Tidak semua dalil agama dapat dirasionalkan.
Hidup di dunia ini tentunya bukan selalu harus merasionalkan semua fenomena ataupun peristiwa yang sudah terjadi melainkan juga cukup hanya dengan mengimaninya. Teruntuk tentang ajaran keagamaan. Khususnya bagi agama mayoritas.
Dalam memahami fenomena yang terjadi di alam semesta ini, terkhususnya di dunia. Tak akan pernah lepas dengan harus adanya pembuktian dari ilmu pengetahuan. Sehingga manusia mendapatkan rasionalitas dari dalil naqli yang sudah pasti tidak ada keraguan lagi bagi penganutnya. Banyak sudah hasil pembuktian para ilmuan tentang kebenaran hal tersebut, seperti contoh, kebenaran dalam surat Ar-rahman ayat 19-20 tentang air laut yang tidak menyatu (bercampur) yang ada di selat Gibraltal, pemisah antara benua Afrika dengan Eropa, tepatnya antara negara Maroko dan Spanyol¹. Kebenaran akan utuhnya jasad firaun pada masa kenabian Musa as, sebagaimana sudah terlukiskan didalam Surah Yunus ayat 92, yang menggemparkan dunia. Setelah dilakukannya penelitian oleh Prof. Dr. Maurice Bucaille kemudian menjadi pemimpin ahli bedah sekaligus penanggung jawab utama dalam penelitian mumi tersebut². Serta banyak lagi kebenaran-kebenaran dari dalil naqli tersebut.
Dalil tersebut hanya terdiri dari beberapa kalimat dan bahkan paragraf, akan tetapi kebenarannya jika akan dibuktikan bisa menjadi sebuah buku seperti yang sudah dilakukan oleh Prof. Dr. Maurice Bucaille dengan judul buku yaitu The Bible, the Qur'an, and Science : The Holy Scriptures Examined in the Light of Modern Knowledge. Tentunya sekali lagi, tidak ada keraguan lagi bagi penganutnya, terkecuali terhadap beberapa peristiwa seperti, isra'mikrat nabi Muhammad saw, nabi Musa as membelah lautan, nabi Sulaiman as dapat berbicara dengan hewan dan lain sebagainya. Jika hal tersebut dirasionalkan, maka tidak akan pernah menemukannya melainkan hal tersebut sudah masuk dalam ranah iman atau cukup untuk kita yakini bahwa hal tersebut benar-benar terjadi tanpa membutuhkan rasionalitas lagi. Dikarenakan demikian, bahwa hal tersebut merupakan sebuah mukjizat atau keistimewaan bagi setiap nabi atau Rosul yang dikhendaki oleh-Nya.
Pada esensinya, akal pikiran yang dimiliki oleh manusia bersifat terbatas, dikarenakan ketidak mampuannya untuk merasionalkan semua fenomena ataupun kejadian yang sudah terjadi di alam dunia ini. Bahkan hanya untuk membuktikan bentuk bumi yang sedang ditempatinya saja, apakah bulat atau datar masih menimbulkan pro dan kontra, apalagi untuk merasionalkan dengan detail semua fenomena atau peristiwa yang sudah terlukiskan di dalam dalil naqli tersebut.
Bukan hanya fenomena ataupun kejadian yang dirasionalkan, tapi juga Sang Penciptanya. Sering sekali terdengar ditelinga kita tentang perspektif Tuhan (Allah Swt) sebagai manifestasi makhluk. Padahal sudah dijelaskan bahwa Dia berbeda dengan makhluknya, seperti makhluk itu bisa menciptakan tapi Tuhan itu Maha Menciptakan. Makhluk itu sebenarnya hanya memanfaatkan fasiltas yang sudah disediakan oleh alam untuk membuat suatu karya. Sedangkan Tuhan, tidak perlu membutuhkan hal tersebut, melainkan Dia langsung memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki oleh makhluknya. Semua fasilitas yang dimanfaatkan oleh makhluknya berasal dari-Nya. Sehingga, makhluk ini hanyalah penikmat bukan pembuat.
Dilain sisi, Tuhan merupakan objek kajian terlaris di dunia. Dikarenakan banyaknya manifestasi Tuhan terhadap suatu hal, seperti makhluk ataupun benda. Sehingga menjadi alasan agar Tuhan bisa dirasionalkan.
Pertama, Tuhan merupakan manifestasi makhluk. Sering timbul sebuah pertanyaan, apakah Tuhan itu bisa menikah, bisa pacaran, bisa tidur, bisa makan dan minum, bisa dan bisa melakukan apa yang kita lakukan? apakah ini pantas untuk dijawab atau tidak? tentunya pertanyaan itu sepatutnya diperuntukkan untuk sesamanya bukan Tuhannya.Â
Sekali lagi, Tuhan dengan makhluknya berbeda. Sekarang jika kita putar balikan pertanyaannya untuk makhluk. Apakah makhluk bisa menciptakan Alam semesta, menciptakan malaikat, menciptakan hewan yang tak ada bedanya sedikitpun, menghidupkan orang mati seperti mukjizat Nabi Isa as, memberikan mukjizat kepada seseorang untuk membelah bulan, untuk dapat mengeluarkan air dari jari tangannya seperti Rosulullah, untuk dapat membelah lautan seperti Nabi Musa as, Menjadikan iklim di dunia ini menjadi satu saja dan lain sebagainya? apakah manusia bisa???. Tentunya itu bukanlah keahlian dari seorang makhluk, dan pasti akan berbeda jawabannya.Â
Begitu juga dengan pertanyaan untuk makhluk kepada Tuhan, itu tidak nyambung alias gagal paham. Sehingga jika Tuhan Dimanifestasikan sebagai sosok, maka Dia bukan lagi berstatus Tuhan melainkan seorang Makhluk.
