"Owalah jancok..." itulah yang dulu saya lontarkan ketika Indonesia terkapar kalah oleh Malaysia di leg pertama final Piala AFF 2010.
Warga Indonesia sedang membusungkan dadanya menyambut kegemilangan Timnas Indonesia asuhan Alfred Riedl. Ya memang dibawah racikan mantan dua kali top skorer Liga Austria itu Indonesia begitu perkasa. Apalagi hype pemain naturalisasi sedang besar-besarnya sebab bergabungnya Cristian Gonzales dan ditambah pemain keturunan Belanda Irfan Bachdim.
Bahkan Malaysia yang akan dihadapi di final sudah pernah dilumat 5-1 di fase grup. Indonesia juga selalu menang sampai semifinal, bisa dibilang hampir tak ada alasan absah bagi Indonesia untuk kalah. Namun bencana itu akhirnya datang akibat angan jahil pemegang laser hijau.
Sebenarnya gangguan laser hijau sudah ditemukan sejak semifinal Malaysia vs Vietnam. Hasilnya memang Vietnam kalah di Bukit Jalil dan tak mampu mencetak sebiji gol pun di leg kedua. Meski Nurdin Halid kala itu mengancam akan walk out ketika diganggu laser, tak perlu sampai kick off sorotan laser sudah meneror Timnas Indonesia ketika sedang menyanyikan lagu kebangsaan.
Tak perlu menjadi detektif bermata tajam dan pandai berdeduksi untuk menemukan gangguan laser itu. Mata anak-anak saya kala itu dengan mudahnya menemukan aksi culas itu. Tapi ancaman Nurdin Halid tak pernah terwujud, sampai turun minum Indonesia tak walk out. Meskipun Markus Horison sempat protes di awal pertandingan.
Sebenarnya laga sedang berjalan imbang sampai babak pertama usai, tak ada gol tercipta. Kubu Indonesia akhirnya muntab di menit 54, Alfred Riedl juga mengintruksikan anak buahnya untuk meninggalkan lapangan. Panpel pertandingan dan AFF pontang-panting menego pihak Indonesia untuk kembali melanjutkan pertandingan.
Ya memang dasarnya Indonesia sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai lobby dan negosiasi, pihak Indonesia berhasil dipersuasi untuk kembali bertanding. Namun sayangnya konsentrasi para pemain keburu sudah buyar. Indonesia hilangan tajinya di sisa pertandingan.
Melalui brace Safee Sali sang legenda Pelita Jaya dan Ashari Samsudin di sisa laga Malaysia menghabisi Indonesia di Bukit Jalil. Konsentrasi telah buyar di sisa laga dan hanyalah keajaiban setara mukjizat yang bisa membuat Indonesia membalikka keadaan di leg kedua. Kemudian sejarah sudah mencatat, meski Indonesia menang 2-1 di GBK defisit tiga gol tak bisa dibalikkan.
Bahkan sempat ada nada-nada sumir kalau hasil pertandingan sudah diatur oleh pihak-pihak tertentu. Hal yang masih buram dan sepertinya bakal selalu abu-abu sampai akhir zaman.
Sayang sekali kala itu, barisan pemain seperti Gonzales, Firman Utina, Ahmad Bustomi, M Ridwan, Hingga Okto Maniani rasa-rasa sudah sangat cukup untuk menggondol Piala AFF. Lagi-lagi Indonesia hanya menjadi runner-up seperti biasa, tapi hal yang lebih parah menanti persepakbolaan Indonesia setelah itu.
Persepakbolaan Indonesia mulai memasuki masa kelam setelah itu. Gonjang-ganjing PSSI Â mulai mengemuka dan terjadi pergantian tampuk kuasa ke Djohar Arifin Husin dan Alfred Riedl dipecat. Hal yang kelewat aneh karena dipecatnya Riedl tidak karena permainan buruknya, tapi hanya sebab Riedl dianggap tidak dikontrak PSSI tapi oleh salah satu petinggi PSSI.
Proses perkembangan sepak bola Indonesia seketika mandek dan Wilhemus "Wim" Rijsbergen tak secemerlang Riedl. Indonesia luluh lantak di kualifikasi Piala Dunia 2014 dan Piala AFC, bahkan Rijsbergen tidak bertahan lama di kursi kepala pelatih. Akhirnya dia digantikan caretaker Aji Santoso bahkan sebelum kualifikasi usai. Tim dan skema yang sudah dibangun Riedl pun seketika bubrah. Sorotan laser hijau seketika menjadi penanda masa kegelapan sepak bola Indonesia sampai bertahun-tahun berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H