Kebanyakan orang akan merasa hambar ketika memakan bakso yang dihidangkan tanpa garam. Saat sendokan pertama kali makan mungkin langsung berhenti dan mencari garam untuk ditambahkan sesuai selera.Â
Begitu pula makanan lainnya yang memerlukan garam, tentu akan terasa lebih enak di lidah ketika ditambahkan garam sesuai takaran. Tak hanya untuk konsumsi, garam juga berperan penting pada berbagai industri seperti industri petrokimia, pulp dan kertas, aneka pangan, pengasinan ikan, pakan ternak, penyamakan kulit, dll. Garam menjadi salah satu bahan baku pokok bagi industri-industri tersebut yang perannya tak tergantikan.
Saking pentingnya peranan garam, maka tak ayal garam disebut sebagai komoditas strategis. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari hal tersebut. Pertama, tidak ada barang substitusi lain yang bisa menggantikan garam. Kedua, garam mampu memberi nilai tambah tinggi bagi ekonomi terutama dalam perannya untuk industri.
Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang ke-2 di dunia dan luas wilayah laut total luas wilayahnya, Indonesia sejatinya memiliki potensi besar untuk produksi garam. Sayangnya, hingga kini potensi tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal, bahkan untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri saja masih perlu impor.
Setiap tahun Indonesia membutuhkan sekitar 3,75 juta ton garam, terdiri dari 750 ribu ton untuk konsumsi dan 3 juta ton untuk industri. Sementara itu, produksi garam kita hanya mampu sekitar 1,5 juta ton per tahunnya.Â
Trend produksinya pun sangat dinamis tergantung musim panas yang berlangsung selama setahun. Inilah yang menyebabkan Indonesia mau tidak mau mesti impor dengan volume lebih besar dibanding produksi dalam negeri.
Tahun 2017 misalnya, kebutuhan garam kita mencapai 4,5 juta ton, digunakan untuk industri 3,7 juta ton dan konsumsi 812 ribu ton. Sedangkan, produksi garam pada tahun itu hanya 1,4 juta ton, sehingga dilakukan impor sebesar 2,6 juta ton garam.
Secara umum yang menjadi persoalan utama mengapa industri garam kita kurang optimal dalam memanfaatkan potensi antara lain. Pertama, kurangnya dukungan pemerintah untuk pengembangan industri garam.
Selama ini, kebijakan pemerintah dinilai lebih mengutamakan impor dibanding peningkatan produksi nasional. Terlebih, diantara kementeriannya sendiri terkadang tidak sinergis dalam menentukan kebijakan terkait impor garam.
Kedua, proses produksi garam sebagian besar masih tradisional. Selama ini, produksi garam nasional lebih banyak disumbangkan dari tambak garam rakyat yang menggunakan teknologi tradisional. Akibatnya mutu garam rendah (NaCl hanya 88-92,5%) dan produksi garam sangat tergantung pada cuaca. Ketiga, daya saing produk garam nasional masih kalah dibanding produk impor.Â
Selain mutu garam lokal yang rendah, harga garam lokal juga masih lebih mahal dibanding garam impor. Harga garam lokal bisa dibanderol hingga Rp. 2.500 per kg-nya, sementara harga garam impor berkisar antara 400-650 per kg. Dan terakhir, masih minimnya industri pengolahan garam yang sebagian besar hanya terpusat di Jawa.Â