Kedua, Tuhan dimanifestasikan sebagai benda. Ada sebuah pertanyaan yang dianggap sebagai paradox yaitu bisakah Tuhan menciptakan sebuah benda (batu) yang besar, sehingga Dia sendiri tidak bisa mengangkatnya? Nah ini salah satu bentuk persamaan Tuhan dengan benda. Andai kata dijawab dengan jawaban, ya tentunya sangat bisa sekali jika Tuhan menciptakan benda yang besar, akan tetapi mustahil Tuhan tidak bisa untuk mengangkatnya, dikarenakan dia Maha Kuasa. Pasti orang rasional mengatakan, tapi Dia jugakan bisa untuk tidak mengangkatnya? Waduh, ini argumentasi yang semakin ngawur saja.Â
Padahal Tuhan Maka Kuasa artinya Dia bisa melakukan yang tidak bisa dilakukan oleh makhluknya. Dari pertanyaan tersebut, seseorang ingin memojokkan Kehebatan Tuhan. Dimana Tuhan diadu kekuatannya hanya dengan sebuah benda mati yang jika Tuhan tidak bisa mengangkatnya, maka Dia bukanlah Tuhan, dan pertanyaan seperti ini sangat tidak layak sekali untuk diajukan kepada Tuhan.
Bagaimana jika pertanyaan tersebut diputar balikkan untuk makhluk. Apakah seorang makhluk (manusia) ingin membuat seorang anak, dimana anak tersebut yang akan pasti membunuhnya? atau apakah seorang raja atau penguasa bisa mendidik seseorang, yang dimana orang tersebut akan menghancurkan kerajaan atau kekuasaanya?Â
Tentunya itu tak lazim dan tak beretika. Tak ada seorang ayah atau raja yang ingin melakukan hal tersebut, melainkan untuk memberikan kebaikan baginya dan untuk orang lain, terlebihnya juga dengan Tuhan. Tentunya buat apa Dia menciptakan sesuatu hal, yang jika hal tersebut tidak memberikan kebaikan.Â
Kecuali jika kita mengadu Tuhan sesama Tuhan untuk berlomba-lomba menciptakan suatu benda yang tak bisa dibuat oleh makhluk, seperti matahari, bulan dan sebagainya. Akan tetapi justru dengan adanya Tuhan yang Esa itu, tidak menimbulkan kegaduhan  bagi makhluknya dalam menjalani kehidupannya.Â
Jika Tuhan itu lebih dari satu, pasti ada Tuhan yang ingin menciptakan matahari  atau yang lainnya seperti ini dan seperti itu. Sehingga tidak adanya Tuhan yang Maha Kuasa melainkan Tuhan yang selalu ingin menjadi Yang Ter diantara Maha kuasa atau Dia bukanlah Sang Maha.
Ada lagi pertanyaan yang tidak beretika, seperti Tuhan itukan Maha Kuasa, lalu kenapa Dia perlu menciptakan malaikat untuk membantu-Nya dalam mengurusi kehidupan ciptaannya, apakah sebenarnya Dia itu Kuasa atau tidak? Dibalik pertanyaan itu, seorang penanya ingin memberikan gambaran bahwa Tuhan itu tidak mampu.Â
Akan tetapi justru dengan pertanyaan itulah yang sebenarnya mempertegas bahwa Tuhan itu Maha Kuasa untuk menciptakan dan memerintahkan Ciptaaannya. Yang namanya Maha Kuasa itu adalah Tidak ada yang dapat menandinginya. Jika makhluk dikatakan Maha Kuasa, tinggal dibuktikan saja, apakah dia bisa menciptakan sosok yang sama seperti malaikat, lalu memerintahkannya untuk membantu mengurusi alam semesta ini. Tentunya tidak akan pernah bisa, karena itu hanya sebatas impian yang tak akan pernah kesampaian.
Pertanyaan selanjutnya yaitu, apakah Tuhan menciptakan makhluk karena Dia merasa kesepian, sehingga dia harus membutuhkan seseorang yang dapat menyenangkannya? Inilah jadinya ketika seseorang sudah memanifestasikan Tuhan dengan sosok. Padahal Dia itu bukanlah sosok. Sekali lagi dan sekali lagi, Dia itu berbeda dengan makhluknya baik dari bentuk fisik maupun tingkah lakunya. Padahal Tuhan itu sudah jelas memaparkan tujuan-Nya menciptakan makhluk, yaitu didalam QS. Adz Dzariyat: 56, yang tentunya tafsiran dari ayat tersebut sangat luas.
Dan saya cukupkan dengan satu pertanyaan yang tak kalah tenarnya yaitu, kapan Tuhan itu ada? Berbicara tentang kata "KAPAN" sebenarnya merujuk kepada makhluk, dikarenakan kata kapan itu belakangan ada dari pada keberadaan-Nya. Sehingga tidak pantas untuk ditujukan kepada-Nya.
Itulah beberapa pendapat saya, jika para pembaca memiliki pendapat yang lain atau berbeda, silahkan untuk memberikan tanggapannya, bukan melalui caci ataupun maki, karena orang yang berilmu akan senantiasa menanggapinya dengan ketenangan dan kejernihan berpikir, baik melalui tulisan ataupun lisan.
Semoga bermanfaat.
Matur Tampiasih/Terima kasih banyak.
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H