Kutahu, suatu saat nanti aku akan pulang. Hujan masih saja turun dengan derasnya, seperti ditumpahkan begitu saja dari langit. Aku menepikan sepeda motorku ke sebuah halte. Beberapa orang berteduh di bawahnya. Kulirik jam tanganku, jam lima sore. "Pulang dik....?" tanya seorang bapak yang duduk sambil mengepulkan asap rokoknya di sebelahku. Aku hanya tersenyum. Senyum yang kuyakin terlihat aneh. Aneh, sama anehnya jika kudengar kata "pulang". Kutepiskan bercak lumpur yang mengotori sepatu boot yang membungkus ujung kakiku hingga ke lutut. Bapak tua itu mengangsurkan bungkus rokoknya kepadaku. Aku mengambilnya sebatang, kunyalakan lalu kuhisap dalam-dalam asap pahitnya, seperti menelan bulat-bulat kegetiranku. "Saya juga kangen rumah. Anak-anak saya juga pasti sudah menunggu saya pulang." Ah, kata-kata itu lagi. Aku jengah mendengarnya. Namun aku mengangguk, penasaran. Sepertinya bapak ini bisa membaca pikiranku. "Pasti rumah Bapak hangat." Kataku pada akhirnya. "Hehehe.... hangat itu di sini dik..." katanya sambil menunjuk ke arah dadanya. "Jiwa kita sendiri yang akan bikin hangat atau dingin apapun yang kita miliki. Percaya sama Bapak, kehangatan itu yang akan membuat kita selalu pulang ke tempat yang sama." Aku tersenyum kecut. Bukannya aku tak percaya kata-katanya, tapi aku tengah kesulitan untuk memaknai kata "pulang". Beberapa bulan ini aku hanya mengenal kata "singgah". Bagiku pulang itu hanya ke sebuah tempat yang pernah aku miliki. Tempat yang kini hanya secara diam-diam aku rindukan. "Bapak tahu bagaimana rasanya kehilangan. Tapi adik pasti lebih tahu bagaimana perasaan yang sebenarnya." "Terimakasih pak. Saya pernah mengucapkan selamat jalan kepada apa yang hilang. Dan saya sedang berusaha untuk melakukan hal yang sama, saat ini, saat kerinduan itu datang lagi." "Ya ya ya... itu baik sekali." Aku menghela napas panjang. Di benakku tergambar lagi sudut-sudut ruangan yang pernah kupeluk. Kukenali setiap jengkal lantai dan dindingnya. Dulu, aku selalu nekad menerobos hujan agar lekas sampai ke rumah untuk kemudian kubasuh tubuhku dan menghirup secangkir kopi atau bersembunyi di balik selimut sambil mengeja baris-baris buku yang belum selesai kubaca. Hujan hanya tinggal menyisakan gerimis. Bapak tua itu menepuk pundakku, "Pulanglah ke tempatmu singgah. Tidur dan bermimpilah tentang tempatmu pulang. Lalu genggam dan kejarlah. Jangan lupa berdoa dan adukan hanya kepada Tuhan." Dengan berlari-lari kecil bapak tua itu menuju kesebuah angkutan kota yang akan membawanya pulang. "Kamu di mana...?" Suara kecil dari telepon genggamku memanggil dengan nada khawatir, menungguku untuk pulang. Ya, setidaknya aku masih memiliki tempat pulang yang tak mungkin akan hilang. Seketika hatiku hangat. Jika benar Tuhan selalu punya rencana terbaik, pada waktu yang tepat pasti aku akan bisa wujudkan mimpiku. Aku beranjak menuju sepeda motorku. Tanpa terasa air mata menetes membasahi wajahku, bercampur dengan rinai gerimis. Aku tahu, suatu saat nanti aku akan pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H