Mohon tunggu...
Rezz Ahmad
Rezz Ahmad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa butuh penghasilan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Karya Ahmad Rezikusumah: Tak Sangka

12 Desember 2022   08:20 Diperbarui: 12 Desember 2022   09:11 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak Sangka

Karya: Ahmad Rezikuusumah

"AARGHHH, AKU AKAN BALAS DENDAM, LIHAT SAJA NANTI!". sontak aku terkejut mendengarnya. Siapa yang mengatakan itu malam-malam begini?, Suaranya berat sekali. Aku langsung beranjak dari tempat tidurku, ternyata suara keras itu berasal dari kamar adikku. Adikku berumur 10 tahun, terpaut 10 tahun lebih muda dariku. Apa yang ia lakukan malam-malam begini?. Aku berusaha berjalan perlahan tanpa suara menuju pintu kamar adikku, pintu kamarnya terbuka sedikit dan aku perlahan meletakan kepalaku ke daun pintu untuk mengintip. Dan, HAHHH?. Aku melihat adikku berbicara sendiri. Aku perlahan masuk dan ia tiba-tiba pingsan di hadapanku, sontak aku berteriak minta tolong lalu akhirnya orangtuaku datang dan berkata sambil membanting pintu, ''Apa yang terjadi pada adikmu anna?''. Aku diam membatu, menahan tangis, tak bisa berkata apapun karena syok. Adikku Tia memang bisa melihat hal-hal ghaib dari kecil, tapi baru kali ini kejadian itu menimpa adikku. Tanpa pikir panjang orangtuaku langsung membawa adikku ke rumah sakit yang mahal dan mewah. Oragtuaku memang bergelimangan harta, saking kayanya, apapun yang aku dan adikku minta akan dikabulkan.

Malam berganti pagi, aku menyaksikan fajar itu terbit dengan gagahnya. Sinarnya tak ada lawan, cahayanya merasuk kedalam tulangku dan menghangatkan seluruh tubuhku.  Mataku yang sembab melihat matahari yang begitu indah, saking indahnya ku urungkan niatku untuk tidur. Aku tak tidur semalaman menunggu kedatangan orangtuaku dan adikku. Dan akhirnya adikku datang dalam keadaan dituntun ibuku yang langsung membawanya ke tempat tidur. Setelah kejadian itu, adikku tak mau bicara pada siapapun, bahkan orangtuanya sendiri. 

Sekarang aku hanya bisa melihatnya terkapar lemas diatas tempat tidur. Aku merasa kasihan sekaligus penasaran apa yang terjadi pada malam itu?, siapa yang akan balas dendam?, Pikiran itu selalu berputar dikepalaku. Aku berusaha memberikannya makan, syukurlah dia mau menerima suapanku walau tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya karena memang makanannya terlalu asin. Suap demi suap aku berikan kepadanya sambil membelai rambutnya yang panjang. tunggu dulu, Aku melihat luka lebam di belakang lehernya, ''ini kenapa Tia?'' tanyaku. Ia tidak menjawab, hanya menyeka tanganku dari lehernya sambil mengeluarkan ekspresi kesal. Aku tidak mempedulikannya. ''TOK..TOK..TOK'' suara ketukan pintu memecah keheningan aku dengan adikku. Aku langsung beranjak dari tempat tidur adikku dan langsung membukakan pintu. Ketika dibuka tak ada seorangpun dibalik pintu. Aku melangkah kembali ke kamar tidur adikku. ''TOK..TOK..TOK'', ketukan pintu terdengar lagi. Aku sedikit kesal dan langsung menarik pintu kencang-kencang, ternyata ibuku baru pulang dari pasar. ''silahkan masuk bu'', kataku spontan. 

Tapi ibuku tidak mau masuk, ia hanya diam membatu di pintu. Aku tidak mempedulikannya dan aku langsung kembali ke kamar adikku. ''hey anna, kamu habis dari mana?''. Kudengar suara ibuku dari dalam rumah. Sontak aku kaget. Aku bertanya-tanya. Lalu siapa yang ada di pintu yang tak kunjung masuk?. Aku tidak berani menengok kebelakang. ''kenapa nak?'', Tanya ibuku. 't-tadi aku membukakkan pintu untuk ibu, tapi ibu tidak mau masuk dan tiba-tiba ibu muncul dari dalam rumah dan memanggilku'', Jawabku sambil menahan rasa takut dan melihat sesuatu yang aneh di genggaman tangan kanan ibuku. ''mana?, tidak ada siapa-siapa kok, ah itu hanya perasaanmu saja, kamu belum moveon dengan kejadian yang menimpa adikmu kan?'', kata ibuku sambil menenangkanku dan sambil menyembunyikan tangan kanannya dari pandanganku. Aku tak mempedulikan hal itu. Mungkin perkataan ibuku benar, tapi pengelihatanku tidak bisa dibohongi, yang ada di pintu itu seperti kenyataan, tapi. Ah sudahlah. Aku melanjutkan untuk menyuapi adikku.

Bisingnya laju kendaraan layaknya rudal yang beterbangan di langit palestina dan sinar mentari yang menyengat dari sela-sela jendela bak kunang-kunang ditengah gemerlapnya malam membangunkanku, perlahan kubuka mata dan melirik jam menunjukkkan pukul 07.00 pagi. Sejak kejadian itu menimpa adikku, aku sering tidur larut karena menjaga adikku. Tia masih terbaring lesu di atas kasur tanpa bisa berbicara. Orangtuaku berniat membawanya ke psikiater, karena sudah terpaut lama. Sebelum orangtuaku membawanya ke psikiater, ia mencoba sekali lagi untuk mengajak Tia berbicara. ''Tia baik-baik saja kan nak?'', tanya ibuku. Tak ada jawaban, hanya reaksi mata melotot tapi dengan badan yang gemetar seperti ingin bicara, seakan-akan ia melihat sesuatu di belakang ibuku. Aku takut dan ibuku kebingungan. ''kenapa nak?'', tanya ibuku sekali lagi sambil memberinya minum. Ia semakin meronta setelah menunjuk sesuatu di belakang ibuku, aku semakin takut. Akhirnya orangtuaku tidak jadi membawanya ke psikiater, ia mengundang ustadz setempat untuk meruqyahnya. Tapi ketika ustadz telah datang, ibuku tiba-tiba tidak ada di rumah. ''ibu kemana yah?'', tanyaku pada ayah. ''oh iya, ibumu kemana ya?''. Jawabnya bingung sambil menengok ke kanan dan kiri seolah mencari, langsung ayahku menelepon ibuku dan tak ada jawaban. Ustadz menyuruhku dan ayahku keluar meninggalkannya Bersama adikku. ''ARRGGHH, PANAAASS!'', teriakan adikku. 

Aku tak tahu apa yang dilakukan ustadz itu kepada adikku. Aku dan ayahku hanya bisa cemas menunggu kabar baik dari ustadz itu. Dimana ibu?, disaat genting seperti ini ia tidak ada, disaat anaknya sakit ia lebih memilih mementingkan dirinya sendiri. Rasa kesal ini berkecamuk, hati ini menggerutu, mungkin ayah juga merasakan hal sama. Akhirnya ustadz itu keluar dengan membawa sesuatu yang aneh di genggamannya. 'hah?, apa itu?', pikirku. Aku seperti pernah melihatnya. Aku ingat, itukan benda yang dipegang ibu saat aku membukakan pintu untuknya. Kenapa ada di ustadz, sedangkan ibuku tidak ada disini. ''itu apa ustadz'', tanyaku penasaran. ''ini teluh, mungkin ada yang tidak suka dengan adikmu na''. Jawab ustadz dengan raut wajah yang lega. 'hah?, untuk apa ibu memberikan itu kepada anaknya sendiri?, sungguh tega', gerutuku. Aku dan ayahku tanpa berfikir Panjang langsung menghampiri adikku yang terbaring lemas di atas tempat tidur. Syukurlah ia sudah bisa berbicara walaupun masih terbata-bata. ''Tia, sebenarnya apa yang terjadi pada dirimu nak?'', tanya ayahku dengan rasa khawatir. ''a-aku tidak ingat apa-apa yah'', jawab Tia dengan nada lemas. ''ibu mana'', lanjut adikku. ''ibu sedang pergi sebentar Tia''. Jawabku bohong untuk menenangkannya. Aku bingung harus mengatakan apa kepada adikku, aku tak ingin mengecewakannya, tapi disisi lain aku tak ingin menuduh ibuku yang tidak-tidak.

