Tentu bagi kita, pemain berlaku diving atau dalam bahasa resmi perwasitannya simulasi dalam pertandingan sepak bola bermakna meruntuhkan nilai-nilai sportivitas. Makanya pemain seperti Neymar Jr dikutuk dimana-mana sebab aksi teatrikalnya saat terjatuh. Seolah-olah bahwa kakinya habis dibebat dengan balok kayu jati jebolan hutan Blora. Sepertinya dia belum absah jatuh bila tak menyempurnakannya dengan berguling-guling.
Pun ketika David Luiz yang dengan cerobohnya tak menutup mukanya setelah dianggap dijatuhkan oleh Rafael da Silva ketika Chelsea melawan MU. Sambil memegangi tungkai, David Luiz yang terjatuh di pojokan lapangan menyeringai ke arah penonton dan kemudian tertangkap lensa kamera televisi. Tak sia-sia, Rafael mendapat usiran dari pengadil lapangan.
Begitu pula di kubu MU di masa-masa awal dekade 2010 nama Ashley Young sering diidentikkan dengan sebutan 'penyelam' oleh pelatih-pelatih lawan. Kalau dipanjangkan tentu rentetan nama bakal makin panjang seperti untaian rantai karbon. Sebut saja Arjen Robben, Ronaldo, Messi, hingga yang berperawakan bengal macam Sergio Ramos. Semua pasti punya dosa diving, terutama ketika sedang di kotak penalti atau untuk menyulut emosi lawan.
Tapi rasa-rasanya yang paling monumental sepertinya masih dipegang oleh penyerang kenamaan Jerman yang pernah berpanji Inter Milan, Jrgen Klinsmann. Kejadian berlangsung di pesta akbar empat (rencananya mau dibikin dua) tahunan sepak bola, Piala Dunia FIFA edisi 1990 di tanah Italia. Klinsmann yang kala itu masih berstatus pemain Inter tentu serasa bermain di rumah kedua.
Jerman untuk terakhir kali datang tak lagi sebagai Jerman Baratmenyongsong final Piala Dunia 1990 menantang juara bertahan Argentina. Empat tahun sebelumnya magis Maradona mampu membikin Argentina merengkuh gelar keduanya di Stadion Azteca, Meksiko yang uniknya sama-sama mempertemukan Jerman dan Argentina. Pelatih pun masih sama, Carlos Billardo masih duduk di kursi pelatih Argentina dan Franz Beckenbauer masih menukangi Jerman.
Tapi Argentina 1990 bukanlah seperkasa 1986 yang spektakuler. Billardo menekankan pendekatan defensif, hasilnya dua kali Argentina harus menyelesaikan pertandingan via adu pinalti. Tapi final adalah final, terlebih Argentina datang setelah menyingkirkan tuan rumah di Naples. Kota dimana Maradona bermain untuk Napoli.
Momen besar Klinsmann itu datang ketika pertandingan sudah memasuki pertengahan babak kedua. Kedua tim sama-sama buntu untuk menggetarkan jala lawannya dan pertandingan cenderung menjurus ke kasar.
Adalah Pedro Monzon yang kala itu baru dimasukkan Billardo di awal babak kedua sedang membayangi Klinsmann yang mencoba penetrasi dari sisi kiri pertahanan Argentina. Ketika mencoba melewati kawalannya tak ragu Monzon melayangkan tekel. Seketika itu lah Klinsman terbang sekaligus mengerang dan diakhiri dengan berguling-guling seolah Monzon menyabet kakinya dengan klewang.
Tanpa fafifu apalagi meminta pertimbangan pengadil VAR yang tentunya belum ada, wasit Edgardo Codesal mengacungkan kartu merahnya. Protes serentak dari pemain-pemain Argentina tak membuat bergeming, mereka harus meneruskan babak kedua dengan defisit pemain. Monzon jadi pemain pertama yang dikartu merah di Final Piala Dunia.
Singkat cerita nantinya Gustavo Dezotti mencatatkan namanya jadi orang kedua yang diusir ketika melanggar Vller di kotak terlarang. Sepakan berhasil penalti Andreas Brehme jadi satu-satunya gol di malam itu. Untuk terakhir kalinya Jerman Barat bermain di kompetisi resmi sebelum unifikasi menyusul runtuhnya Tembok Berlin.
Pasca pertandingan Klinsmann dikutuk oleh media-media (tentunya non Jerman) atas aksi akribatiknya itu. Bahkan aksinya pun mendapat nama Jurgen's Disco Dive oleh khalayak. Memang suatu ironi lain malam itu, Meksiko yang begitu manis pada Maradona dan Argentina empat tahun sebelumnya, malah melalui seorang warganya (Codesal orang Meksiko) menutup tirai kegemilangan Maradona.
Tapi Klinsmann sepertinya tak terganggu label tukang diving-nya itu. Hal yang dibuktikan ketika ia memutuskan pindah ke Liga Inggris tepatnya Tottenham Hotspurs. Ketika mencetak gol debutnya lawan Sheffield Wednesday, tak sungkan ia berselebrasi seolah-olah sedang mau 'menyelam'. Hal yang ia ulangi pekan depannya ketika Tottenham menjamu Everton.
Media Inggris yang terkenal ganas itu pun terkesima oleh performa Klinsmann. Jurnalis The Guardian, Andrew Anthony menulis tajuk "Why I Hate Jrgen Klinsmann." di Juni 1994, tapi dia pula menulis artikel berjudul "Why I Love Jrgen Klinsmann."Â pada Agustus tahun yang sama. Mungkin publik Inggris yang mengagungkan etika itu sudah terbuai oleh teatrikal Klinsmann.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI