Biasanya para agen itu menjual uangnya kepada mereka para pedagang dengan mengantongi keuntungan 5%. Lalu para pedagang menjajakan kembali uang dagangannya dengan rata-rata keuntungan 5% sampai 20% setiap kali transaksi.
Jika para pedagang membeli uang pecahan satu juta dari para agen, mereka harus membayar satu juta lima puluh ribu kepada agen. Namun tidak sedikit juga yang langsung menjual uang itu tanpa perantara agen.
Terminal Kampung Rambutan, Lebak Bulus, dan Komplek Pondok Indah kerap dijadikan tempat yang strategis bagi para oknum ini untuk menjajakan uang. Mereka memilih terminal karena ingin menjaring pemudik yang butuh uang “baru”. Sementara warga Pondok Indah sering memborong dagangan mereka.
Praktik Penjualan Uang Hukumnya Riba?
Penjualan uang yang dilakukan oleh beberapa oknum warga yang menukarkan uang di Lapangan Parkir IRTI Monas, menuai kontroversi bagi sebagian ulama. Pasalnya, praktik ini dinilai sebagai Riba.
GramediaMajalah.com - Beberapa dari pelaku penjualan uang mengambil uang melalui agen tertentu yang juga mengambil keuntungan. Biasanya para agen itu menjual uangnya kepada mereka para pedagang dengan mengantongi keuntungan 5%. Lalu para pedagang menjajakan kembali uang dagangannya dengan rata-rata keuntungan 5% sampai 20% setiap kali transaksi.
Praktik penjualan uang hingga kini memang masih menjadi kontroversi khususnya dikalangan sebagian ulama. Mereka menilai ini adalah riba. Pada tahun 2011, MUI Jombang menyatakan bahwa mengambil keuntungan dari 'bisnis' penukaran uang di pinggir jalan hukumnya riba. Fatwa itu mendapat dukungan dari MUI dan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur.
Hal yang sama juga dikatakan Drs. A. Bachrun. Rifai M.Ag, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung. Jika dilihat dari kacamata agama, praktik penjualan uang tersebut termasuk riba. Hal ini karena jika dilihat dari segi perlipatan uang yang diperjual belikan tersebut.
Namun kondisi ini menjadi dilema karena di sisi lain, banyak orang yang membutuhkan uang baru atau receh. Hukum ekonomi pun terjadi karena ada yang menyediakan penukaran dengan imbalan prosentase.
Menurut Ketua MUI Kecamatan Panyileukan, Kota Bandung ini, terjadi tawar-menawar penukaran atau distock hingga lebih dari 10%. Bachrun sendiri berpendapat kalau dirinya lebih condong menilai praktik ini sebagai jasa penukaran uang, tapi tetap prosennya jangan terlalu besar.
Sementara Kya, yang hari itu menukarkan uang di Monas mengaku tiap tahun ia memang butuh uang receh untuk keperluan lebaran. “Tapi saya tak berani menukarkan uang selain di bank. Selain mahal juga kemungkinan bisa mendapat uang palsu,” jelas wanita berumur 50 tahun ini.