Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Basket dan NBA yang Tak Lagi Melulu Amerika

8 Januari 2022   07:09 Diperbarui: 8 Januari 2022   07:12 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amerika Serikat boleh lah ditaruh sebagai salah-satu negara yang paling pede tentang supremasi olahraganya. Bukan tentang kegemaran mereka melibas emas demi emas di Olimpiade, tapi juga di betapa prestisiusnya mereka memoles kompetisi di negaranya. Mereka akan dengan jumawa akan selalu melabeli tim yang menang kompetisi di AS sebagai world champhion.

Klaim ini jelas valid di liga 'sepak bola' ala mereka sendiri yang tergabung di NFL. Belum berani mereka mencap New York City FC yang kemarin menggondol juara MLS musim ini sebagai juara dunia. Hal serupa juga mereka sematkan ke liga lainnya yaitu basket (NBA), baseball (MLB), dan hoki es (NHL) meski hoki es ini mereka berbagi kursi dengan Kanada.

Tapi di salah satu kuartet liga major mereka ini sekarang supremasi amerika sedang digerus oleh serbuan talenta asing, yaitu di NBA. Gelombang NBA yang mengglobal di era Jordan banyak membuat negara-negara luar AS makin banyak yang ikut bermain basket dan memburu kesempatan bermain di NBA.

Saya kira puncak tersungkurnya supremasi Amerika terjadi di musim NBA 2019. Tahun dimana para talenta dari luar negeri memenangi banyak awards penting NBA musim itu dan bahkan juaranya saja dari Kanada. Tim Toronto Raptors yang berkandang di Scotia Bank Arena mampu menuntaskan dinasti keemasan Golden State Warriors dengan skor 4-2 dalam skema final best of seven.

Tak ketinggalan Greek Freak Giannis Antetokounmpo yang sepanjang musim bermain trengginas bersama Milwaukee Bucks dianugerahi MVP. Giannis tak lain berkebangsaan Yunani sekaligus punya darah Nigeria dari orang tuanya yang bermigrasi ke Yunani demi penghidupan yang lebih layak. Lebih dulu memulai karirnya di Liga Basket semi-pro Yunani sebelum memutuskan mengejar draft di 2013.

Memang pada dasarnya sudah terasah di kompetisi yang keras, dari musim ke musim kontribusi Giannis terus meningkat. Padahal pada musim debutnya dia hanya mencatatkan rataan poin per pertandingan 6,8 dan hanya 23 kali turun sebagai starter.

Musim 2019 juga dipenuhi oleh para debutan potensial dari penjuru dunia. Tak mengherankan pula Rookie of the Year 2019 jatuh pada Luka Doncic, warga Slovenia yang juga punggawa jawara Liga Basket Spanyol sekaligus EuroLeague, Real Madrid Baloncesto.

Tak main-main memang ketika Doncic datang ia sudah membawa gelar mentereng sejak dari Real Madrid. Pada usianya yang masih belum genap 20 tahun dia sudah menyabet MVP EuroLeague, Final MVP EuroLeague, dan MVP Liga Spanyol. Sejak mentas dari rookie seasonnya Doncic juga rutin masuk seleksi All-Star.

Kemudian ada raksasa Prancis Rudy Gobert yang musim itu sukses mempertahankan pos Defensive Player of the Year. Memang center andalah Utah Jazz ini masih menjadi mesin rim protector yang ganas dengan blok-blok yang tanpa ampun. Belum lagi uletnya Gobert dalam beradu fisik demi bola rebound.

Kehebatan Gobert masih terus terjaga hingga musim lalu pun ia kembali mendapat DPOY dan jadi yang ketiga baginya. Ia sempat harus rela tahtanya lepas di musim 2019/20 yang tak lain diembat oleh Giannis untuk dikawinkan dengan MVP miliknya dan menyusul Jordan, Olajuwon, Robinson, dan Garnett.

Satu lagi gelar award NBA 2019 yang disabet warga asing adalah Most Improved Player. Adalah pemain Toronto Raptors kelahiran Kamerun, Pascal Siakam. Penghargaan ini dikhususkan bagi pemain yang dianggap paling berkembang dibanding musim sebelumnya dan memang lonjakan kontribusi Siakam di 2018/19 memang terbilang melesat dibanding musim sebelumnya yang hanya mencatatkan 6,9 ppg dan hanya 5 kali starter menjadi 16,9 dan 79 kali starter.

Sejak 2020 pula gelar MVP belum kembali lagi dimenangkan oleh warga amerika. Musim lalu Nikola Jokic menyabet MVP musim reguler dan Giannis yang mengantarkan Bucks juara di final tentu saja menggondol Final MVP. Tapi selain itu terdapat krisis lain yang mengintip, yaitu keringnya talenta ciamik amerika untuk posisi center.

Nikola Jokic (Serbia), Rudy Gobert (Prancis), Joel Embiid (Kamerun), hingga Deandre Ayton (Bahama) lebih dipilih timnya masing-masing untuk mengisi peran pemain no 5. Para warga lokal yang tersisa mungkin JaValee McGee, Dwight Howard, atau Deandre Jordan sudah diujung karir mereka. Mungkin nanti bakal ada tulisan sendiri tentang krisis para center bonafide ini.

Efek ini tak lain buah dari kebijakan NBA sendiri yang ingin basket dan kompetisinya semakin mengglobal. Tentu preseden baik tanda semakin populernya olahraga ciptaan Walter Naismith ini di seluruh dunia, tapi mungkin bagi para atlet lulusan NCAA (liga kampus) ini jadi tanda makin beratnya persaingan. Apalagi mayoritas para pemain impor itu datang dengan sudah ada pengalaman bermain di liga negara asalnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun