Mohon tunggu...
REZAWAHYA
REZAWAHYA Mohon Tunggu... PNS -

Penulis dengan multi-interest Ingin berbagi ilmu dan kebahagian kepada orang lain terutama kaum muda

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Guru dan Tantangan Mengajar

3 Juli 2016   16:53 Diperbarui: 3 Juli 2016   16:56 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memilih profesi  sebagai guru memang  pilihan yang  tidak mudah. Lihatlah kasus di Sidoarjo yang  sedang diperbincangkan publik pada saat ini. Profesi ini bekerja dan sangat berkaitan dengan manusia, sehingga  tidaklah mengherankan  akan banyak dinamika  "suka dan duka" dihadapi oleh sang guru. Kalaulah siswa gagal ujian, maka guru yang disalahkan. Kalaupun juga siswa berbuat keonaran, maka gurupun ikut  ditanya. Dan imbalan yang diperoleh oleh  guru sebenarnya tidak sebanding dengan resiko dan kerja  kerasnya.

Mendidik bukan Mengajari

Inilah yang menjadi problematika dunia pendidikan Indonesia, dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengajaran, seorang  guru dituntut  untuk mengajari siswanya  dengan meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek  tersebut harus bertumbuh dan  berkembang  sesuai  dengan  usia  siswanya masing-masing. Guru dituntut lihai  didalam meramu pelajaran sehingga bisa  mencapai target pekembangan siswanya.

Hal tersebut tidak pernah dipahami oleh  para siswa kebanyakan. Betapa  guru mereka sudah  tunggangg-langgang "kaki jadi kepala, dan kepala jadi kaki" untuk membuat Rencana Pembelajaran (RPP), mengimplementasikan, dan  akhirnya meng-evaluasinya sendiri. Betapa hal yang  sulit  dan  berat bagi  yang  tidak terbiasa. Hanya  guru  yang benar-benar tumbuh  keinginan untuk  mengabdi bagi bangsa ini saja, yang rela  berkorban seperti ini.

Mendidik jelaslah  tidak  sama dengan mengajari. Kalau mengajari, maka guru cukup diberi target  siswanya lulus  dengan  nilai tertentu. Sehingga siapkan saja materi pembelajaran, duduk manis dan akhir  berikan ujian kepada siswa; itulah  proses mengajar. Tapi  guru-guru mempunyai hati nurani yang  dalam, mereka tidak ingin hanya  mengajar, tapi mereka ingin membentuk manusia yang berkarakter di dalam proses pembelajaran (baca : mendidik). Sehingga tidaklah heran, kalau guru mengajarkan sikap jujur, dan  memberikan motivasi kepada siswanya agar  berusaha  optimal di dalam proses pembelajarannya. Dan yang pasti para guru mendorong siswanya agar tidak  pantang menyerah, hal itu terbukti dari masih diberikannya kesempatan bagi yang gagal ujian dengan remedial.

Sekali lagi, proses mendidik ini tidaklah sama dengan  mengajar. Para siswa  diharuskan memahami setiap proses pembelajaran mempunyai kaitan dengan pendidikan untuk mereka sendiri. Kalaulah terjadi sesuatu yang  sifatnya pemberian sanksi atas  ketidakdisiplinan siswa, maka  mereka seharusnya menganggap itu adalah bagian dari pendidikan, dan  itu untuk mereka  sendiri nantinya.

Guru pun  Manusia

Kalaulah dikaitkan dengan individualisme, maka kita haruslah  melihat seorang guru  yang juga sesosok  manusia biasa. Mereka bukanlah  malaikat yang tidak akan ada kesalahan. Karena mereka manusia, dan  pembelajaranpun untuk manusia,  interaksi antara guru dan  siswa harus  dipahami sebagai interaksi makhluk sosial yang  saling membutuhkan. Guru kalau  tidak mempunyai siswa, maka mereka tidak akan ada kesempatan mengajar. Begitupun para siswa, jika tidak ada guru yang mengajari mereka, dipastikan mereka  tumbuh tanpa arah (guidance) yang jelas.

Karena proses mendidik ini akan ada titik klimaks dan anti-klimaksnya, maka guru dan siswa harus saling memahami proses pendidikan yang  sedang mereka jalani. Kedekatan  emosional antara guru dan siswa  harus terbangun dari adanya keinginan untuk  membentuk  manusia secara utuh  di masa depan. Saya sependapat  dengan Pak guru SMP di Sidoarjo, mendidik anak bukan hanya dengan pendekatan materi pelajaran tapi juga harus diikuti dengan pembentukan ruhiyah siswa  yang sehat.

Kalaupun terjadi konflik antara siswa dan  guru, harus dilihat  secara komprehensif. Tidak mungkin ada guru  yang  dendam dengan siswanya; memangnya dia  siapa? (siswa itu  bukan siapa-siapanya seorang  guru). Jadi tidak ada  perasaan sakit  hati seorang guru dengan siswa, yang dilampiaskan dalam bentuk amarah.

Peran Orang  Tua

Orang tua sebagai pemilik kepentingan untuk tumbuh kembang anaknya, seharusnya berterima kasih kepada  guru. Dan kalaupun ingin ikut serta didalam mendidik anaknya, seharusnya orang tua sesering mungkin berkomunikasi dengan gurunya dalam hal menanyakan perkembangan  anaknya di  sekolah. Kalaupun tidak sempat, maka orang tua  bisa melalui si anak menanyakan kondisi dia di sekolah.

Orang tua  seharusnya ikut menyukseskan  pendidikan anaknya, bukan  malah menjadikan hancurnya pendidikan karakter yang  sudah dibangun  di sekolah. Banyak kita temui kasus, siswa  diajarkan shalat lima waktu di sekolah, tapi di rumah  sang ayah tidak mencontohkan sholat, malahan dia tidak mengerjakan sholat. Kalau  sudah begitu akan timbul dualisme kepribadian, yang akhirnya berujung  kebingungan sehingga  siswa tersebut tidak mengikuti perintah gurunya di sekolah. Dan kemungkinan seperti itulah yang terjadi dengan anak di Sidoarjo

Akhinya kita  sebagai pengecap pendidikan kita harus memahami proses  pendidikan tidak mudah. Dan sudah seharusnya sebagai  warga  masyarakat  kita mendukung  proses pendidikan anak-anak kita, diharapkan akhir proses pendidikan ini adalah  terbentuknya  suatu  manusia yang  berbuat kebajikan untuk ummat

Palembang, 3 Juli 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun