Sudah sangat wajar apabila ada manga yang karena kepopulerannya kemudian diadaptasi ke media lain. Dalam hal ini bisa adaptasi animasi (anime) atau bisa juga menjadi live action. Beberapa manga malah sempat diangkat ke panggung teater, seperti Bleach yang pernah dipentaskan. Tapi seperti halnya wajarnya karya adaptasi, biasanya fans yang mengikuti sejak manga bakal mengeluhkan lunturnya aspek-aspek tertentu, terutama dari sisi artwork.
Para Potterhead saja pernah mencak-mencak sebab adaptasi seri Order of Phoenix banyak tak mencakup detil-detil penting. Hal yang dapat dimaklumi, mengingat Order of Phoenix adalah seri paling tebal dengan 766 halaman dalam 38 chapter dan harus dipadatkan kedalam satu film. Tapi hal yang berkebalikan biasanya terjadi di manga, banyak detil yang tak sempat digambar di edisi cetaknya atau off panel justru mendapat porsi tambahan. Di sisi artwork-nya memang biasanya para studio anime memanen kritikan.
Sebenarnya tak semua mangaka punya kecenderungan menggambar dengan goresan yang tak terkira detailnya. Coretan Oda-sensei di One Piece atau Aoyama Gosho di Detective Conan terbilang sederhana dan tak menemui kesulitan ketika dituangkan ke media audiovisual. Masalah baru datang ketika mengadaptasi karya dengan desain luar biasa detil dan padat, contohnya di salah satu panel Gantz karya Hiroya Oku ini.
Media gambar manga yang hitam putih juga tergolong tricky dalam pengadaptasian. Efek luar biasa gelap dan depresi di Berserk bakal mudah saja menguap ketika pengaturan pewarnaanya tak serius (dan itu sudah terjadi). Belum lagi kebanyakan manga dengan artwork super rumit ini bergenre shonen dengan banyak adegan baku hantam. Memproyeksikan gerakan dengan tanpa mengorbankan kualitas gambar sungguh pekerjaan tak mudah. Maka dari itu banyak studio menggunakan teknologi CGI demi memangkas waktu produksi.
Namun seringkali malah CGI ini lah biang kerok kebobrokan anime adaptasinya. Tak ada perumpamaan lebih sahih dibanding tindakan studio Millenpensee dan Gemba dalam adaptasi Berserk di 2016. Penggunaan CGI sukses menjadikan sosok Guts setara bahan candaan. Kalau yang belum lama ini tak lain adalah adaptasi Record of Ragnarok yang bahkan oleh sebagian fans disamakan dengan materi power point.
Berikut ini ada lima manga yang dirasa-rasa bakal menyulitkan dan mustahil sempurna ketika diadaptasi menjadi anime. Kesemuanya tak lain sebab saking mewahnya goresan tinta mengakanya. Ada diantaranya yang sudah mendapat adaptasi anime dan hasilnya memang mengecewakan.
- Otoyomegatari (A Bride's Story)
Tak seperti kebanyakan manga yang meletakkan Jepang sebagai setting ceritanya, Kaoru Mori mengambil padang stepa asia tengah sebagai arena bermainnya. Menceritakan kehidupan pengantin muda di suku sekitaran laut kaspia dan jalur sutra abad 19, Kaoru Mori berhasil memotret keindahan seni para penunggang kuda ini. Jika melihat satu panel ini saja, rasa-rasanya semua animator bakal menghela nafas dalam-dalam.
Bukan, ini bukan nama sinetron TV Korea Selatan. Vagabond bisa dibilang magnus opus-nya Takehiko Inoue, orang yang sama yang menelurkan Slam Dunk dan Real. Uniknya Vagabond ini juga adaptasi dari novel legendaris bernama Musashi, menceritakan kehidupan samurai ternama Miyamoto Musashi, tentu Vagabond bersimbah darah dan kematian. Sampai sekarang belum ada studio berani mengadaptasi pemenang Kodansha Manga Award dan Osamu Tezuka Cultural Prize ke dalam bentuk animasi.
Yusuke Murata memang gila. Jika anda telah berpuas dengan adaptasi animenya, terutama season 2, cobalah baca manganya dan muhasabah. Pria ini yang dulu menggambar Eyeshield 21 dengan artwork yang brilian. Versi asli ONP yang berupa webcomic jelas bukan manga yang sedap dipandang, malah lebih mirip coretan iseng anak sekolahan ketika bosan mendengar gurunya mengoceh. Berkat dirinya ONP mendapat tempat istimewa dalam dunia manga shonen.
- Kokou no Hito (Climber)
Kegelapan malam di ketinggian gunung bersalju. Ya begitulah Shinichi Sakamoto membangun sebuah cerita yang begitu dekat dengan pembacanya. Menarasikan tentang pemuda yang hobi naik gunung demi pemahaman arti kehidupan, Sakamoto mampu menyulap panel-panel Kokou no Hito seakan pameran lukisan. Jika serial ini bakal diadaptasi ke anime, jelas penggunaan CGI yang tak bijak akan meruntuhkan segala kedekatan pembaca dengan manga ini.
- Berserk
Membahas artwork manga jempolan jelas tak mungkin meninggalkan masterpiece peninggalan mendiang Kentaro Miura ini. Begitu intensif dan padat, setiap panel Berserk seakan dijejali oleh segenap imajinasi Miura tentang dunia fantasi yang dipenuhi kegelapan. Sayang sekali dua kali adaptasi anime, dua kali pula berakhir kurang maksimal, terutama di adaptasi 2016. Tak perlu banyak kata-kata, gambar di bawah ini sudah cukup menjelaskan kenapa kedigdayaan Berserk hampir mustahil direplikasi.
List ini bisa saja dipanjangkan lagi bila memertimbangkan nama-nama macam Gantz, Record of Ragnarok, atau Uzumaki. Ya mungkin memang membiarkan karya-karya agung tersebut dalam bentuk terbaiknya, yaitu manga adalah tindakan terbaik untuk menikmatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H