Mohon tunggu...
Rezky Yayang Yakhamid
Rezky Yayang Yakhamid Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Statistika

Suka menghitung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Terpujilah Wahai Pelajar yang Tak Pernah Mengenyam Bangku Les-lesan

31 Desember 2020   10:03 Diperbarui: 31 Desember 2020   10:09 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya tak adil jika kita selalu membahas kesejahteraan tanpa mengikutsertakan pendidikan. Pendidikan merupakan unsur yang sangat penting berkontribusi secara langsung dengan pembangunan ekonomi. Ekonomi sebuah negara akan benar-benar maju ketika kebutuhan rakyatnya juga terpenuhi seperti pendidikan, kesehatan, dan standar hidup yang layak. Oleh karena itu kita mengenal IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di Indonesia, serta SDGs (Sustainable Development Goals) di kelas dunia.

Pendidikan seolah-olah menghilangkan kesempatan kita untuk bekerja lebih dini, mendapatkan pundi-pundi rupiah semuda mungkin. Namun, di lain sisi pendidikan juga salah satu pengorbanan yang harus kita tempuh agar kualitas diri lebih baik yang akhirnya akan berdampak mendapatkan penghasilan lebih tinggi dari orang yang tidak mengenyam pendidikan.

Membahas tentang pendidikan, saya rasa sangat luas sekali karena tidaklah cukup jika kita melihatnya dengan sekolah formal. Pendidikan dapat terjadi kapan pun dan di mana pun. Maka dari itu BPS dalam mencetak statistik pendidikan tidak melulu melihat Rata-rata Lama Sekolah, Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Angka Partisipasi Murni (APM).

Beberapa waktu lalu sempat dihebohkan dengan beberapa ujian mandiri beberapa universitas negeri yang berbasis daring. Hal ini sontak menimbulkan berbagai kekhawatiran kecurangan salah satunya adalah menguntungkan pihak yang mengikuti program bimbel. Bisa saja mungkin peserta ujian dibantu program bimbel (tentor) dalam mengerjakan ujian.

Yaps, selain sekolah yang pada umumnya 12 tahun kita jalani, kita juga mengenal tambahan di luar sekolah entah itu bimbingan belajar, les-lesan, atau privat. Bisnis ini merajalela seiring bertambahnya kompleksitas kurikulum nasional kita saat ini. Tentu ini tak dapat disalahkan dan diilegalkan karena bimbel adalah salah satu penggerak roda perekonomian layaknya tukang cukur jalanan.

Dalam tulisan ini, saya akan bercerita pengalaman saya dalam 12 tahun sekolah negeri menghadapi arus ini sekaligus sedikit tips bagi yang tidak berkesempatan mengikuti program les-lesan. Kalau saya urutkan menurut persepsi orang tua di Indonesia, urut-urutan kriteria pendidikan terbaik (berturut-turut dari yang terbaik) adalah sebagai berikut : bersekolah di sekolah negeri (atau sekolah swasta unggulan), bersekolah di kota, mengambil jurusan MIPA (jika SMA), mengikuti program bimbel. Pun jika semua itu tidak terpenuhi tidak apa, kamu perlu bersyukur jika dilahirkan dan disekolahkan di pusat ekonomi---Pulau Jawa dan Sumatera misalnya.

Pertama, Sekolah Dasar (SD). Awalnya saya pikir entah untuk apa bimbingan belajar pada jenjang ini, mengingat pelajarannya yang mudah-mudah. Namun justru bimbel pada usia sekolah dasar merupakan dasar bagaimana anak ditentukan nasibnya, apakah akan selalu bergantung pada bimbel atau tidak.

Dalam suatu les-lesan biasanya di akhir materi akan mengerjakan PR bersama tentor. Hal itulah yang membedakan anak yang bimbel dengan tidak pada usia SD seolah-olah derajat anak bimbel lebih terbantu terangkat gara-gara orang tuanya mampu secara finansial. Eh, jangan suuzan dong, kalau orang tuanya ternyata nggak mampu tapi terpaksa mendaftarkan anaknya ke bimbel karena kurang paham dengan yang diajarkan di sekolah bagaimana?

Ah, rasanya tidak akan selesai jika kita bicara tentang masalah pendidikan di negara kita ini. Iya sih sekolah gratis, tapi durasinya terlalu sedikit untuk materi sebanyak itu. Pilihannya cuma tiga, mengambil bimbel, belajar keras secara mandiri tanpa tentor atau ketinggalan materi. Di sinilah bimbel kemudian berperan, menawarkan program-program dengan tujuan awal "suplemen" sekolah formal. Lambat laun fungsinya bergeser menyukseskan tujuan tertentu seperti ujian nasional.

