Memilih profesi  sebagai guru memang  pilihan yang  tidak mudah. Lihatlah kasus di Sidoarjo yang  sedang diperbincangkan publik pada saat ini. Profesi ini bekerja dan sangat berkaitan dengan manusia, sehingga  tidaklah mengherankan  akan banyak dinamika  "suka dan duka" dihadapi oleh sang guru. Kalaulah siswa gagal ujian, maka guru yang disalahkan. Kalaupun juga siswa berbuat keonaran, maka gurupun ikut  ditanya. Dan imbalan yang diperoleh oleh  guru sebenarnya tidak sebanding dengan resiko dan kerja  kerasnya.
Mendidik bukan Mengajari
Inilah yang menjadi problematika dunia pendidikan Indonesia, dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengajaran, seorang  guru dituntut  untuk mengajari siswanya  dengan meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek  tersebut harus bertumbuh dan  berkembang  sesuai  dengan  usia  siswanya masing-masing. Guru dituntut lihai  didalam meramu pelajaran sehingga bisa  mencapai target pekembangan siswanya.
Hal tersebut tidak pernah dipahami oleh  para siswa kebanyakan. Betapa  guru mereka sudah  tunggangg-langgang "kaki jadi kepala, dan kepala jadi kaki" untuk membuat Rencana Pembelajaran (RPP), mengimplementasikan, dan  akhirnya meng-evaluasinya sendiri. Betapa hal yang  sulit  dan  berat bagi  yang  tidak terbiasa. Hanya  guru  yang benar-benar tumbuh  keinginan untuk  mengabdi bagi bangsa ini saja, yang rela  berkorban seperti ini.
Mendidik jelaslah  tidak  sama dengan mengajari. Kalau mengajari, maka guru cukup diberi target  siswanya lulus  dengan  nilai tertentu. Sehingga siapkan saja materi pembelajaran, duduk manis dan akhir  berikan ujian kepada siswa; itulah  proses mengajar. Tapi  guru-guru mempunyai hati nurani yang  dalam, mereka tidak ingin hanya  mengajar, tapi mereka ingin membentuk manusia yang berkarakter di dalam proses pembelajaran (baca : mendidik). Sehingga tidaklah heran, kalau guru mengajarkan sikap jujur, dan  memberikan motivasi kepada siswanya agar  berusaha  optimal di dalam proses pembelajarannya. Dan yang pasti para guru mendorong siswanya agar tidak  pantang menyerah, hal itu terbukti dari masih diberikannya kesempatan bagi yang gagal ujian dengan remedial.
Sekali lagi, proses mendidik ini tidaklah sama dengan  mengajar. Para siswa  diharuskan memahami setiap proses pembelajaran mempunyai kaitan dengan pendidikan untuk mereka sendiri. Kalaulah terjadi sesuatu yang  sifatnya pemberian sanksi atas  ketidakdisiplinan siswa, maka  mereka seharusnya menganggap itu adalah bagian dari pendidikan, dan  itu untuk mereka  sendiri nantinya.
Guru pun  Manusia
Kalaulah dikaitkan dengan individualisme, maka kita haruslah  melihat seorang guru  yang juga sesosok  manusia biasa. Mereka bukanlah  malaikat yang tidak akan ada kesalahan. Karena mereka manusia, dan  pembelajaranpun untuk manusia,  interaksi antara guru dan  siswa harus  dipahami sebagai interaksi makhluk sosial yang  saling membutuhkan. Guru kalau  tidak mempunyai siswa, maka mereka tidak akan ada kesempatan mengajar. Begitupun para siswa, jika tidak ada guru yang mengajari mereka, dipastikan mereka  tumbuh tanpa arah (guidance) yang jelas.
Karena proses mendidik ini akan ada titik klimaks dan anti-klimaksnya, maka guru dan siswa harus saling memahami proses pendidikan yang  sedang mereka jalani. Kedekatan  emosional antara guru dan siswa  harus terbangun dari adanya keinginan untuk  membentuk  manusia secara utuh  di masa depan. Saya sependapat  dengan Pak guru SMP di Sidoarjo, mendidik anak bukan hanya dengan pendekatan materi pelajaran tapi juga harus diikuti dengan pembentukan ruhiyah siswa  yang sehat.
Kalaupun terjadi konflik antara siswa dan  guru, harus dilihat  secara komprehensif. Tidak mungkin ada guru  yang  dendam dengan siswanya; memangnya dia  siapa? (siswa itu  bukan siapa-siapanya seorang  guru). Jadi tidak ada  perasaan sakit  hati seorang guru dengan siswa, yang dilampiaskan dalam bentuk amarah.
Peran Orang  Tua