Sang mentari telah menyelasikan tugasnya dengan baik. Senja dengan warna jingga yang menggoda menenangkan hati. Burung-burung telah kembali kesarangnya seakan ingin memberi kabar gembira pada anak-anaknya. Tapi ibuku tak kunjung datang. Aku merasa ada yang aneh. Aku memberanikan diri untuk pergi ke kamar ibuku dan mengecek kamarnya. saat aku membuka lemari baju, aku melihat kertas berwarna kuning lusuh diatas baju. Langsung aku mengambilnya dan membacanya. Aku kecewa, amat kecewa. Ternyata ibuku bersekutu dengan sekte pemuja iblis untuk memperoleh kekayaan. Dan adikku akan menjadi tumbalnya. Dulu memang kami hidup dengan kesengsaraan, tak tahu arah, hanya bermodalkan berjualan sayuran. Tapi semua berakhir, orangtuaku kaya mendadak, aku tak tahu sebabnya, tapi ia memperoleh uang dari seseorang yang sering berkunjung kerumahku, pikirku ia hanya partner bisnis orangtuaku. Tapi, mengapa ibu tega melakukan hal keji seperti itu?. Aku langsung membawa kertas itu kehadapan ayahku. ''ini apa nak?'', tanya ayahku. Ayahku langsung membacanya tanpa menunggu jawabanku. 

Ayahku sangat kaget sekaligus kecewa kepada ibuku. Pada waktu yang sama setelah ayahku mebaca surat itu, ibuku tiba-tiba datang dengan nafas yang tersengal. ''ayah..Anna, maafkan ibu, ibu menyesal, ibu sangat menyesal, ibu tahu ibu salah, ibu tahu itu adalah perbuatan yang keji. Sekarang ibu merasakan akibatnya, teluh itu berbalik kepada ibu, ibu minta maaf pada kalian.'' Ibu berkata dengan nada sedih dan rasa menyesal. Ibu langsung menghampiri Tia. ''Tia, ibu minta maaf sama Tia, ibu menyesal, ibu sudah merasakan akibanya sekarang, teluh yang ibu kirim untukmu itu berbalik kepada ibu, sekarang ibu dalam waktu dekat akan lumpuh seumur hidup karena bersekutu dengan iblis bajingan itu, ibu tidak kuat , tolong maafkan ibu.'' Dan itulah kata-kata terakhir ibuku, ia tidak bisa berbicara lagi dan seketika lemas sama seperti apa yang telah terjadi pada Tia. 

Dan akhirnya kami memaafkan ibu dengan rasa kesal yang masih berkecamuk. Tapi ibuku sudah menyesali apa yang telah ia perbuat dan merasakan akibatnya. ''HAHAHAHA''. Suara tertawa jahat itu tiba-tiba muncul dari balik pintu, mengagetkan seluruh penghuni rumah, dan kami melihat bayangan dua tanduk besar dibalik suara itu. Aku dan ayahku ketakutan. Suasana makin mencekam. ''hai manusia, kau takkan lepas dari apa yang kau perbuat, kau akan terus seperti itu seumur hidupmu, itu adalah tumbal pengganti yang kau khianati, RASAKAN AKIBATNYA, DENDAMKU SUDAH TERBALASKAN HAHAHAH!''. Suara itu. Ya, suara yang mirip kudengar di kamar adikku saat itu. Suara itu menghilang bersamaan dengan hilangnya dua bayangan tanduk itu. Seketika kami langsung memeluk ibu dengan perasaan sedih dan bersyukur karena ibu tidak apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun