Tentu saja Sultan Agung namanya akan selamanya harum di kancah perbincangan masyarakat pada umumnya. Disamping dua kali kegagalannya menggenpur Batavia dan keputusannya menyabotase sungai Kali Mas demi menggenggam Surabaya dibawah kuasa mataram.Â
Semakin meluasnya wilayah Mataram dari Cirebon sampai Jawa bagian timur, tapi kejayaan yang dibangun Sultan Agung terus-terusan digerus oleh anak turunnya sendiri.
Sepeninggal mangkatnya Sultan Agung tahta mataram diduduki serangkaian keturunannya yang banyak menyandang gelar Susuhunan Amangkurat. Secara harfiah amangkurat bermakna orang yang memangku bumi atau memangku negara, dalam hal ini negara Mataram. Ada lima susuhunan sekaligus yang memerintah kedaton Mataram.
Salah satu penyandang nama Amangkurat adalah Raden Mas Sutikna yang adalah putra Amagkurat II atau Amangkurat Amral. Sutikna naik tahta menggantikan ayahnya di 1703 dan secara resmi kekuasaannya atas tanah Mataram berakhir pada 1705, relatif singkat dibanding kakeknya yang berkuasa 31 tahun. Dalam kuasa yang begitu singkat, Sutikna yang bergelar Amangkurat III malah terkenal atas kelalimannya.
Memang sejak ketika ayahandanya meninggal, RM Sutikna tak seratus persen mendapat dukungan dari orang-orang. Banyak yang beranggapan pamannya, Pangeran Puger lebih pantas dalam menggantikan kakaknya itu. Apalagi Puger pernah punya prestasi yaitu mengusir pasukan Trunojoyo yang sempat menduduki Keraton Plered dalam pemberontakan.
Kongsi Ringkih
Tapi sepertinya memang skil kakek buyutnya, Sultan Agung dalam memerintah sudah benar-benar tak membekas di diri Amangkurat III. Dalam catatan dituliskan sifat buruknya berupa tempramen, kejam, dan suka main wanita. Tak heran pihak yang tak senang dengannya terus memberi simpati pada Pangeran Puger.
Sudah tak aneh demi menjaga kemurnian trah penguasa mereka seringkali menikahkan antar sepupu. Hal sama yang dilakukan Wangsa Mataram demi mencegah terbangnya kuasa ke orang luar keturunan Ki Ageng Pemanahan.Â
Begitu pun yang dialami oleh Amangkurat III, dia mengangkat Raden Ayu Lembah yang tak lain putri pamannya, Pangeran Puger sebagai permaisurinya. Tentu diharapkan Amangkurat III bakal berdamai dengan paman sekaligus mertuanya itu dan memperkuat konsolidasi keraton.
Harapan pun tinggal harapan. Memang pada dasarnya sudah terlalu mencurigai sang paman-mertua merebut tahtanya, tak ada rekonsiliasi antar keduanya.Â