Tulisan ini merupakan respon dari Kebodohan Akun Diduga Kader PKS, Dengan Bom Tweet Menjelang Pemilu. Kelakuan, tabiat dan cengkonek partai "Islam abal-abal" ini memang sudah tidak punya malu lagi. Bahkan Anies Matta mulai halusinasi akan memperoleh suara 3 besar. Padahal sejak rentang Februari 2013- Januari 2014, elektabilitas PKS berdasarkan survei tak lebih dari 4 persen (malah cuma 3,3 persen). Angka yang sangat nisbi jika ingin lolos Parlementary Threshold.
Saya urai sedikit anatomi PKS dalam tiap Pemilu dan Pilkada.
Komposisi suara PKS adalah kumulasi suara kader dan simpatisan, ini memang pola umum dalam studi pemilu. Patut diakui, PKS memang rapi dalam pengkaderan. Kualitas kader PKS memang mumpuni dan tunduk sama garis "tsiqah qiyadah". Tapi ini memang pola umum partai-partai sayap kanan yang menggunakan sentimen agama sebagai alat doktrinisasinya.
Nah, sekarang berapa sebenarnya kader PKS? Jika kita menggunakan pendekatan histografi Pemilu sejak 1999, kita akan bertemu dengan angka 3 persen. Atau perolehan awal dari Partai Keadilan. Perlu diingat, PKS adalah Partai yang didirikan dengan latar belakang gerakan dakwah kampus pada era 1990-an. Ideologisasi partai bisa dilacak dari gerakan ikhwanul muslimin.
Tadi saya sebut, pola umum pada partai sayap kanan dengan sentimen relijius, maksudnya, kaderisasi PKS memang berjenjang dan berlapis. Tiap orang yang akan menjadi kader akan mengikuti berbagai jenjang sampai menjadi kader inti. Dan tentunya, akan dibawah pengawasan kader senior, yang dalam terminologi PKS disebut sebagai Murrobi. Jenjang rekrutmen PK saat itu, dan PKS saat ini memang dimulai pada sekolah melalui wadah Rohani Islam.
Pencangkokan doktrin relijius politis pada usia dini dalam banyak studi perilaku pemilih memang menjadi dasar terbuktinya gaya parokial. Hal ini sudah dibahas dalam banyak studi perilaku pemilih di dunia ketiga. Struktur kaderisasi ini berakibat, pola komunikasi yang cendrung eksklusif (macam mereka saja yang Islam) pada masa sebelum pemilu dan menjadi sok akrab dan sok peduli pada masa jelang Pemilu.
Inilah penjelasan mengapa PKS selalu berupaya bertingkah "serba seolah-olah" dan menggunakan isu-isu agama yang puritan dalam komunikasi politiknya. Akibatnya, kader PKS akan cendrung stagnan atau dengan kata lain, segitu-gitu aja. Bagaimana membuktikannya? empirisnya saja, coba periksa mahasiswa baru yang digiring dan ditarget dalam mata kuliah agama Islam. Instrumen ini memang lazin digunakan khususnya pada perguruan tinggi negeri. Mahasiswa dijebak dalam kegiatan-kegiatan mata kuliah agama Islam. Tapi sayangnya, sebagian besar yang tergalang justru mereka yang pernah menjadi aktivis Rohis saat sekolah menengah. Ini bukti eksklusifitas penggalangan yang menyebabkan kader mereka cuma segitu-gitu saja.
Lebih lanjut bisa dibuktikan dari data kader PKS. Jangankan kader, PKS nyaris tidak bisa ikut pemilu karena kesulitan memenuhi syarat KPU tentang pembuktian jumlah anggota partai melalui kepemilikan kartu anggota. Sampai batas waktu penyerahan bukti tersebut, PKS masih menunggak. Entah bagaimana PKS bisa lolos di KPU.
Jadi, pada point ini, jumlah kader PKS paling banter ada di angka 3 persen pemilih. Dan apabila diasumsikan, semua kader tersebut memilih, maka bolehlah mereka merasa lega karena punya modal 3 persen suara dalam Pemilu.
Kader sebanyak 3 persen tersebut, angka ini hasil kompilasi histografi Pemilu 1999-2009, memang solid. Untungnya adalah, angka Golput tidak akan menggerus modal ini. Terlihat jelas dalam Pilkada Depok - Jawa Barat pada 2010, PKS menang dengan komposisi Golput yang lebih 30 persen. Di Pilkada Sumut, 2012, PKS menang justru saat angka Golput 30 persen juga. Dan di Jawa Barat, PKS menang dengan angka Golput 36 persen. Jadi jelas, Golput ternyata memenangkan PKS. Hal ini mempunyai pola yang sama dengan seperti yang dilakukan onderbouw PKS, KAMMI - walau KAMMI mati-matian membantah hal ini, yang menang dalam setiap pemilu raya Mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. KAMMI selalu menang saat Golput mahasiswa tinggi.
Gaya PKS yang selalu menang ini memang mirip dengan pola Hyena "anjing pemakan bangkai" berburu. Hyena berburu bergerombol, berbeda dengan Harimau yang berburu sendiri. Singa juga berburu beramai-ramai, tapi yang menerkan pasti seekor singa yang paling jago. Beda, dengan Hyena yang menerkam saja keroyokan. Itulah analoginya. PKS selalu bergerombol baik dalam pemilu maupun menjarah "ghanimah" jika ada yang tertangkap maka si penangkap akan digonggong. Persis dengan perilaku Bung Mantap menggonggong KPK.