Oleh: Reza Pahlevi
Dunia saat ini mulai panik. Panik dengan kehadiran sosok Makhluk yang tidak terlihat, yang dapat menimbulkan kekhawatiran bagi siapa saja yang dihinggapinya. Sosok makhluk ini dinamai Virus Corona atau yang lebih dikenal Covid-19.
Banyak anggapan bahwa kedatangan virus ini merupakan salah satu teguran bagi umat manusia yang disebabkan karena kemaksiatan yang sudah diperbuat, itu dari perspektif teologinya. Ada juga yang mengatakan bahwa virus ini merupakan sebuah konspirasi untuk mengurangi jumlah populasi umat manusia, akan tetapi belum mampu untuk dibuktikannya. Entah apalagi yang menjadi alasan rasional untuk mampu membongkar siapa dan untuk apa Covid-19 ini hadir menemani kehidupan manusia. Semua itu akan ditentukan oleh tiap individu ataupun kelompok yang sifatnya subjektif.
Dilansir dari KOMPAS.com pada hari jum'at, 13 Maret 2020, bahwa penyebaran Covid-19 di Kota Wuhan Negara China yang dimulai dari seorang penduduk Hubei yang berusia 55 tahun pada tanggal 17 November 2019. Sejak tanggal tersebut dan seterusnya, satu hingga lima kasus baru dilaporkan setiap harinya. Hingga menyebar ke beberapa orang yang ada di sekitarnya dan bahkan hingga ke beberapa negara.
Tak lepas pula dengan Negara Indonesia tercinta, virus ini semakin meluaskan ruang lingkup hidupnya untuk mengembangkan populasinya. Hingga negara kepulauan ini sudah siaga dengan diumumkan 2 warga masyarakatnya yang sudah positif terkena virus ini. Hari demi hari berlalu, masyarakat yang terindikasi virus ini semakin bertambah hingga ke beberapa daerah. Sehingga pemerintahpun mengambil kebijakan untuk melakukan sterilisasi selama 2 minggu. Sehingga tempat-tempat yang dapat menimbulkan keramaian untuk sementara waktu ditutup guna untuk menjaga keselamatan warga masyarakatnya.
Terkhusus juga di Provinsi NTB, yang pada saat itu masih belum satupun warga masyarakatnya yang terindikasi positif Covid-19. Akan tetapi Pemerintah setempat tetap menghimbau masyarakatnya agar tetap siaga dengan virus ini.
Selang beberapa hari setelah dilakukannya sistem pembelajaran dalam jaringan (daring) atau yang sering disebut online oleh beberapa Universitas. Tepatnya pada hari selasa, 24 Maret 2020 Gubermur NTB mengumumkan bahwa ada salah satu warga masyarakatnya yang sudah dinyatakan positif Covid-19. Akan tetapi bukan terkena dari dalam  daerah NTB melainkan terkena dari luar NTB. Sontak pada saat itu, banyak masyarakat yang semakin siaga dalam menangkal virus ini. Terkhususnya masyarakat yang berada di sekitaran kediaman korban Positif Covid-19.
Masyarakat semakin menjaga jarak dengan tempat kediaman korban. Kepanikan mulai muncul, berita hoax semakin bertebaran dan stigma negatif terhadap korban mulai beterbangan.
Semenjak itu. Kepanikan masyarakat naik derastis. Gimana tidak! bahwa korban positif Covid-19 sudah melakukan kontak langsung dengan 44 orang lainnya, dan akhirnya kesiagaan masyarakat semakin meningkat pula.
Bukan hanya itu, masyarakat juga ramai memposting berbagai informasi yang belum jelas sumbernya di media sosial. Subyektifitas kebenaran mulai bermunculan. Warganet yang terlalu panik mulai cepat percaya tanpa melakukan analisis dari informasi yang didapatkannya. Padahal sudah ada lembaga pers yang basis datanya valid dan terpercaya yang akan siap meluncurkan informasi. Akan tetapi lagi-lagi masyarakat mulai dibuat panik dengan informasi-informasi yang disampaikan oleh segelintiran orang-orang yang apriori. Namun pemerintah langsung menindaklajuti kebenaran informasi yang sudah tersebar tersebut. Hingga melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang menyebarkan berita bohong atau Hoax tersebut.
Tak luput pula konsenkuensi negatif dari informasi tersebut. Banyak masyarakat yang serba menyalahkan sang korban. Sehingga banyak stigma negatif mulai bermunculan yang tentunya tak elok didengar. Bukan hanya itu, sebagian masyarakat mulai resah dengan kedatangan orang-orang yang berasal dari daerah si korban. Hiruk-pikuk stigma negatif semakin merajalela. Sehingga masyarakat setempat serasa dicekam dengan stigma tersebut.
Tentunya tak ada seorang manusiapun yang menginginkan dirinya untuk terkena virus ini, tak seorang manusiapun yang menginginkan dirinya untuk memberikan keresahan bagi orang lain, tak seorang manusiapun yang menginginkan dirinya untuk dihujat. Akan tetapi apa mau dikata, takdir Tuhan mengatakan lain.
Hal terpenting yang harus kita lakukan sekarang adalah berhentilah untuk melontarkan stigma negatif, berhentilah untuk menyebarkan informasi hoax, dan mulailah untuk saling mendoakan. Karena harapan terbesar dari si korban adalah doa dari sesama umat muslim agar penyakit yang dideritanya lekas sembuh.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca terkhususnya penulis.
"Jika Allah tergantung dengan prasangka hambanya, tentunya kita harus berprasangka yang baik bukan sebaliknya"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H