Memang hati rasanya remuk menonton Timnas Indonesia luluh lantak di hadapan tim gajah perang Thailand. Benar-benar tak berdaya diberondong empat gol tanpa balas dan membuat satu tangan Thailand sudah menggenggam trofi Piala AFF keenamnya. Orang awam seperti saya pun saat menonton dengan jelas melihat dominasi thailand atas Indonesia. Sebagian besar bola hanya bergulir di setengah lapangan area Indonesia.
Duel antar negara yang sama-sama disanksi badan anti-doping dunia kemarin bisa dibilang ajang pamer betapa sudah establish-nya sepak bola Thailand. Bermain umpan-umpan pendek dan jarang melakukan long pass, penguasaan mutlak lini tengah, hingga dominasi di tiap sisi, lengkap sudah dominan di semua aspek.
Tapi meskipun hati sudah ambyar, berkali-kali saya berdecak kagum dengan komandan lini tengah Thailand, ya tak lain Chanathip Songkrasin. Permainan cemerlangnya lah alasan Nadeo empat kali memungut bola dari gawang. Kedigdayaannya di babak kedua makin tak terbendung dan terbukti malah membuat Thailand tiga kali menambah keunggulan.
Punggawa Cansadole Sapporo ini bersama Supachok Sarachat terlibat di kesemua gol Thailand tadi malam. Pergerakan licin Chanathip menghasilkan dua gol dan sukses bikin lini pertahanan kocar-kacir. Sebenarnya taktik Shin Tae-Yong mirio ketika menghadapi Vietnam, sayangnya kehilangan Arhan berpengaruh besar. Sisi kiri diobrak-abrik Phillip Roller dan berujung gol cepat oleh Chanathip, disinilah bedanya dengan laga lawan Vietnam.
Thailand sukses mencuri gol cepat yang memaksa Indonesia mau tak mau mengusahakan gol balasan. Disinilah Chanathip semakin berperan besar untuk tak membiarkan lini tengah kawalan Irianto berhenti bekerja. Pergerakannya menyulitkan marking pemain-pemain bertahan Indonesia. Beberapa kali dia dan Supachok bisa mengeksploitasi celah-celah di lini belakang berakibat seringnya Bordhin Pala atau Roller mengancam di kedua sisi. Belum lagi Teerasil Dangda yang sering turun ke belakang membingungkan skema kawalan bek Indonesia.
Chanathip Songkrasin proved his worth in the first leg!
Can he turn on the style once again?#AFFSuzukiCup2020 | #RivalriesNeverDie | #AFFSuzukiCup pic.twitter.com/BhRh8Dd57v--- AFF Suzuki Cup (@affsuzukicup) December 26, 2021
Sebenarnya dengan postur yang tak terlalu tinggi, posisi gelandang serang, dan seorang kapten bagi saya Chanathip yang sekarang ini lah gambaran Evan Dimas yang kita dambakan sejak dia mentas di U-19. Menjadi sosok yang fasih menguasai lini tengah, umpan-umpan matang, dan hanya dribling seperlunya sebelum mengumpan ke kawan.
Ditambah sebenernya jika kita membaca Filanesia (filosofi sepak bola Indonesia) susunan PSSI, permainan Thailand lah kemarin contoh nyatanya. Disitu tertulis sepak bola Indonesia akan berfilosofi permainan bola pendek dengan pola segitiga dan diamond. Ditambah quick transition dan possesion serta pressing. Semua sudah ditunjukkan Thailand tadi malam.
Pada babak kedua akhirnya kita melihat Evan Dimas berduel dengan Chanathip untuk memperebutkan supremasi lini tengah. Sayangnya di pergantian yang mengorbankan Irianto itu Evan Dimas tak mampu mengusik kenyamanan Chanathip. Malah datangnya Evan Dimas tak menutup lubang yang ditinggal Irianto. Coba saja replay gol keempat milik Bordhin Pala, bentuk lini tengah kita sudah tak karuan.