Mohon tunggu...
Reza Syariati
Reza Syariati Mohon Tunggu... profesional -

Sepah e pazdaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari Lawan Jokowi - Si Manusia Setengah Dewa

18 Desember 2013   03:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:48 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu pula PKS. Sebaiknya kita tidak usah repot-repot menghitung Capres dari PKS. Tradisi PKS memang selalu menunggu di tikungan. Selama 10 tahun, PKS telah menikmati berkerja menjadi bagian dari rezim dan memperkaya pundi-pundi elitnya. Partai ini tidak punya tradisi menjadi petarung dalam kancah politik. Kalau tradisi dibully mereka memang sudah tidak tahu malu dan malu-maluin kelompok politik Islam.

Saya sitir kembali pernyataan Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Prof. Hamdi Muluk "Mau jadi pejabat, harus lewat fit and proper test di DPR. Orang di DPR itu asalnya dari parpol. Penyakit parpol itu, ada kader yang baik tapi tidak dimunculkan. Karena parpol tidak jadi partai publik. Oligarki semua. Yang dekat cukong, yang maju mencalonkan," ujarnya saat rilis survei Cyrus Network, Minggu (15/12/2013) di Graha Pejaten sebagaimana yang dikutip dari media online Tribunnews.

Singkatnya, tidak ada kemungkinan untuk menggali lawan Jokowi dari latar belakang Partai Politik. Lalu dari mana kita bisa mencari lawan tanding yang sepadan untuk Jokowi. Mari kita tengok sumber-sumber kepemimpinan konvensional dalam politik Indonesia. Kita akan menemukan sumber dari latar belakang yang lumayan variatif. Misalnya, dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), lalu akademisi atau cendikiawan, Organisasi masyarakat dan Pengusaha. Kemudian ada sumber-sumber baru yang saat ini muncul seiring dengan fenomena Jokowi, dari kepala daerah dan birokrasi.

Sumber-Sumber Kepemimpinan Konvensional

Mari kita ulas, sumber pertama biasanya kita akan menyorot Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai alat negara, militer memang sering menyumbang calon kepemimpinan nasional. Indonesia pernah punya pengalaman di sini. Soeharto dan SBY adalah produk militer khususnya Angkatan Darat. Sempat beberapa nama seperti Wiranto dan Prabowo ikut dalam kompetisi pilpres, walau tumbang dan saat ini mereka bernafsu kembali untuk turun gelanggang. Nama baru kemudian beredar, tak lain adik ipar SBY, Pramono Edhie Wibowo Mantan Kepala Staff Angkatan Darat. Kepemimpinan militer adalah kepemimpinan yang paling kompleks dalam pengalaman. Merintis karir dari jenjang terbawah komando sampai level tertinggi. Sehingga para Jenderal adalah sosok yang kaya dengan pengalaman pengambilan keputusan. Tapi untuk saat ini, tidak ada bintang yang bersinar dari lingkungan TNI. Selama lebih 10 tahun, masa SBY, TNI seperti tidak bisa melahirkan sosok baru kecuali adik ipar Presiden. Sangat disayangkan jika kali ini kita tidak bisa mengharapkan siapapun dari TNI.

Kemudian ada kelompok akademisi atau cendikiawan. Sumber ini memang sering disebut sebagai kelompok "kancil pilek" alias paling alergi dengan politik praktis. Namun, Indonesia mempunyai contoh pimpinan nasional yang berasal dari kalangan ini. Sebut saja BJ. Habibie, teknokrat ulung yang sempat menjadi Presiden pada masa transisi, detik-detik yang menentukan. Dalam beberapa Pemilihan Presiden, sempat beberapa cendikiawan meramaikan bursa. Sebut saja Amien Rais, Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada. Atau Alm. Nurcholis Madjid yang sempat masuk bursa konvensi calon presiden Partai Golkar pada tahun 2003, walau mundur dengan alasan 'GIZI'. Dan Budiono, ekonom yang awalnya digandeng Megawati masuk ke jajaran kabinet dan akhirnya dipersunting SBY sebagai Wakil Presiden. Untuk kalangan cendikiawan dan akademisi saat ini kita akan menemukan nama Anies Baswedan.

Selanjutnya dari kelompok organisasi masyarakat. Kita pernah punya beberapa nama yang bertarung pada Pilpres sebelumnya. Sebut saja KH. Sholahudin Wahid yang sempat berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2004. Kemudian kita punya sejarah dipimpin KH. Abdurrachman Wahid, mantan ketua PB Naahdlatul Ulama yang terpilih menjadi Presiden melalui Sidang Umum MPR tahun 1999. Untuk saat ini, kita bisa mengajukan Tri Mumpuni, seorang sosial intepreneur, yang berhasil dengan mistrik mikro hidronya di desa-desa terpencil. Atau Ketua Serikat Petani Pasundan, organisasi petani terbesar di Indonesia. Alasannya sederhana, jenjang karir dalam organisasi kemasyarakatan adalah jenjang yang cukup menguji kualitas kepemimpinan. Kita perlu membuka mata dengan kemampuan pengorganisasian masyarakat. Di beberapa negara, kita bisa menemukan tokoh sekaliber Lench Walesa, pimpinan serikat buruh Polandia, seorang yang membawa Polandia selamat dari masa transisi pasca runtuhnya Blok Timur di akhir perang dingin. Juga Barrack Obama, Presiden AS ini awalnya adalah aktivis sosial yang menjalani pengkaderan di Partai Demokrat.

Lalu ada kelompok pengusaha. Mengapa tidak? Jusuf Kalla ada seorang pengusaha. Kita bisa melihat kepemimpin seorang pengusaha yang bisa melakukan penyederhanaan terhadap persoalan rumit dan mengambil keputusan dengan tepat dan efisien. Kita perlu mendorong pengusaha Indonesia yang telah selesai dengan hidupnya untuk berbakti pada Republik ini. Mereka telah mendapatkan banyak hal dari Republik ini dengan usahanya. Saatnya kita dorong mereka bertanggungjawab dengan mengelola kerumitan negara ini. Satu hal yang jelas, bertahan dalam bisnis hampir mirip bertahan dalam politik. Bedanya, pengusaha sangat efisien dalam pengambilan keputusan. Untuk kelompok ini memang ada nama Aburizal Bakrie, namun ini kita tidak bisa serta merta menilai pengusaha sebagaimana kita menilai Ical. Kita perlu memilih mereka yang tidak berhutang, tidak terlibat kasus hukum, terlibat jaringan mafia, pengemplang pajak, penyuap birokrasi atau singkatnya mereka yang clean and clear. Kita bisa mengambil contoh bagaimana Thaksin Sinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand. Basis dukungan Thaksin bukan dari kelas menengah perkotaan tapi justru kelas bawah di pedesaan. Kisah sukses Thaksin, walau akhirnya di kudeta militer, adalah sekedar contoh bagaimana pengusaha bisa diperhitungkan.

Kemudian sumber kepemimpinan baru. Kita menemukan kelompok kepala daerah dan birokrat. Fenomena kepala daerah yang punya kualitas yang patut dijajal dalam kancah seleksi kepemimpinan nasional diawali oleh Jokowi. Banyak kisah sukses kepala daerah di Indonesia, namun memang belum diketahui, maklum saja NKRI masih sangat Jakarta sentris. Kita menemukan nama-nama yang layak diperhitungkan, misalnya Basuki Tjahja Purnama (Ahok) Wakil Gubernur DKI Jakarta, lalu Tri Rismaharini Walikota Surabaya. Dulu jalur karir kepala daerah adalah berharap menjadi menteri, jika dia Gubernur, atau Gubernur, jika dia Bupati Walikota. Tapi, dengan fenomena Jokowi, bukan tidak mungkin walikota menjadi Calon Presiden. Kita ingat bagaimana walikota Tehran, Iran, Ahmadinejad berhasil terpilih menjadi Presiden Iran pada 2005. Singkatnya, kita bisa mencari sumber kepemimpinan nasional dari kepala daerah dan birokrasi.

Bagaimana Prosesnya?

Apakah nama-nama alternatif sebagai calon lawan tanding Jokowi akan bisa mendapatkan tiket untuk masuk gelanggang Pilpres? Jawabnya, bisa. Mari kita ingat lagi, siapa Jokowi pada tahun 2011, hanya Walikota Solo. Bagaimana dia bisa masuk Jakarta. Karena desakan dan aspirasi perubahan, walau agak naif, namun ini memang sudah menjadi fakta. Siapa yang menyangka kita bisa memenangkan Ahok, minoritas dalam pertarungan Pilkada paling "berdarah" dalam sejarah pemerintahan daerah pasca reformasi. Namun faktanya, kita bisa menyaksikan sepak terjang duet kepemimpinan Jokowi-Ahok membereskan Jakarta. Harapan kita tentang kepemimpinan yang melayani lambat laun mulai terwujud. Singkatnya, kita bisa memaksa Partai Politik untuk menampilkan lawan tanding Jokowi dengan suara dan opini kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun