Mahkamah menegaskan prinsip imunitas negara, tetapi mencatat bahwa imunitas tersebut tidak berarti kebebasan dari tanggung jawab atas pelanggaran berat hukum internasional, meskipun yurisdiksi pengadilan nasional tidak dapat digunakan untuk memproses negara lain. Ini mencerminkan tantangan yang kompleks dalam menyeimbangkan antara penghormatan terhadap kedaulatan dan kebutuhan untuk menegakkan keadilan.
Contoh lain yang signifikan adalah penuntutan terhadap mantan pemimpin negara dalam Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Penangkapan dan dakwaan terhadap Omar al-Bashir, mantan Presiden Sudan, atas dugaan genosida di Darfur menunjukkan bagaimana batasan imunitas kedaulatan mulai diterapkan. Dalam hal ini, ICC memutuskan bahwa status kepala negara tidak memberikan perlindungan dari dakwaan atas kejahatan berat internasional (Weinberg, 2021). Namun, kasus ini juga menunjukkan tantangan besar, termasuk ketegangan politik antarnegara dan kesulitan dalam menegakkan keputusan pengadilan internasional di tingkat domestik.
Dengan demikian, batasan terhadap imunitas kedaulatan negara menunjukkan adanya pergeseran paradigma dalam hukum internasional. Prinsip ini tidak lagi dilihat sebagai perisai mutlak untuk melindungi negara dari tanggung jawab, tetapi lebih sebagai instrumen yang harus disesuaikan dengan perkembangan norma keadilan global. Meski demikian, penerapannya masih menghadapi berbagai hambatan, termasuk resistensi politik dari negara yang kuat dan kekurangan mekanisme penegakan hukum yang efektif. Oleh karena itu, batasan terhadap imunitas kedaulatan negara bukan hanya masalah hukum, tetapi juga menjadi perdebatan politis yang terus berkembang di tingkat internasional.
Dinamika Imunitas Kedaulatan Negara dalam Era Globalisasi
Globalisasi telah membawa perubahan signifikan dalam cara negara-negara berinteraksi di kancah internasional. Di satu sisi, globalisasi meningkatkan keterhubungan ekonomi, politik, dan sosial antarnegara. Di sisi lain, hal ini mengaburkan batas-batas kedaulatan tradisional, sehingga menciptakan tantangan baru dalam memahami dan menerapkan prinsip imunitas kedaulatan negara.Â
Dalam konteks ini, prinsip yang dulu dianggap absolut kini menghadapi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan realitas global yang semakin kompleks.
Salah satu dinamika utama dalam imunitas kedaulatan negara di era globalisasi adalah keterlibatan negara dalam perjanjian multilateral dan organisasi internasional. Negara-negara sering kali menyerahkan sebagian otoritas kedaulatannya untuk mematuhi aturan atau keputusan yang dibuat di tingkat internasional (Crocker, 2021).
 Contohnya adalah keikutsertaan negara dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang mewajibkan anggotanya untuk tunduk pada mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan. Dalam kasus ini, prinsip imunitas kedaulatan menjadi terbatas karena negara secara sukarela menerima pengawasan dan penegakan aturan internasional.
Selain itu, dinamika imunitas kedaulatan juga terlihat dalam isu pelestarian lingkungan global. Misalnya, dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Perjanjian Paris, negara-negara berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah bersama guna mengurangi emisi gas rumah kaca.Â
Ketidakpatuhan terhadap komitmen ini dapat memunculkan tekanan internasional, baik dari negara lain maupun dari organisasi non-pemerintah. Dalam hal ini, kedaulatan negara terpengaruh oleh norma global yang menuntut tanggung jawab kolektif atas isu yang melampaui batas-batas negara.
Namun, tidak semua negara menerima pembatasan ini tanpa perlawanan. Beberapa negara kuat cenderung menggunakan prinsip imunitas kedaulatan sebagai alat untuk melindungi kepentingan nasional mereka dari pengaruh eksternal.Â