Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menjadi Klub Sepak Bola Sekaligus Pengungsi

13 Januari 2022   07:25 Diperbarui: 14 Januari 2022   15:19 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akibat konflik bersenjata, Shaktar harus menyingkir dari Donestk (Sumber: uefa.com)

Ketika ada perang Armenia-Azerbaijan  kembali pecah untuk memperebutkan daratan Nagorno-Karabakh seketika terbesit sebuah nama, Qarabag. Sebenarnya fragmen perang antar kedua negara tak lain lanjutan baku hantam mereka sejak 1990an. 

Salah satu ekor dari akibat pecahnya Uni Sovyet, kedua negara saling sikut demi wilayah otonomi di pegunungan Karabakh yang oleh pihak Armenia disebut Artsakh.

Singkat cerita sebab gencarnya pertempuran dan diakhiri dengan kalahnya pihak Azerbaijan di perang pertama, mulai lah gelombang eksodus warga Azeri keluar area itu.

Tak cuma warga biasa saja yang harus hijrah dari daerah yang kemudian terus menjadi sengketa, tapi juga menimpa klub sepak bola kebanggaan kota Agdam, Qarabag FK.

Kota Agdam yang terkena dampak besar akibat peperangan jelas tak bisa membuat Qarabag dengan tenang bertanding sepak bola. Bahkan secara de facto Kota Agdam kemudian diduduki oleh tentara Armenia. 

Demi menyelamatkan eksistensinya, akhirnya di 1993 Qarabag diboyong jauh ke timur menuju pesisir Laut Kaspia, ibu kota negara Baku. Malangnya juga pelatih Qarabag kala itu, Allahverdi Bagirov ikut gugur dalam perang.

Kini keadaan sekarang berbalik sebab menangnya pihak Azerbaijan di lanjutan perang tahun 2020. Kota Agdam sudah dibebaskan militer Azerbaijan dari pendudukan Armenia dan stadion Imarat yang sudah rata dengan tanah sejak dibombardir tahun 1993 dicanangkan untuk kembali dibangun, mungkin ada kemungkinan Qarabag FK kembali pulang ke kampung halamannya.

Kota Agdam pasca okupansi militer Armenia (Stephan Lohr/rferl.org)
Kota Agdam pasca okupansi militer Armenia (Stephan Lohr/rferl.org)

Kisa klub sepak bola yang harus hijrah akibat perang juga dialami oleh raksasa sepak bola Ukraina, Shaktar Donestk. Klub para pekerja tambang ini harus meninggalkan markas mereka yang megah, Donbass Arena di kota Donetsk akibat konflik berkepanjangan yang terjadi. Sejak 2014 memang muncul breakaway nation bernama di region Donestk dan Luhansk yang pro ke Rusia.

Stadion pun tak luput dari arena konflik antara pihak pemberontak dan pemerintah Ukaraina. Akhirnya manajemen Shaktar memutuskan mengungsi dari Donestk untuk mencari daerah yang relatif lebih aman. 

Meninggalkan Donbass Arena yang sudah berstatus bintang empat (tertinggi) UEFA dan mantan venue Euro 2012. Tapi ketika memutuskan mengungsi ada beberapa pemain dan staf yang memutuskan berpisah dari tim sebab memilih ikut berjuang bersama pasukan separatis.

Shaktar pernah numpang ke Stadion Arena Lviv yang juga salah satu venue Euro 2012 pada 2014-2016. Kemudian mereka hijrah lagi, kali ini ke kota Kharkiv menempati Stadion Metalist yang memang lowong tanpa tuan. 

Kemudian jagoan liga Ukraina ini mulai 2020 memutuskan pindah lagi ibukota Kiev menempati Stadion Olimpiyskyi berbagi dengan Dynamo Kyiv. Dengan masih terus berlangsungnya konflik di Donestk, sepertinya Shaktar masih bakal jadi pengungsi.

Selain itu tim asal Luhansk, yaitu Zorya Luhansk yang pernah segrup dengan Manchester United, Fenerbahce, dan Feyenord di Europa League 2016/17. 

Mereka harus meninggalkan stadion Avanhard sejauh 400 km menuju kota Zaporizhzhia untuk menghindari peluru dan mortar. Pindahnya Shaktar dan Zorya dari kota asal jelas memangkas jumlah penonton mereka yang datang di stadion.

Lebih tua lagi ada Anorthosis Famagusta yang terusir sebab pendudukan Turki atas sisi utara Siprus di 1974. Hasil dari pendudukan adalah munculnya garis demiliterisasi yang juga membagi ibukota Nikosia. 

Famagusta yang terkenal sebagai kota wisata pantai mediteranianya berada di utara garis otomatis dikuasai pihak republik pro turki, Anorthosis mengungsi ko kota Larnaca.

Anorthosis yang juga menjadi tim asal Siprus pertama yang menembus fase grup UCL di 2008 ini sepertinya bakal selamanya di Larnaca, bahkan mereka sudah mendirikan stadion sendiri. 

Meski tak sefenomenal Apoel Nicosia yang menembus perempat final di 2011, waktu itu mereka sempat mengejutkan dengan menahan imbang imbang Inter Milan dan mengalahkan Panathinaikos.

Kemiripannya di Indonesia

Persija dulu sering menjadikan Stadion Manahan sebagai alternatif laga kandangnya (Bola.com/Robby Firly) 
Persija dulu sering menjadikan Stadion Manahan sebagai alternatif laga kandangnya (Bola.com/Robby Firly) 

Hal yang berbeda dialami di Liga Indonesia yang juga sudah lama mengenal istilah tim musafir sebagai tim yang bermain kandang di luar basisnya. Alasannya tentu bukan sebab daerahnya sedang dilanda konflik bersenjata atau ditenjang taifun tropis, tapi memang sebab stadionnya tak layak saja.

Dulu ketika menghentak Divisi Utama, Persekabpas asuhan Subangkit yang ditopang Zah Rahan Krangar memainkan pertandingan kandangnya di Stadion Wilis, Madiun. 

Sebabnya stadion merek di Pogar, Bangil masih belum layak. Malangnya ketika mereka sudah bisa berkandang di Pasuruan, prestasi Persekabpas justru terus anjlok.

Ketika Liga 1 2017 bergulir ada Persija dan Bhayangkara FC yang harus berbagi dengan Persipasi Bekasi dan Patriot Candrabhaga FC untuk bermain di Stadion Patriot, Bekasi. 

Gelora Bung Karno sedang dipugar menjelang Asian Games 2018 dan Bhayangkara baru pindah dari Jawa Timur. Menyusul kemudian ada Persiba yang mengungsi ke Malang menggunakan Stadion Gajahyana menunggu pembangunan Stadion Batakan selesai.

PSM dan Persik juga dipusingkan oleh masalah kandang. Stadion Andi Matalatta jauh dari kata layak dan memaksa PSM mendaftarkan Stadion Pakansari, Bogor sebagai kandangnya di kompetisi Piala AFC. 

Sedangkan Persik ketika itu pernah menjadikan Stadion Manahan, Solo sebagai pengganti Stadion Brawijaya yang dianggap tak memenuhi standar.

Kini sebab sistem bubble to bubble yang dipakai PT LIB untuk Liga 1 2021/22 akhirnya menjadikan seluruh klub peserta liga serasa tim musafir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun