Mohon tunggu...
Reza Ahmad
Reza Ahmad Mohon Tunggu... -

Orang biasa dengan mimpi luar biasa. Menyukai musik, menulis, fotografi, videografi dan media.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Intermezo

16 Januari 2012   02:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:50 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika memikirkan sesuatu, atau ketika kita berada dalam sebuah atmosfer tertentu. Kita biasanya ter-influence ( terpengaruh ) pada keadaan itu. Yang kita lakukan, yang kita torehkan, yang kita lukiskan, atau yang kita tuliskan biasanya berada pada nuansa dan warna dari aura atmosfir yang mempengaruhi kita. Dan, gue heran. Tapi gue tau banget kalo atmosfir ketika gue lagi jatuh cinta bisa membawa gue pada berbagai macam rasa dan nuansa. Bisa indah, bisa sakit, bisa putus asa, bisa harapan. Pokoknya semua rasa yang tercipta di dunia ini gue rasa bisa gue dapetin sekaligus gara-gara cinta. Anda bisa buktiin sendiri dech. Nah, yang bakal gue tulis ini juga karena cinta, : AJINING KATRESNAN Duh katresnan Tego temen anggonmu nguji Atiku kang gur siji Wegah nggonmu mapan Mapan marang sakwijining kangen Kang banget gawe loro Kang kerep gawe edan Ugo kang iso gawe ciloko Cilakaning batin Kang ngemu tresno Abot anggonku ngayahi Ning seneng nggonku ngroso Oh, yo kuwating awak Sak kuwat - kuwating pundhak Opo yo saguh Ngenteni nggonku nggayuh Oalah kang, Reneo Sruputen wedang alang - alang Puluken sego megono Mbok yo tulung Rungokke sambatku Jaremu, celeng...!! Nangopo aku kudu ngrungokke sambatmu ? Lik, takokke Piro adohe Kertijayan ? Cobo kandakke Sepiro ramene Grogolan ? Tak lakoni Nju... Najan udan gedhe Najan Mbanyurip banjir sakndhuwure pupu Najan ora ono sing gelem ditunuti kae Tak lakoni mubeng lapangan Mataram mergo prapatan Ponolawen ditutup Aku ora eram Dalan kae pancen kerep bodhol Lungoho Kang, Lik, Nju Tak lampahi nganggo sikilku Nganggo dhengkulku dhewe Ora ketang mrangkang nggonku tekan kene Duh, asmoro Sliramu marakke lali Nek sejatine awakku tanpo bondho Yo mung atiku siji iki Yul... tomponen Lan woconen Layang katresnan iki **** Gak ngerti lah. Apakah tulisan gue tadi jelek ato nggak. Tapi yang jelas, gue bisa ngungkapin di situ tentang rasa sakit, rasa kecewa, rasa marah, semangat yang membara, tentang mimpi dan tentu saja rasa cinta. Emang begitu itu cinta kan? Dan dalam tulisan ( puisi kali ) itu emang begitu dialek Jawa masyarakat Pekalongan. Gue gak tau bener atau nggak. Lha wong gue gak dari kecil di Pekalongan. Tapi seenggaknya itu yang gue tangkep. Nah, soal makna. Kalo soal itu gue rasa gak asik kalo gue terjemahin kata per kata. Yang jelas, tokoh dalam puisi itu merasa lagi diuji bener dalam merasakan kerinduan karena cinta. Biasanya jika seseorang lagi fallen, dia cenderung cerita sama orang tentang yang dicintainya. Dia hampir melakukannya. Tapi keteguhan mencegahnya. Biarlah mereka pergi, kata dia. Dia bakal jalanin dengan kakinya sendiri menemui cintanya. Apapun halangan dan rintangan yang harus dia lewati. Dia rela diguyur hujan lebat. Direndam banjir di Banyurip yang sampai sekarang selalu banjir meskipun hujan cuma sebentar. Dia rela lewatin jalan memutar karena saat ini Perempatan Ponolawen ditutup untuk dua arah karena perbaikan yang kerap dilakukan. Ini adalah sebuah idiom. Dimana hujan yang membasahi hatinya seperti curahan cinta yang menyiram hatinya. Sejuk, tapi kadang menyakitkan. Banjir yang mejerat langkahnya bagaikan beban yang mengikat kakinya. Berat, tapi kadang terdorong arus. Dan jalan yang tertutup membuatnya harus memutar arah. Seperti liku jalan yang harus dia lalui untuk cintanya. Oiya, gue hampir lupa. Daerah-daerah tadi ada di kota Pekalongan. Dimana dialek bahasanya gue pake di tulisan tadi. Termasuk makanan dan minuman khas yang ditawarkan oleh tokoh tadi. Endingnya, dia berhasil menemui cintanya. Dia berhasil ungkapin perasaannya. Meskipun jawaban cinta itu masihlah menjadi misteri. Itulah " Nilai Cinta " ( terjemahan dari judul puisi tadi = Ajining Katresnan ). Gue mo jelasin satu lagi. Penulisan karakter dalam puisi tadi gue tulisin sesuai bunyi lisan. Maksudnya begini. Aturan dalam penulisan bahasa jaw pada umumnya, walaupun merujuk pada bunyi lisan " o " pada kata-kata tertentu, dia tetap ditulisin " a ". Ok, gue kasih contoh : kata lisan " ono " yang berarti ada, dalam penulisan haruslah " ana ". Trus kenapa gue nulis pake bunyi lisan ? Jawaban gue adalah : biar anda yang membacanya bisa mengucapkannya dalam bunyi lisan sesuai yang gue maksud. Gettooo... Ini adalah REPOST dari blog saya: http://blogrezatalk.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun