Sebelum ini terahir kali trofi Thomas Cup berlabuh ke Indonesia adalah di tahun 2002. Ketika itu jangankan Jonatan Christie, Hendra Setiawan saja sebagai pemain paling senior belum menapaki karirnya sebagai pebulutangkis andalan Indonesia yang rutin berlaga di berbagai turnamen.Â
Bahkan tak sedikit fans bulutangkis masa kini yang sama sekali tak merakan hiruk pikuk kala itu, hal yang wajar untuk momen yang terjadi hampir 20 tahun yang lalu.
Berbeda dengan tahun ini yang Indonesia begitu perkasa atas Tiongkok, ketika itu Indonesia perlu memainkan full lima nomor. Sebagai tambahan juga rules of the game di 2002 jauh berbeda dengan 2021.Â
Peraturan sedang diotak-atik di tahun itu dengan mengenalkan sistem 5x7, poin diakhiri di angka 7 dan jumlah maksimal lima set. Jadi, minimal pertandingan akan berlangsung tiga set. Selain itu di sistem ini masih dikenal 'pindah bola', hanya pihak yang memulai service yang berhak mengorversi poin.
Malaysia bisa dibilang masih kuat-kuatnya, sejak 1990 masuk final empat kali dan juara sekali di 1992 mengalahkan Indonesia angkatan Alan Budikusuma dan Rexy Mainaky.Â
Setelah itu dalam empat edisi, Thomas Cup secara rutin integral dengan kiprah bulutangkis Indonesia. Final edisi 2002 jelas istimewa, Malaysia sebenarnya sudah dikalahkan di fase grup tapi ternyata mereka mampu menuntaskan perlawanan tuang rumah Tiongkok di semifinal.
Singkat kata alih-alih menuntaskan perlawan tim Malaya di tiga nomor awal, justru Indonesia dipaksa memainkan nomor kelima. Marleve Mainaky dan Taufik Hidayat justru tumbang dan nasib di tangan Hendrawan.Â
Tapi mental memanglah yang berbicara banyak, Hendrawan yang sudah dua kali ikutan Thomas Cup mulus-mulus saja mengkandaskan Roslin Hashim tiga set langsung. Setahun kemudian peraih perak Olimpiade 2000 ini mengakhiri karirnya sebagai penebas shuttlecock.
Sukses sebagai pemain, bertangan dingin sebagai pelatih
Mungkin bulutangkis sudah seperti menghela napas bagi Hendrawan. Sehabis pensiun dia menangani sektor tunggal putri di Pelatnas PBSI. Hasilnya adalah perunggu Olimpiade 2008 berhasil direbut oleh Maria Kristin setelah dahaga panjang sektor putri setelah era Susi Susanti.Â
Melihat tangan dingin Hendrawan, Rexy Mainaky yang kala itu menangani pelatnas Malaysia mengajaknya bergabung. Instan saja prestasi sektor putri kembali menukik selepas sempat sampai final Uber Cup.
Puncak kegemilangan Hendrawan sebagai pelatih dimulai setelah itu. Oleh Rexy, Hendrawan diberi kepercayaan untuk menggembleng talenta terbaik Malaysia, Lee Chong Wei. Di tangan Hendrawan LCW memantapkan dirinya dalam supremasi sektor tunggal putra.Â
Sepanjang karirnya LCW mampu menuntaskan 713 laga dengan kemenangan dan bergelimang 69 gelar selama karirnya. Setelah pensiunnya LCW, Hendrawan mengorbitkan rising star Lee Zii Jia yang baru-baru ini memenangkan All England dan menjadi tunggal nomor 1 Malaysia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H