Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Corinthian FC: Misionaris Sepak Bola

9 November 2021   07:15 Diperbarui: 9 November 2021   07:16 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Punggawa Corinthian  dengan seragam putih khas mereka (CJ Burnup via corinthian-casuals.com)

Socrates yang pindah ke Fiorentina demi bisa baca literatur Alberto Gramsci itu rela bertukar tim di turun minum demi menghormatinya. Pada 1988 sebuah klub amatir asal London melakukan tanding persahabatan dengan tim seremonial SC Corinthians XI. Tapi saking legendarisnya klub ini sampai-sampai selain Socrates, Wladmir dan Rivellino juga rela ikutan turun tanding.

Klub itu adalah Corinthian-Casuals FC yang punya sejarah panjang sebagai misionaris sepak bola. Laga bertajuk a father and son reunion itu berakhir dengan kemenangan SC Corinthian XI dengan gol tunggal dari Socrates sendiri. Seperti yang disinggung di atas, Socrates berganti sisi menjadi punggawa Corinthian-Casuals FC di babak kedua.

Sang filsuf Dr. Socrates (dok: corinthian-casuals.com)
Sang filsuf Dr. Socrates (dok: corinthian-casuals.com)

Spirit Sportivitas dan Fair Play

Alkisah di awal abad penghujung akhir abad 19 sampai awal abad 20 sepak bola masih belum seperti sekarang. Inggris saja masih dipenuhi oleh tim-tim amatir dan iklim sepak bola belum terbentuk di negara-negara lainnya. Bisa dibilang orang-orang Inggris lah yang paling bertanggung jawab menyebarluaskan sepak bola modern ini ke negara-negara lain.

Sering kali ada klub yang didirikan oleh para ekspatriat Inggris macam AC Milan atau para lulusan sekolah Inggris seperti Atheltic Bilbao. Tapi ada kalanya di kala itu klub-klub mengadakan tur ke negara atau benua lain untuk sekadar bertanding. Salah satunya yang paling terkenal adalah Corinthian.

Sudah sejak dahulu kala sebagai negara yang mengklaim tanah kelahhiran sepak bola modern, timnas Inggris menjadi samsak empuk negara lain. Ketika itu Inggris selalu kalah melawan tetangganya sendiri, Skotlandia. Hal yang membuat Nicolas L. Jackson mendirikan Corinthian di 1882.

Dia melihat mayoritas pemain Skotlandia memperkuat Queens Park. Mencoba meniru, membangun tim dengan kualitas pemain terbaik. Langsung saja Jackson mengumpulkan para pemain amatir paling bagus, paling atletis dengan asupan nutrisi terjaga untuk bergabung Corinthian.

Sebagai klub sepak bola amatir Corinthian punya pegangan ideologi yang menarik. Mereka mendeklarasikan sebagai klub amatir, tak akan bermain untuk kompetisi apapun yang menghadiahi uang bagi pemenangnya. Alhasil mereka hanya bermain dalam laga eksebisi atau charity, tapi tak berarti mereka tim lemah.

Ada yang bilang di masa jayanya Corinthian apabila mau ikut FA Cup niscaya mereka bakal sering juara. Mereka pernah menghabisi Blackburn 8-1 tak lama setelah Blackburn menang di final FA Cup 1884 dan pernah mengubur Bury 10-3 sehabis klub asal Manchester Raya itu juara di 1903. Tapi uang juara bukan lah tujuan utama Corinthian dibentuk, spirit mereka adalah menyebarluaskan nilai-nilai sportivitas dan fair play.

Akibat sengketa amatir dan profesional di awal abad 20, membuat Corinthian kesulitas mencari lawan tanding sebab larangan FA. Corinthian bersama Cambrigde dan Oxford berdiri di sisi Amateur Football Association. Akhirnya mereka memilih untuk mengadakan tur dunia sekaligus menyebarkan spirit yang mereka junjung.

Punggawa Corinthian  dengan seragam putih khas mereka (CJ Burnup via corinthian-casuals.com)
Punggawa Corinthian  dengan seragam putih khas mereka (CJ Burnup via corinthian-casuals.com)

Melanglang Buana

Ketika 1910 di Sao Paulo dan Brazil sepak bola masih sebagai simbol olahraganya kaum borjuis nan elit. Para pekerja hanya menonton saja sambil menelan ludah. Hal yang kemudian berubah ketika rombongan muhibah Corinthian datang demi bertanding melawan tim-tim terbaik negeri samba.

Mereka sudah mengalahkan Fluminense dan bahkan timnas Brazil sendiri ketika masih di Rio de Janeiro. Setelah itu bapak sepak bola Brazil, Chales Miller yang tak lain mantan punggawa Corinthian yang migrasi ke Brazil mengundang mereka ke wilayah Sao Paulo untuk eksebisi dengan tim lokal.

Kartu pos bergambar Corinthian sedang melawan VfB Leipzig saat tur eropa (dok: corinthian-casuals.com)
Kartu pos bergambar Corinthian sedang melawan VfB Leipzig saat tur eropa (dok: corinthian-casuals.com)

Suatu kebetulan di laga terakhir melawan Sao Paulo AC yang dimenangkan 8-2 ada lima sekawan pekerja kereta api yang ikut menonton. Mereka langsung terpukau dengan permainan Corinthian dan nilai-nilai yang dibawanya. 

Sepulang dari pertandingan mereka saling beradu impian dan argumen untuk mendirikan klub sepak bola merepresentasikan kaum pekerja dan menengah kebawah. Tahun itu juga mereka mantab mendirikan klub sendiri bernama, Sports Club Corinthians Paulista. Sesuai dengan nama klub misionaris sepak bola yang membangkitkan semangat mereka.

Selanjutnya sejarah sudah mencatat bagaimana perjalanan Corinthians Paulista. Menjadi salah satu klub tersukses di Brazil dan dua kali juara Piala Dunia Antar Klub (2000 & 2012). Hubungan antara Corinthian dan Corinthians Paulista terus harmonis, terakhir kali d 2015 mereka kembali diundang tanding persahabatan dalam rangka syukuran stadion barunya Corinthians Paulista.

Memang Corinthan hampir selalu menggulung lawan-lawannya di tiap tur. Apalagi di masa itu pengetahuan akan taktik dan teknik belum merata, tapi hal itu ta mengendurkan Corinthan menyebarkan spirit mereka. 

Ketika tur ke Austria-Hungaria di 1904 mereka terkesan atas semangat orang-orang Budapest, sampai-sampai Corinthan mendonasikan sebuah trofi perak sebagai hadiah kompetisi amatir lokal. Sampai tiga dekade selanjutnya kompetisi itu dikenal sebagai The Corinthian Cup.

Hal yang mirip mereka lakukan ketika tur Skandinavia. Saking terpukaunya dengan semangat di Swedia, lagi-lagi Corinthian mendonasikan trofi perak untuk perkembangan sepak bola lokal. Selama beberapa tahun kompetisi yang dinamai Corinthian Bowl itu menjadi puncak prestise sepak bola Swedia.

Kalah Oleh Zaman

Namun sayangnya Corinthian menjadi korban gilasan roda zaman. Rangkaian tur mereka harus terhambat akibat Perang Dunia dan banyak pemainnya yang harus masuk wajib militer. 

Dampaknya begitu terasa dan diperparah semakin populernya sepak bola profesional, Corinthian yang mengandalkan laga eksebisi semakin ditinggal penikmatnya. Mereka akhirnya ikut bermain di FA Cup pada 1923 meski tak pernah meraih kesuksesan.

Situasi semakin sulit ketika kandang mereka, The Crystal Palace dilalap api pada 1936 menjadikan mereka tim tanpa homebase. Sementara sisi amatir sepak bola semakin ditinggalkan membuat pendanaan semakin sulit. Corinthian akhirnya menyerah dan mengakhiri riwayatnya di 1939 dengan merger dengan Casuals FC. Mereka membentuk klub baru, Corinthian-Casuals FC.

Mereka pun menanggalkan jersey legendaris putihnya yang mana juga menginspirasi warna Real Madrid menjadi merah muda-cokelat khas Casuals FC. Kini Corinthian-Casuals FC hanyalah salah satu peserta Isthmian League yang merupakan level ketujuh dari piramida sepak bola Inggris. Setidaknya ada yang tertinggal dari spirit awal Corinthian, bermain dalam sisi amatir sepak bola.

Corinthian-Casuals melawan Hornchurch dalam lanjutan Isthmian League 2021/2022 (Stuart Tree/flickr/Corinthian-Casuals)
Corinthian-Casuals melawan Hornchurch dalam lanjutan Isthmian League 2021/2022 (Stuart Tree/flickr/Corinthian-Casuals)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun