Rasa sakit yang diterima oleh otak akan direspon dengan dikeluarkannya keringat untuk bisa mendinginkan suhu tubuh sebagai bentuk penyeimbangan suhu.Â
Saat yang sama, otak akan memproduksi endorfin sebagai senyawa pereda rasa sakit dan stress alami dan dopamin yang menimbulkan rasa bahagia. Itulah kenapa, seseorang dapat terasa senang dan tidak dapat berhenti saat memakan makanan pedas.Â
Jika dianalogikan, memakan makanan pedas seperti menantang permainan adrenalin layaknya roller coaster.Â
Membutuhkan nyali yang besar, jantung akan berdetak dengan cepat, serta rasa ketakutan, tubuh akan merespon dengan mekanisme fight or flight response (bertarung atau berlari).Â
Setelah tubuh berhasil melewati tantangan dengan aman dan baik-baik saja, hal tersebut akan menciptakan tantangan dengan level yang lebih tinggi di waktu selanjutnya.Â
Sama halnya dengan memakan makanan pedas, kamu akan mencoba makanan dengan level pedas yang lebih tinggi ketika berhasil melewati rasa pedas tersebut.
Bagaimana ketahanan terhadap pedas dapat tercipta? Secara sains, seorang peneliti dari Universitas Helsinki menyatakan jika ketahanan seseorang dalam makanan pedas dipengaruhi oleh genetik.Â
Genetik berperan dalam penentuan variasi dan jumlah serabut saraf yang berfungsi sebagai penerima rasa pedas. Semakin banyak serabut saraf khusus untuk menerima rasa pedas, maka semakin sedikit seseorang dapat mengkonsumsi makanan tersebut.Â
Bahkan, tingkat kepedasannya dapat berkurang, begitupun sebaliknya. Namun, ketahanan dalam memakan makanan pedas tidak hanya secara gen. Pembiasaan diri serta lingkungan juga berperan penting dalam ketahanan rasa pedas yang dimiliki.
Biasanya, seseorang yang tahan dengan level pedas yang tinggi tinggal di lingkungan dan kebiasaan yang membiasakan dirinya memakan makanan pedas.Â
Itulah mengapa kecenderungan preferensi rasa makanan yang sama sangat ditentukan oleh keluarga dan lingkungan yang dapat "diturunkan".