Sebagai negaraÂ
bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar untuk dijadikan prime mover perekonomian. Menurut pakar kelautan dan perikanan Prof. Rokhmin Dahuri, potensi nilai ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia diperkirakan mencapai USD 1,33 triliun/tahun atau setara 7 kali lipat APBN tahun 2017.Â
Salah satu sektor kelautan dan perikanan yang menjadi unggulan dalam jangka pendek adalah sektor perikanan budidaya. Indonesia termasuk dalam jajaran produsen terbesar di dunia untuk perikanan budidaya.
 Setiap tahun volume produksi perikanan budidaya Indonesia meningkat, sampai pada Oktober 2017 mencapai 16,16 juta ton. Dari volume tersebut, produksi terbesar disumbangkan oleh rumput laut yakni mencapai 51% dari total produksi.
Rumput laut merupakan komoditas perikanan budidaya yang relatif mudah dipelihara. Tercatat lahan potensial budidaya rumput laut Indonesia seluas 1,1 juta ha dan baru termanfaatkan sekitar 20%.Â
Di tingkat global, Indonesia termasuk produsen rumput laut terbesar di dunia. Data FAO 2015, memperlihatkan produksi rumput laut jenis Euchema cottonii dari Indonesia menempati urutan pertama dunia sebanyak 10,11 juta ton. Untuk jenis Gracilaria sp., Indonesia menempati urutan kedua setelah China, dengan produksi sebesar 1,15 juta ton.
Sayangnya, meskipun produksi rumput laut Indonesia melimpah, nilai ekonomi yang dihasilkan tidak semaksimal nilai yang semestinya bisa diperoleh. Rumput laut merupakan komoditas yang memiliki nilai tambah tinggi karena dapat diolah menjadi bahan baku untuk berbagai industri seperti pangan, farmasi, dan kosmetik.Â
Dari rumput laut mentah bentuk kering saja, jika diubah menjadi bahan setengah jadi (misal: SRC atau agar-agar batang) bisa menambah nilai ekonomi hingga 5-20 kali lipat.Â
Namun, mirisnya justru produk rumput laut Indonesia kebanyakan diekspor dalam bentuk mentah. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah menyebutkan dari 1 juta ton produksi rumput laut, hampir 85% diekspor dalam bentuk raw material.Â
Negara-negara pengimpor rumput laut dari Indonesia seperti China, Philipina, Chili, dan Korea mampu mengolah rumput laut tersebut menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Bahkan ironisnya sebagian dari mereka malah mengekspor kembali ke Indonesia dalam produk olahan turunannya seperti alginat, tepung karaginan, tepung agar, dll.
PR Industri PengolahanÂ
Saat ini Indonesia mempunyai 30 perusahaan pengolahan rumput laut berskala besar dan menengah dengan kapasitas produksi mencapai 24,5 ribu ton per tahun. Dari kapasitas tersebut, untuk olahan karaginan sebanyak 18,5 ribu ton dan agar-agar 6 ribu ton. Sebagian besar perusahaan mengolah rumput laut menjadi bahan setengah jadi berupa Chip ATC Â dan Semi Refine Carrageenan (SRC). Â
Hanya sedikit yang mengolah rumput laut menjadi Refine Carrageenan. Untuk produksi agar-agar, kita memiliki perusahaan terbesar kedua di dunia yaitu PT. Agarindo Bogatama.Â
Perusahaan ini mampu menyerap hingga 220.000 ton per tahun rumput laut kering jenis Gracilaria sp.. Namun, karena masih minimnya perusahaan pengolah agar-agar di Indonesia, justru dalam prakteknya terjadi monopoli pasar yang berakibat menurunkan posisi tawar bagi produsen di hulu.
Persoalan rendahnya daya saing juga sering menjadi kendala bagi industri pengolahan rumput laut Indonesia. Harga rumput laut mentah di luar negeri cenderung lebih mahal, sehingga produsen lebih memilih mengekspor rumput laut dalam bentuk mentah.Â
Harga rumput laut mentah yang diekspor mencapai 1.500 dolar AS per ton, sedangkan harga di dalam negeri sekitar Rp.12.000-Rp.13.000/kg atau 1.000 dolar AS per ton. Disisi lain, kualitas produk olahan rumput laut di Indonesia juga masih lebih rendah dibanding luar negeri, sehingga kita juga masih mengimpor produk olahan rumput laut.
Persolaan lain adalah rantai pasok (suplly chain) antara industri hulu dengan hilir yang tidak efisien. Hampir keseluruhan industri hilir rumput laut nasional terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, sedangkan konsentrasi industri hulu tersebar di Indonesia bagian timur (mulai dari Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku). Hal ini sangat mempengaruhi posisi tawar produk yang dihasilkan pembudidaya, sehingga nilai tambah produk belum mampu dirasakan bagi produsen di hulu. Â
Di sektor hulu, meskipun telah berhasil menjadi produsen rumput laut terbesar dunia, pemanfaatan potensi lahan belum optimal. Beberapa kendala yang dihadapi yaitu kurangnya kualitas SDM, kurangnya ketersediaan bibit rumput laut yang baik, kondisi cuaca/iklim yang tidak mendukung sepanjang waktu, tata ruang pemanfaatan wilayah perairan yang tumpang tindih, sulitnya akses ke sumber modal, dan pasar yang masih banyak bergantung pada pedagang pengumpul. Â Â
Strategi PengembanganÂ
Agar upaya pengembangan industri rumput laut nasional berjalan optimal, maka semua komponen usaha perlu bekerja secara maksimal. Sejumlah langkah strategis mesti segera dilakukan oleh pemerintah, pengusaha dan seluruh komponen masyarakat lainnya.Â
Pertama, penguatan struktur industri rumput laut nasional yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Rintisan klaster industri rumput laut perlu diperkuat secara sistemik dan dievaluasi secara terpadu, terarah, serta terukur guna tercipta mekanisme bisnis yang adil diantara penyedia sarana produksi, pembudidaya, industri pengolahan, dan pasar.
Kedua, peningkatan investasi dan usaha industri rumput laut secara signifikan dan berkesinambungan sesuai dengan potensi. Peningkatan industri rumput laut dimulai dari industri olahan setengah jadi di sentra-sentra produksi rumput laut, kemudian industri olahan jadi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dalam negeri dan selebihnya luar negeri. Ketiga, peningkatan daya saing produk rumput laut nasional dengan meningkatkan mutu sesuai standar internasional melalui sertifikasi dan akreditasi.Â
Agar mencapai kualitas produksi yang standar dan efisien diperlukan sumberdaya manusia yang mampu berkompetisi secara global. Sehingga pemberdayaan SDM diseluruh komponen usaha mesti dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta.
Keempat, percepatan pembangunan infrastruktur pendukung industri rumput laut yang terintegrasi dari hulu ke hilir, seperti percepatan pembangunan pelabuhan, bandara, jalan, energi, telekomunikasi, dan air bersih. Kelima, pembehanan sektor hulu untuk mengoptimalkan potensi lahan budidaya secara lestari.Â
Beberapa langkah yang ditempuh melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan budidaya hingga pasca panen, pemetaan dan penataan kawasan budidaya rumput laut sesuai potensi dan alokasi ruang perairan, pemakaian bibit unggul untuk sekali tanam, peningkatan modal dan sarana prasarana budidaya, serta penguatan kelembagaan melalui koperasi untuk memasarkan rumput laut.
Dengan melakukan langkah-langkah strategis diatas, diharapkan industri rumput laut Indonesia mampu menjadi sektor unggulan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, menyediakan lapangan kerja dalam jumlah signifikan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.Â
Lebih jauh lagi pada tingkat global, Indonesia mampu menjadi produsen olahan rumput laut terbesar, sehingga kita bisa menjadi lebih bangga dengan prestasi yang diraih. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H