Mohon tunggu...
Reza Syariati
Reza Syariati Mohon Tunggu... profesional -

Sepah e pazdaran

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Operation Elpiji ala "Wag The Dog"

5 Januari 2014   09:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permen ESDM tersebut juga membedakan dua jenis pengguna LPG, yakni pengguna LPG tertentu dan pengguna LPG umum. Pengguna LPG tertentu merupakan konsumen rumah tangga dan usaha mikro yang menggunakan LPG kemasan tabung LPG 3 Kg. Harganya diatur dan ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan pengguna LPG umum merupakan konsumen yang menggunakan LPG dalam kemasan tabung 12 Kg, tabung 50 Kg dan/atau dalam bentuk kemasan lainnya atau dalam bentuk curah (bulk), serta konsumen LPG sebagai bahan pendingin.

Struktur harga Elpiji ini memang agak unik karena ada dua unsur produk, yaitu LPG non-PSO 12 kg dan LPG PSO 3 kg. Sejak tahun 2010, Dirjen Migas Kementerian ESDM bersama-sama dengan Pertamina membuat sistem pendistribusian tertutup LPG 3 kg. Alasannya, karena LPG 3 kg adalah barang bersubsidi sehingga berada dalam domain barang dalam pengawasan. Namun ternyata proyek ESDM yang dilaksanakan sejak 2010 (dengan pertama kali uji coba di Kota Malang pada tahun 2010) seperti jalan ditempat. Tak tanggung-tanggung, sistem pengawasannya menggunakan EDC dan Smart Card. Tak terhitung berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk membangun sistem tersebut.

Di saat sistem distribusi tertutup tidak tentu rimbanya. Pertamina menaikkan harga LPG 12 kg. Bisa ditebak akibatnya, terjadi peralihan konsumsim LPG 12 kg ke LPG 3 kg. Dan tinggal menunggu waktu volume LPG 3 kg akan membengkak dan akibatnya besaran subsidi akan membengkak juga. Jadi, program konversi minyak tanah ke LPG hanya akan jadi pepesan kosong. Karena sebentar lagi LPG 3 kg akan diburu oleh konsumen yang menyiasati kenaikan harga LPG 12 kg. Kelas menengah Indonesia yang tanpa malu melahap hak masyarakat menengah bawah. Pada tahun 2010, marak sekali kasus pengoplosan LPG 3 kg ke tabung 12 kg. Hal tersebut karena disparitas harga. LPG 3 kg dengan Harga Eceran Tertinggi Rp 17.500/tabung dioplos ke tabung LPG 12 kg. Untuk satu tabung 12 kg perlu 4 tabung LPG 3 kg. Jadi selisih harganya lumayan juga, tak kurang 47.708/tabung. Harga selisih ini biasanya dinikmati oleh pengoplos. Bukan tidak mungkin praktek pengoplosan LPG tersebut kembali marak.

Apa yang mungkin terjadi?
Pertamina punya dasar menaikkan harga LPG 12 kg tanpa perlu persetujuan pemerintah dan DPR? Tak tanggung-tanggung, kewenangan Pertamina tersebut ternyata ada dalam Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram. Perpes ini tidak mengatur LPG 12 kg. Namun, bagi sebagian kalangan berdalih pemerintah punya kewenangan. Dalih tersebut tidak salah, namun sangat naif. Tidak salah karena memang berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  002/PUU-I/2003 tanggal 15 Desember 2004 yang mengeleminasi Pasal 28 ayat 2 dan 3 dari UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Sebagai informasi, UU Migas No. 22/2001 ini punya sejarah unik. Awalnya, draft usulan RUU Migas merupakan hasil komitmen dengan dasar Letter of Intent (LoI) dengan Internasional Monetary Fund (IMF) yang ditandatangani Presiden Soeharto dan Managing Director IMF, Michael Camdessus pada 15 Januari 1998 di kediaman Soeharto. Draft RUU tersebut diajukan pemerintah BJ. Habibie kepada DPR pada 1999 oleh Kuntoro Mangkusubroto, Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) saat itu. Namun, RUU itu ditolak DPR. Setekah Habibie gagal terpilih di Sidang Umum MPR 1999 dan diganti Abdurrahman Wahid (Gus Dur). RUU Migas yang sudah masuk kotak tersebut bangkit kembali. RUU tersebut kembali diajukan ke DPR. Saat itu Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Mentamben. Namun, belum sempat dibahas DPR, Gus Dur mengganti SBY dengan Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM). Setelah melewati pembahasan alot di DPR, khususnya di Komisi Energi yang diketuai Irwan Prayitno (kini Gubernur Sumatera Barat), akhirnya Purnomo berhasil meloloskan RUU Migas Jilid II dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR AM Fatwa pada era Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2001. (Perhatikan nama-nama yang saya tulis).


Dasar kewenangan Pertamina menaikkan LPG 12 kg. Perpres Nomor 104/2007 diundangkan jauh setelah putusan MK yang mengembalikan kewenangan pemerintah dalam menaikkan harga BBM dan Gas. Perpres 104/2007 tersebut merupakan instrumen hukum yang digunakan sebagai dasar dalam program Konvensi Minyak Tanah ke LPG. Namun juga Perpres tersebut secara tegas membatasi kewenangan pemerintah hanya sebatas LPG 3 kg dan memisahkan LPG 12 kg ke ranah produk non-PSO. Jelas, jika dilihat dari regulasi ini pemerintah tak punya dalih untuk membatalkan kenaikkan LPG 12 kg.

Justru sebaliknya, pemerintah punya andil terhadap kerugian Pertamina dalam kurun waktu 2009-2013 yang senilai 22 Trilyun tersebut. Ada juga yang berdalih menentang kenaikan LPG 12 kg dengan pendekatan anti-monopoli. Namun hal ini sia-sia belaka. Sebab, pada tahun 2009, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menyimpulkan dalam "Analisis Kebijakan Persaingan dalam Industri LPG Indonesia" Pemerintah telah berkali-kali mengintervensi saat Pertamina akan menaikkan harga LPG. "Harga LPG Non subsidi yang masih “disubsidi” oleh Pertamina menimbulkan entry barrier bagi pelaku usaha swasta. Sementara itu, disaat Pertamina ingin mencapai harga keekonomiannya dengan menaikkan harga LPG subsidi, sehingga memungkinkan kondisi terbukanya pasar bagi pelaku usaha lain, namun pemerintah kemudian melakukan intervensi dengan menunda kenaikan tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa LPG sepenuhnya telah menjadi komoditas yang diatur dan tidak diserahkan ke pasar." Sederhananya begini, dengan harga jual LPG yang masih berada di bawah harga pasar maka industri LPG tidak menarik untuk masuknya pemain baru. Saat ini, selain Pertamina ada 2 (dua) Badan Usaha yang bermain di LPG. Perusahaan Gas Negara (BUMN) dan Blue Gas.

Pada akhirnya, situasi ini adalah dampak dari pembiaran dari berbagai gejala yang timbul sejak konversi minyak tanah ke LPG dimulai pada tahun 2007 lalu. Situasi ini adalah bom waktu yang sudah diketahui para stakeholder sektor Migas Indonesia. Justrudisinilah kelemahan pemerintah khususnya Dirjen Migas ESDM untuk menyiasati dan mengantisipasi kondisi disparitas harga, kacaunya tata niaga LPG dan lemahnya pengawasan serta tidak jelasnya keberlangsungan proyek pengawasan distribusi LPG 3 kg.

Sudah sejak lama diperingatkan kepada ESDM tentang adanya bom waktu pada konsumsi total LPG Nasional dan pasokan LPG di sektor hulu dan kacaunya tata niaga LPG ditambah masalah Supply Chain Management. Dengan konsumsi LPG total sebesar 5,38 juta MT pada 2013 namun produksi dalam negeri hanya 50%. Bahkan, Pertamina pada tahun 2013 mengadakan impor LPG sebesar 2,82 juta MT untuk memenuhi kebutuhan nasional. Sedangkan kilang-kilang dalam negeri, kilang Pertamina 887.572 MT, dan produksi dari kilang swasta mencapai 105.026 MT dan pasokan dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) mencapai 1,61 juta MT.

Penutup
Ulasan tersebut menunjukkan Pertamina telah menjadi bulan-bulanan kebijakan salah urus Migas Nasional. Selama hampir 10 tahun pemerintahan SBY belum juga mampu mendukung upaya Pertamina membangun tata niaga LPG. Bagaimana tidak, saat Pertamina didera kerugian akumulatif terhadap penjualan LPG 12 kg yang terus merugi dan potensi terjadinya peralihan konsumsi LPG 12 kg ke LPG 3 kg, SBY hanya menjadikan ini sebagai ajang pencitraan lewat twitter. Jadi selama ini, SBY abai dengan bom waktu ledakan konsumsi LPG dan kerugian Pertamina ini. Bahkan untuk sistem pengawasan distribusi tertutup LPG 3 kg saja, Pemerintah belum bisa mengeluarkan perarturan setingkat Perpres. Aneh dan ironis, padahal Menteri ESDM tahu soal ini sejak lama. Dirjen Migas juga tahu hal ini. Tapi mereka membiarkannya. Lebih aneh lagi, ketika Partai Demokrat malah bertingkah seperti partai oposisi dengan membenturkan Pertamina. Apakah mereka lupa berapa banyak kader-kader Demokrat (selain Partai-partai lain) yang berbisnis agen-agen LPG dan SPBE (Stasiun Pengisian Bulk Energi - tempat pengisian tabung LPG).  Mereka lupa jika mereka juga bagian dari masalah.

Kita nantikan tingkah polah mereka semua. Demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun