Mohon tunggu...
Rezza Lazuardi Pratama
Rezza Lazuardi Pratama Mohon Tunggu... lainnya -

Half time officer Full time writer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Baduy, Sekali Lagi

1 April 2016   16:51 Diperbarui: 1 April 2016   17:40 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin inilah Hukum Memodinamika. Hukum imajiner yang menyatakan bahwa ingatan manusia sesungguhnya tidak bersifat diam dan tetap, namun bergerak dinamis dan adaptif terhadap perkembangan dan pengalaman hidup.

Suatu senja selepas pulang kerja,  surat elektronik dari Kompasiana menyambangi smartphone saya dan seketika membuat saya terjerumus pada Hukum Memodinamika yang saya jelaskan diatas. Serpihan  memori  kembali menemukan wujudnya, menghasut saya untuk angkat pena. Menceritakan kembali kisah 5 tahun lalu, kisah yang menuntun saya dan teman-teman saya untuk menemukan Eureka kami masing-masing di pedalaman Gunung Kendeng, Bumi Suku Baduy.

Sepuluh orang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) semester 5 nekat melakukan blind travelling  menuju Desa Kanekes, Banten. Tidak ada satupun dari kami yang pernah kesana sebelumnya, hanya rasa penasaran yang membimbing kami untuk menginjakan kaki ke tempat itu. Memulai perjalanan dari Darmaga menuju Rangkasbitung menggunakan bus umum, kemudian dilanjutkan dengan mobil elp ke Terminal Ciboleger.

Dari Terminal Ciboleger kami berjalan kaki menuju pemukiman Baduy luar. Sebelumnya, dipintu gerbang kami sepakat untuk menghormati aturan-aturan bagi pendatang yang akan memasuki ke kawasan budaya ini.   Ditemani seorang guide yang rewel sekali diperjalanan karena kami “salah kostum”. Ya, tak pernah kami kira bahwa perjalanan ke Baduy akan mendaki dan menuruni bukit. Persiapan kami sangat minim, 9 dari 10 tidak menggunakan sandal atau sepatu gunung, bahkan saya hanya menggunakan “sandal jepit sejuta umat” berwarna biru. Delapan orang dari kami perempuan, ada yang memakai flat shoes yang biasa dipakainya kuliah. Alamak, cobaan macam apa ini.

Jalan tanah licin, beberapa dari kami telah telanjang kaki. Berjalan kami tergelincir, memakai tongkatpun tidak terlalu banyak membantu. Bergandengan kami ketika jalan cukup sulit.  Guide tetap saja rewel, mungkin merasa apes karena harus menemani rombongan udik ini. Kami tak peduli.

Damai, Kedamaian, dan mendamaikan saat langkah-langkah kaki telanjang kami menyatu dengan Tanah. Desir angin perlahan bergesekan dengan dedaunan menemani kami sepanjang perjalanan. Tidak terasa sudah menjelang Magrib. Kami mengakselerasikan langkah  untuk menuju rumah salah satu warga yang akan menjadi pemondokan kami. Setelah berjalan selama 1  setengah jam, kami sampai.  

Sederhana, rumah yang dibuat dari bambu ini sangat sederhana. Di dalamnya tidak banyak barang-barang, hanya peralatan makan dan tungku untuk memasak yang nampak secara visual. Rumah ini ditinggali oleh seorang ibu satu anak, suaminya sedang keluar kampung, “berjalan kaki” menjual madu ke kota katanya.  Malam cepat datang , segera  gulita menyergap, kami sepakat untuk istirahat karena besok akan melanjutkan perjalanan ke kawasan Baduy Dalam. Para wanita tidur didalam sementara laki-laki tidur di teras rumah, dan kehujanan pada malam harinya.  

Dingin menusuk tulang, subuh-subuh saya dan teman saya, Robi mandi ke sungai. Kampungan sekali rasanya saya ini, kegirangan membuncah ketika mandi di sungai, menikmati aliran air yang membelah sopan tubuh saya. Udara pagi bercampur tetesan embun nan bening menambah khusyu pagi itu.

Sang Mentari muncul, kini kampung Baduy Luar menunjukan jelas wajahnya.

Indah, indah dan indah…..

Pagi-pagi kami berbincang dengan penduduk sekitar, awalnya saya merasa agak sulit karena mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sunda (Hampir 3 tahun saya tinggal di Bogor, kemampuan Bahasa Sunda saya masih saja di level beginner ). Untungnya, ada  Robi dan beberapa teman perempuan yang berasal dari Jawa Barat menjadi translator kami. Menyenangkan mendengar cerita mereka,  cerita tentang “ para pejalan kaki “ yang memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan hingga saat ini.

Setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke Baduy Dalam. Guide bilang bahwa perjalanan normal akan memakan waktu 3 jam, berarti 6 jam pulang-pergi karena kita tidak bisa menginap disana. Perjalanan dilanjutkan, namun tidak semua dari kami melanjutkan ke Baduy Dalam dalam karena kondisi fisik yang kelelahan akibat tanpa persiapan.

Melewati pepohonan, saluran pengairan dari bambu, leuit, jembatan, mendaki dan menuruni bukit. Jika berpapasan dengan orang Baduy yang melintas. Kami tersenyum, mereka bertanya mau kemana ?, kami bilang mau ke Kampung Baduy Dalam, sekarang gantian mereka yang tersenyum.

Pemandangan yang indah diselingi menyaksikan aktivitas orang baduy yang “ramah lingkungan” disepanjang jalan mengusir lelah kami. Tak terasa kami tiba di Kampung Baduy Dalam. Betapa terkejutnya kami karena mereka sangat terbuka dengan kehadiran  orang lain, bahkan banyak dari mereka yang fasih berbahasa Indonesia. Sangat memudahkan saya berinteraksi dengan mereka.

Bercerita panjang lebar dengan tetua di Baduy Dalam begitu menyenangkan, dihiasi senyum yang tiada henti-hentinya menempel dari awal pembicaraan. Disuguhinya kami air minum dan buah-buahan.

Benar kata pepatah “ Suatu perjalanan memang akan membawa raga manusia menemukan tempat dan pengalaman baru, tapi sejatinya perjalanan akan membawa manusia untuk menemukan jiwa  masing-masing“.

Inilah eureka-saya, tentang kedamaian dalam kesederhanaan.

Keyakinan mereka terhadap warisan leluhur untuk berselancar dengan alam telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang sederhana namun pernuh kedamaian. Tak perlu membandingkan dengan siapa-siapa, tak perlu ambisi untuk punya apa-apa, tak perlu bertingkah yang bagaimana-bagaimana. Cukuplah sesederhana pola pikir dan rasa syukur yang kemudian menjelma menjadi kedamaian hati. Kedamaian yang lestari.   

Mungkin kita pikir mereka hidup terisolir, tapi mungkin pula sebenarnya kita yang terisolir. Terisolir dalam konsep-konsep hidup yang diciptakan orang lain. terisolir dengan tuntutan-tuntutan, terisolir dengan keinginan-keinganan untuk melampaui pencapaian orang lain.   

Waktu berlalu cepat, sudah sore hari dan kami harus kembali ke perkampungan Baduy Luar. Perjalanan lain untuk menemukan potongan-potongan eureka berikutnya masih panjang, masih berliku…..  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun