Mohon tunggu...
Rezza Pahlevi
Rezza Pahlevi Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Jika tidak sabar dengan lelahnya belajar, maka bersabarlah dengan perihnya kebodohan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Umum di Sini, Belum Tentu di Sana...

10 Oktober 2015   23:06 Diperbarui: 11 Oktober 2015   11:17 2743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - Umum di Indonesia, bisa jadi hal yang tabu di Jepang/Kompas.com

Sebagai pembelajar bahasa Jepang di Surabaya, saya merasa sangat beruntung bisa mempunyai teman-teman dan kenalan orang Jepang (日本人). Seperti orang Indonesia pada umumnya, saat pertama kali mempunyai teman orang Jepang saya pun berpikir bahwa itu sangat keren karena dalam benak saya orang Jepang pasti tau banyak hal karena berasal dari negara maju. Tetapi ternyata setelah banyak melakukan “jalan-jalan” dengan mereka percakapan “unik” pun seringkali terjadi. Berikut beberapa percakapan “unik” itu.

1. Ini “Cantolan” Helm

Di Indonesia sudah sewajarnya sarana transportasi yang digunakan di jalan raya adalah sepeda motor. Hal ini bukanlah sesuatu yang wajar bagi orang Jepang lantaran di negara mereka sepeda motor sangat sedikit. Pernah suatu ketika saya dan teman Jepang (Kanakochan) pergi ke tempat wisata, sesampainya di parkiran tempat wisata tentu saja saya meletakkan helm saya di “cantolan” sepeda motor saya. Namun Kanakochan hanya melihat saya sambil membawa helmnya. Saya pun berkata, “Kanakochan, taruh helmnya dong”. Dia pun lalu menjawab, “Di mana? Bisa ditaruh di situ kah? Itu apa?”. Dalam benak saya bertanya-tanya, ini sepeda motor kan produk Jepang kenapa orang Jepang sendiri tidak tau ya, namun karena ditanya saya pun langsung menjawab , “Iya taruh sini bisa, ini ada “cantolannya”, pasti aman kok”. Setelah itu dia pun langsung berkata, “Hebaaat yaa,” Saya pun hanya tersenyum kecil melihat kepolosannya.


Foto pribadi.

 

2. Sudah Pernah ke Pesta Pernikahan?

“Rezza san, sudah pernah datang ke pesta pernikahan?“ tanya Mio san. Begitulah pertanyaan “unik” yang terlontar dari seorang cewek Jepang yang sedang melakukan PPL di kampus saya. Saya pun menjawab dengan santai , “Iya sudah pernah beberapa kali.” “Hee.. hebat, aku saja belum pernah sama sekali,” kata Mio chan. Mengapa bisa begitu?

Seperti diketahui pernikahan merupakan hal menyenangkan sekaligus momen yang sangat penting, karena itu tak heran jika dalam pesta pernikahan seringkali mengundang banyak kerabat serta teman-teman dekat bahkan ada juga pesta pernikahan di desa di mana untuk menghadirinya sama sekali tidak membutuhkan undangan. Namun di Jepang, undangan untuk sebuah pesta pernikahan sangatlah terbatas, paling banyak 100orang. Angka itu sudah termasuk keluarga inti dan keluarga besar. Memang di Jepang ketika menghadiri suatu pesta pernikahan haruslah mengikuti beberapa rangkaian acara sampai selesai, tidak hanya berjabat tangan dengan pengantin makan prasmanan dan pulang. Tetapi jamuan makanannya diberikan secara lengkap dan juga bertahap.

3. Peta Tidak Penting, Ya?

Akhir minggu ini saya dan beberapa teman Jepang saya pergi jalan-jalan ke mal. Teman- teman saya itu berniat memasak salah satu masakan Jepang dengan mencari bahan-bahan yang ada di salah satu tempat belanja di mal tersebut, tetapi ternyata bahan yang mereka cari tidak ada. Kami pun mencoba mencarinya di tempat lain, namun tak kunjung menemukan tempat lain yang menjual sayuran. Junya kun pun bertanya padaku, “Rezza, disini tidak ada denah mal nya kah biar bisa melihat tempat jual sayuran yang lainnya?”

Saya pun menjawab dengan berkata, “Mari kita tanya orang itu. ”Selesai bertanya saya pun berkata bahwa tidak ada tempat jual sayuran yang lain lagi selain di tempat yang kita kunjungi sebelumnya. Teman-temanku pun heran karena aku sudah tau padahal belum melihat denah (peta) mal. “Aku tadi udah tanya sama bapak satpam, katanya gak ada lagi tempat yang lain,” kata saya kepada mereka. Junya kun pun nyeletuk, ”Orang Indonesia lebih suka bertanya ya daripada melihat peta? ”Saya jawab, ”Iya, tanya kan lebih gampang.”
Kanakochan pun berkata, “Di sini peta tidak begitu penting ya?” Sekali lagi saya pun hanya tersenyum kecil.

4. 200detik?? Lampu Merah Macam Apa Ini?

Waktu itu saya habis jalan-jalan dengan sensei(dosen) saya. Sampai di perempatan sebuah jalan kami pun berhenti karena ada lampu lalu lintas sedang merah. Tiba- tiba sensei mengeluarkan kamera dan memotret lampu lalu lintas yang sedang merah. Saya pun heran dan bertanya, “Maaf, sensei memotret lampu merah kenapa?” Sensei pun menjawab dengan antusias, “Rezza san, coba lihat, angka di lampu lalu lintas itu tertulis 200detik, itu sangat membuat saya takjub di Jepang tidak ada yang seperti itu”. Saya pun hanya tertawa dan menjawab, “Oh, iya iya” sedangkan dalam batin saya pun berkata iya sensei ini dibuat 200 detik saja masih banyak yang melanggar dengan menerobos apalagi dibuat sebentar. Tapi tentu saja saya juga mengerti karena di Jepang tidak ada lampu merah yang juga mencamtukan hitungan detiknya, dan tentu saja lampu merah selama 200 detik pun kayaknya tidak ada.

Semoga dengan mengenal sudut pandang orang asing yang dalam kasus ini adalah orang Jepang, kita sebagai orang Indonesia khususnya pembelajar Bahasa Jepang dapat mengerti pandangan orang Jepang terhadap negara Indonesia sehingga akan terjalin komunikasi yang baik dan kita dapat meniru sikap-sikap mereka yang baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun