Kalimat "Indonesia adalah negeri yang kaya" sering kita dengar saat membicarakan Tanah Air tercinta ini. Jika mengacu pada kekayaan ekonomis, mungkin Indonesia belum masuk dalam daftar negara terkaya di dunia.Â
Namun, ketika berbicara tentang kekayaan budaya dan alam, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Indonesia benar-benar kaya.
Kekayaan inilah yang membuat saya sangat senang berjalan, berpetualang, dan merasakan langsung keindahan yang dimiliki Indonesia.Â
Baru-baru ini, saya mengunjungi salah satu daerah di Sumatera bagian utara: sebuah danau besar yang di tengahnya terdapat Pulau Samosir.
Ya, tempat yang saya maksud adalah Danau Toba, danau vulkanik terbesar di dunia sekaligus danau terbesar di Asia Tenggara. Danau ini sudah sangat terkenal, apalagi baru-baru ini ditetapkan sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark.Â
Pengakuan ini tentu bukan hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena kekayaan budaya, geologi, dan ekosistem yang dimilikinya.
Hal lain yang menarik perhatian saya adalah perbedaan budaya yang dimiliki warga sekitaran danau Toba ini, tepatnya suku Batak. Mulai dari perbedaan bahasa, makanan, juga agama yang berbeda dengan sebagian besar masyarakat di sumatera.Â
Sebab pada dasarnya suku batak merupakan bagian dari proto melayu atau melayu tua dan penutur bahasa Austronesia, sama seperti bangsa melayu lainnya.
Mungkin ini ada kaitannya dengan daerah perbukitan yang mengelilingi daerah Toba, yang membuat mereka sedikit terisolasi dari daerah lainnya. Memang pada saat saya ke sana dari kota Padang, jalan yang saya lewati penuh lika-liku. Namun, juga sangat indah karena panorama oleh bukit barisan.
Hal paling menonjol adalah perbedaan agama, di mana mayoritas masyarakat Batak beragama Kristen. Di sana memang ada banyak sekali gereja, belum lagi berbagai macam bentuk makam yang terdapat tanda salib di atasnya. Akhirnya saya menjadi minoritas di tanah melayu ini haha.
Sebab itu masyarakat batak lebih beragam soal opsi makanan, di sana saya banyak menemui warung makan dengan menu utama babi atau anjing.Â
Belum lagi banyaknya lapo tuak, ya seperti warung kopi di melayu, tapi minuman utamanya di sini adalah tuak. Jika kalian tidak tahu tuak, ini adalah minuman beralkolol yang terbuat dari fermentasi nira, beras, dan bahan lainnya.Â
Terlepas dari beberapa perbedaan ini, saya menemui beberapa persamaan batak dengan minang atau melayu lainnya. Salah satunya adalah bentuk rumah khas Batak, yakni Rumah Bolon.Â
Di mana jika diperhatikan dari jauh, atap rumah khas Batak ini mirip dengan atap gonjong Rumah Gadang di Minangkabau. Rumah ini juga berbentuk panggung, bentuk umum rumah penutur bahasa Austronesia lainnya.
Suku batak juga menggunakan sistem kekerabatan patrilineal seperti banyak suku di Sumatera dan Indonesia umumnya. Penanda sistem kekerabatan Batak ini dinekal dengan marga, bahkan sekarang dalam suku Batak terdapat kurang lebih 500 marga. Tidak heran jika kemudian suku Batak menjadi suku terbesar ketiga di Indonesia.
Mungkin jika saya tinggal cukup lama di sana, saya akan menemukan persamaan ataupun perbedaan lainnya. Sayangnya perjalanan saya cukup terbatas karena waktu yang tidak banyak, sehingga belum banyak hal yang bisa saya eksplorasi.
Pengalaman di Danau Toba ini membuat saya semakin penasaran atas keragaman Indonesia. Setiap perjalanan mengajarkan sesuatu yang baru, sekaligus memperkaya wawasan saya akan indahnya hidup dalam keberagaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H