Ingat sekali dulu Timnas U-19 generasi Evan Dimas memenangi adu penalti di final Piala AFF U-19 2013 di Sidoarjo. Sebagai negara yang kering akan prestasi, juara level junior saja sudah bikin gemuruh di tiap linimasa. Kemudian datang lah masa dimana mereka dijuluki Garuda Jaya dan diarak sana-sini atas nama apresiasi.
Tapi naasnya kini ketika harusnya mereka menjadi tulang punggung Timnas senior, hanya ada satu nama di skuad AFF 2020, tak lain hanya Evan Dimas seorang. Berbeda dengan lawan yang mereka kalahkan dulu di final, yaitu Vietnam yang kini memakai tujuh alumni AFF U-19 2013. Sungguh perbedaan dalam hal pengembangan yang berkelanjutan.
Sekarang Vietnam berkat keseriusannya sudah menjadi nomor satu di Asia Tenggara. Indonesia masih menjadi si besar yang masih tertidur, punya potensi tapi tak ada pergerakan berarti. Ketika sekarang mera segrup dengan Indonesia di Piala AFF 2020, tentunya mereka lah unggulannya.
Shin Tae-Yong kembali berpegang pada filosofinya yang mirip Mourinho untuk menghadapi Vietnam sekaligus adu gengsi lawan kompatriotnya asal Korea Selatan, Park Hang-Seo. Tak memainkan playmaker Evan Dimas sejak sepak mula dan lebih memilih untuk memainkan garis pertahanan begitu dalam. Agaknya target Indonesia adalah tak kalah dan bertaruh pada laga terakhir lawan Malaysia demi merebut tiket semifinal.
Berkaca pada pertemuan terakhir yang berujung pada pembantaian, wajar bila STY tak menarget kemenangan. Bola-bola pendek dan kolektifitas tim menjadi andalan Hang-Seo mengoyak pertahanan Timnas. Memperbaiki insting bertahan dan kedisiplinan menjadi faktor kunci laga kali ini. Hasilnya sesuai dengan keinginan STY, menghindari kekalahan.
Tak adanya Evan Dimas adalah pilihan STY serta juga masuknya dia di babak kedua. Tanpa Evan Dimas memang Indonesia merapatkan ruang antar lininya tapi berujung pada keringnya aliran bola di lini tengah, hanya ada 134 umpan dilepaskan pemain Indonesia berbanding 341 oleh Vietnam. STY pun kembali berjudi ketika Evan Dimas masuk di babak kedua, sense of defense miliknya jelas kalah dibanding Irianto. Ada kemungkinan adanya lubang akibat ditinggal Irianto.
Selama pertandingan Indonesia memang tak punya kesempatan berarti untuk menjebol gawang Trn Nguyn Mnh. Tapi tak berarti pula Nadeo Argawinata sepanjang laga harus berjibaku mementahkan bola. Meski mengurung pertahanan Indonesia, nyatanya Vietnam kesulitan masuk hingga kotak penalti Indonesia. Total 21 tembakan dilepaskan tapi hanya satu yang mengarah ke gawang. Wasteful Vietnam.
Duet Fachuddin Aryanto dan Rizky Ridho ditambah Dewangga yang rutin turun ke garis akhir membuat lini serang Vietnam melempem. Posisi pemuncak klasemen pun sukses dipertahankan dari terkaman Vietnam berkat keunggula selisih gol. Bola di tangan Indonesia yang besok lawan Malaysia hanya perlu hasil imbang kalau ingin lolos dari fase grup.
Sudah jelas memang mau bagaimana seorang STY akan memainkan racikannya. Indonesia harus menang lawan negara yang secara kualitas lebih lemah sambil tak boleh kalah ketika menantang musuh yang lebih establish. Tak ada yang salah dengan hal itu, sebagai negara yang tak pernah beres dalam mengembangkan talentanya tentu STY tahu dimana sekarang kualitas Indonesia.