah capai.
Saat berada di ketinggian, sesekali saya melongok ke bawah. Kelap-kelip lampu menjadi pemandangan indah yang mampu mengalihkan kepenatan yang saya rasakan. Beberapa kali saya berpapasan dengan para penambang belerang yang turun sambil memikul dua keranjang belerang. Diam-diam mereka menyemangati saya untuk tidak menyerah menuju puncak. Bayangkan, belerang yang mereka pikul itu beratnya puluhan kilo, lho! Pundak mereka bahkan ada yang tampak menonjol seperti punuk unta saking beratnya. Hebatnya lagi, beberapa penambang itu berseliweran dengan bertelanjang dada di tengah dahsyatnya gempuran udara dingin!
[caption id="attachment_331845" align="aligncenter" width="300" caption="Penambang belerang Kawah Ijen"]
Karena itulah, sepanjang perjalanan tak henti saya menyugesti diri sendiri, saya pasti bisa! Saya juga membayangkan keindahan blue fire yang akan saya lihat nanti. Blue fire adalah api biru yang muncul secara alami di Kawah Ijen. Blue fire merupakan fenomena unik yang hanya ada di dua tempat di dunia, yaitu di Kawah Ijen dan di Islandia.
Perasaan lega menghampiri ketika sampai di Pondok Bunder, tempat peristirahatan sekaligus tempat para penambang menimbang muatan keranjangnya. Pos Bunder berada di ketinggian 2.214 meter dpl. Sedikit lagi. Tetapi saya mulai ragu, apakah nanti saya bisa menyaksikan blue fire? Saat itu sudah masuk waktu subuh. Menurut informasi, blue fire ini bisa dilihat dengan jelas mulai dini hari sampai mendekati akhir waktu subuh, biasanya pukul lima sudah tidak terlihat lagi.
Dengan agak terburu, saya dan tiga teman yang masih bersama-sama melanjutkan perjalanan. Beruntung tanjakan sudah berkurang, banyak jalan landai, sehingga berjalan pun tidak terlalu menguras tenaga. Meski demikian, kami harus berhati-hati, karena jalanannya miring, tidak terlalu lebar, dan tepinya langsung menghadap jurang.
Kami sampai di kawah pukul lima, langit mulai agak terang. Blue fire sudah tidak tampak lagi dari tempat kami berdiri. Seandainya waktu pendakian dilakukan lebih awal, sekitar pukul satu hingga dua dini hari, mungkin kami masih bisa menyaksikan blue fire raksasa yang spektakuler itu.
Saya melihat ke dasar kawah, kepulan asap belerang membumbung ke angkasa. Di balik kepulan asap itu samar-samar terlihat sisa blue fire yang masih menyala. Sebuah papan larangan dekat jalan turun ke dasar kawah menghimbau wisatawan agar tidak turun, karena berbahaya. Membaca tulisan itu, nyali saya menciut. Saya pun urung turun. Lagi pula, jalanan untuk turun ke dasar kawah tampak sangat curam. Jarak antara dinding kaldera ke dasar kawah yang sejajar dengan danau sekitar 400 meter.
[caption id="attachment_331847" align="aligncenter" width="300" caption="Kawah Ijen di pagi hari"]
[caption id="attachment_331850" align="aligncenter" width="300" caption="Larangan turun ke dasar kawah"]
Meski demikian, banyak juga pendaki yang nekat turun. Mereka tampak seperti barisan liliput. Oiya, kalau punya nyali untuk turun ke kawah, jangan lupa melengkapi diri dengan masker. Bau asap pekat belerang sangat menyengat dan terasa pedih jika terkena mata.
Meski akhirnya tidak berhasil memburu blue fire, saya tidak terlalu kecewa. Pemandangan lain di sekitar danau kawah yang berwarna hijau tosca agak kebiruan itu sayang untuk dilewatkan. Seperti saat turun dari puncak, kita bisa menemukan banyak pemandangan indah yang akan membuat kita selalu bertasbih kepada Sang Pencipta.
[caption id="attachment_331849" align="aligncenter" width="300" caption="Pemandangan indah Kawah Ijen"]
Penambang Belerang Kawah Ijen
Pesona Kawah Ijen bukan hanya blue fire dan kawahnya yang cantik, tetapi juga penambangan belerangnya. Disini kita bisa menyaksikan penambangan belerang tradisional yang dilakukan oleh penduduk setempat. Yang membuat saya terpukau, para penambang disini memikul belerang puluhan kilo dari dasar kawah, lalu dibawa turun. Wow!
Sekali naik gunung, para penambang belerang biasanya membawa turun 50—100 kg belerang dalam pikulannya. Perkilogram belerang dihargai Rp 1000,00 oleh pengepul. Dalam sehari, biasanya mereka dua kali naik-turun Kawah Ijen. Bagi saya, para penambang tersebut adalah orang-orang yang luar biasa. Bayangkan, mereka berani melakukan pekerjaan yang penuh resiko dan menantang maut!
Penambangan belerang tradisional ini adalah sisi lain keunikan Kawah Ijen selain blue fire. Belerang yang diambil langsung dari dasar Kawah Ijen dicetak menjadi suvenir dengan aneka bentuk seperti kura-kura, bunga, istana, pesawat, dll. Suvenir-suvenir lucu itu adalah salah satu oleh-oleh khas Kawah Ijen. Kita bisa membelinya langsung dari para penambang yang baru naik dari dasar kawah. Diantara para penambang ada yang menjajakan suvenir dari belerang itu dengan harga sukarela. Ada juga yang mematok harga Rp 5000,00 untuk dua suvenir berukuran mini dan Rp 15.000,00 untuk suvenir berukuran besar.
[caption id="attachment_331848" align="aligncenter" width="300" caption="Belerang yang sudah dibentuk dan siap dijual"]
Tertarik ke Kawah Ijen? Perjalanan ke Kawah Ijen bisa dimulai dari Surabaya atau Denpasar. Untuk transportasi menuju Bondowoso, bisa menggunakan bus umum dengan tarif Rp 50.000,00. Demikian juga apabila berangkat dari Denpasar ke Banyuwangi. Dari Bondowoso atau Banyuwangi bisa menyewa mobil carter menuju Paltuding dengan harga mulai 300 ribu. Mengenai penginapan, di Paltuding tersedia penginapan sederhana dengan harga Rp 100.000,00 per malam atau villa 3 kamar dengan harga Rp 500.000,00 per malam. Apabila ingin menginap di Jampit Guest House, tersedia kamar penginapan dengan harga mulai Rp 135.000,00 per malam, tetapi untuk ke Paltuding harus menyewa kendaraan lagi.
[caption id="attachment_331855" align="aligncenter" width="300" caption="Penginapan di Kawah Ijen"]
Selamat bertualang! ^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H