Maka saya apresiasi setinggi-tingginya untuk anak sekolah dasar yang tidak mengambil bimbel. Bayangkan, untuk bertahan saja mereka harus belajar mandiri dengan keras. Saya rasa untuk anak usia sekolah SD kuncinya adalah ada pada orang tua siswa. Orang tua siswa haruslah memilih antara mengajari anaknya sendiri---mengingat pelajaran SD masih sangat mudah dinalar, atau menyerahkannya ke pihak bimbel dengan membayarkan sejumlah tertentu.

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Kedua, Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menjembatani SD dan SMA, menjadikan jenjang SMP penting. Pasalnya, jika SD ada di setiap desa, SMP hanya ada di setiap kecamatan, dan SMA juga ada di setiap kecamatan namun jumlahnya lebih sedikit. Tak jarang yang mengambil bimbel di jenjang ini untuk melanjutkan ke SMA/SMK favorit. Sebelum UN dihapuskan, apalagi kalau bukan bimbel UN?

Pada jenjang ini, orang tua sudah tidak mampu mengajari anak-anaknya (kecuali kalau memang orang tuanya berpendidikan, guru misalnya). Salah satu jalan yang harus mereka tempuh adalah mendaftarkannya  ke bimbel agar dapat masuk SMA favorit. Ya kalau mau, kalau engga juga gapapa, cukup memberikan motivasi ke anaknya "Nak, ibu ngga bisa ngajarin kamu pelajaran-pelajaran ini, ibu harap kamu bisa mandiri belajar ya kalau mau pinter biar masuk SMA B."

Pada usia SMP ini sejatinya anak sudah bisa mandiri, belajar sendiri, mencari referensi sendiri, mengerjakan tugas-tugasnya sendiri. Ah, bayangkan, dia melakukannya sendiri hanya bekal motivasi orang tuanya. Apresiasi setinggi-tingginya pada pelajar SMP yang tidak mengenyam bangku les-lesan.

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Ketiga, Sekolah Menengah Atas (SMA). Inilah fase terberat kemandirian dalam belajar diuji. Materi yang sulit dipahami, referensi yang kurang, tugas yang banyak. Ah, itu semua harus dipahami dan dilaksanakan setidaknya dalam 3 tahun untuk melanjutkan ke jenjang universitas yang diharapkan negeri dan terbaik.

Tidak sedikit anak-anak yang semula bisa mandiri gagal di SMA. Sebagian memutuskan bimbel---daripada terancam gap year. Sebagian lainnya memilih mengikuti arus sekolah saja, yang pada akhirnya berbuah nihil. Tidak ada yang benar-benar bisa dipahami. Materi dikejar tugas, tugas dikejar deadline. Akhirnya yang terjadi siswa hanya mengerjakan tugas dan tugas (hasil menyontek dari teman yang bimbel) tanpa lagi belajar.

Benar-benar nihil waktu untuk belajar. Saya mengalaminya sendiri kok di kelas 10, dan 11. Saat itu mungkin saya berpikir akan gap year, atau kemungkinan paling buruknya tidak dapat mengenyam jenjang perkuliahan. Bayangkan, betapa hebatnya mereka tanpa bimbel, bisa bertahan setidaknya untuk naik kelas pada jenjang SMA ini.

Saya tidak benar-benar yakin apakah ada solusi untuk kaum-kaum yang bertahan pada prinsipnya untuk tidak mengambil bimbel ini, selain mengambil bimbel. Namun saya rasa kuncinya kali-ini adalah benar-benar ada pada diri sendiri, bagaimana kemauannya, tekadnya, dan kerja kerasnya. Saya yakin, jika tekad itu sudah ada berbagai macam cara bisa dilakukan untuk mencapai cita-citanya.

Adapun hal-hal yang saya lakukan untuk menggantikan les saat masa SMA itu adalah dengan Youtube. Saya rasa Youtube menjadi solusi karena kita perlu lebih sedikit modal dibanding harus mengambil bimbel. Banyak saluran yang menyediakan bahan belajar dengan cuma-cuma walaupun kebanyakan berbahasa Inggris.

Untuk dapat mengejar ketertinggalan atau menanyakan tugas yang belum paham-paham amat kiranya kita---sebagai pelajar tanpa les---sepertinya harus mendekati teman yang tidak hanya pintar tetapi juga baik dan mau berbagi ilmunya. Selain itu, peran buku juga agaknya penting. Rajinlah membaca dan belajar mandiri melalui buku yang dapat dibeli atau dipinjam di perpustakaan atau ipusnas.

Bicara soal pemerataan pendidikan sebetulnya bukan hanya masalah bimbel saja yang jelas menguntungkan sejumlah elit borjuisan yang sudah mapan dari orok. Ah, menjadi pelajar tanpa bimbel pun masih lebih beruntung rasanya jika dibandingkan dengan anak-anak kita di sana, di daerah tertinggal. Ah sudahlah, tulisan sepanjang ini pada akhirnya hanya untuk mengucap Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun