Contohnya adalah penolakan Amerika Serikat terhadap yurisdiksi Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas warganya, meskipun ada bukti yang menunjukkan keterlibatan dalam kejahatan perang. Sikap seperti ini mencerminkan bagaimana prinsip imunitas kedaulatan dapat digunakan secara selektif untuk mempertahankan pengaruh politik global.
Dinamika lainnya adalah munculnya aktor-aktor non-negara dalam hubungan internasional, seperti perusahaan multinasional dan organisasi internasional. Aktor-aktor ini sering kali memiliki pengaruh ekonomi atau politik yang signifikan, yang dapat menantang imunitas kedaulatan negara.Â
Sebagai contoh, perusahaan multinasional dapat menuntut negara melalui mekanisme penyelesaian sengketa investasi internasional (Investor-State Dispute Settlement/ISDS) jika kebijakan negara dianggap merugikan investasi mereka. Dalam beberapa kasus, negara harus membayar ganti rugi yang besar, yang menunjukkan bagaimana kedaulatan ekonomi mereka dapat dikompromikan.
Oleh karena itu, imunitas kedaulatan negara di era globalisasi menjadi konsep yang semakin fleksibel dan dinamis. Sementara kedaulatan tetap menjadi prinsip dasar dalam hubungan internasional, penerapannya harus disesuaikan dengan tuntutan zaman.Â
Globalisasi tidak hanya menantang batas-batas imunitas kedaulatan tetapi juga memaksa negara untuk menyeimbangkan antara menjaga otoritas nasional dan berkontribusi pada kepentingan global (Mangapul et al., 2021). Di tengah dinamika ini, pertanyaan utama yang muncul adalah bagaimana menciptakan kerangka hukum internasional yang dapat melindungi kedaulatan negara tanpa mengabaikan kebutuhan akan kerja sama global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H