Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dibanding Back-pass, Aturan Gol Tandang Tak Ada Apa-Apanya

27 Juni 2021   13:01 Diperbarui: 27 Juni 2021   13:33 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banyak yang bilang aturan back-pass diubah gara-gara Schmeichel. Hal yang non-sense. (Getty images)

Sudah sejak 24 Juni lalu UEFA sebagai badan tertinggi sepak bola Eropa mengetok palu penghapusan peraturan gol tandang di semua kompetisi yang berjalan di naungannya. Secara efektif keputusan ini berlaku mulai musim depan.

UEFA mengharap permainan lebih impresif semenjak dihapuskannya aturan gol tandang. Banyak pro dan kontra mengenai hal ini dan tidak dipungkiri berkat aturan gol tandang kita dapat mendapat momen magis macam La Remontada yang diagung-agungkan pendukung Barcelona pun pula ketika Barcelona sendiri gigit jari beberapa musim kemudian oleh skema mirip oleh AS Roma.

UEFA kali ini berlindung dibalik alasan supaya permainan lebih menyerang sebab biasanya tim dengan keunggulan gol tandang di leg kedua bakal main bertahan mati-matian. Hal yang juga dirasa kurang adil ketika di masa pandemi ini banyak klub yang tidak bermain di kandangnya sendiri akibat aturan covid.

Dulu aturan ini digunakan untuk mengakomodir susahnya transportasi di masa lalu dimana bermain antar negara sungguh melelahkan, sebab usaha yang lebih itu gol tandang seolah bernilai ganda.

Ini adalah kesekian kalinya federasi penyelenggara turnamen menginisiasi perubahan untuk mengakomodir taktik menyerang. Situasi ini kembali mengingatkan kita ketika sepak bola bertahan menjadi primadona di awal dekade 1990.

Piala Dunia 1990 bahkan dicap sebagai helatan piala dunia paling 'negatif' setelah minimnya gol tercipta, rataan gol hanya 2.2 pertandingan. Argentina saja mampu menembus final hanya dengan mencetak lima gol dari enam kali main.

Pada masa itu mereka memanfaatkan celah berupa back-pass. Tim dihalalkan mengoper ke belakang sampai ditangkap oleh kiper. Hal ini berkembang menjadi suatu protokol bagi kesebelasan yang unggul untuk mengoper ke kiper dan ditangkap sebagai cara mengulur waktu.

Bola dari kiper akan diumpan pendek-pendek saja ke defender, kemudian diumpan balik ke kiper, kiper menangkap bola, sedikit memantul-mantulkan bola, mengoper lagi ke bek dan prosedur berulang.

Sungguh bagaimana bosannya penonton melihat hal semacam itu. Jonathan Wilson pernah menuliskan dalam pertandingan grup antara Irlandia dan Mesir, penjaga gawang Irlandia, Packie Bonner membawa bola di tangannya selama hampir enam menit tanpa melepaskannya.

Bukan hal aneh di jamannya, termasuk kejayaan Liverpool di kancah eropa pada dekade 1970an dan 1980an. Pemain bertahan bakal menaruh opsi mengoper ke penjaga gawang sebagai pilihan paling aman, meski ada beberapa berakhir petaka seperti yang dilakukan Lee Dixon pada Seaman di Liga Inggris 1991.

Pengaruh buruk back-pass pada sepak bola menyerang belum luntur di EURO 1992., bahkan bisa dibilang memburuk. Denmark benar-benar mengeksploitasi habis-habisan aturan back-pass di EURO 1992.

Sebagai tim yang lolos sebab menggantikan Yugoslavia yang sedang perang, Denmark berhasil meraih gelar juara dengan mengalahkan Jerman yang baru saja juara dunia di partai puncak.

Adalah Peter Schmeichel, penjaga gawang Manchester United yang membawa back-pass sebagai bagian integral Denmark 1992. Kesuksesan Denmark banyak dibicarakan bak cerita dongeng, tapi di kesempatan lain dicibir sebab taktik anti-footballnya.


IFAB sebagai badan tertinggi yang menentukan aturan main sepak bola sebenarnya sudah bergerak sejak 1990, namun kajiannya lamban. Agaknya kecerdikan Schmeichel sepanjang EURO sudah melecut IFAB dan FIFA segera mensahkan aturan baru back-pass seusai gelaran EURO 1992.

"Kiper memiliki hak istimewa yang langka dalam sepak bola, penggunaan tangannya untuk menjaga gawangnya tidak kebobolan, yang sebenarnya tidak mungkin. Tapi tak seharusnya  hak istimewa itu disalahgunakan." Tulis rilis FIFA.

Semenjak itulah dunia sepak bola menjadi benar-benar berbeda, setidaknya setelah aturan offside diperkenalkan. Sepak bola jadi jauh lebih menyerang dan efek instan langsung terilhat pada gelaran liga domestik. Jumlah gol meroket tajam, Liga Inggris yang baru rebranding sebagai Premier League menorehkan 46 gol lebih banyak daripada musim sebelum aturan back-pass diterapkan, Liga Italia bahkan 163 gol lebih banyak, Spanyol 41 gol, dan Perancis 92 gol. Hasil yang diharapkan pihak-pihak yang menghendaki perubahan aturan.

Namun bagi penjaga gawang aturan baru back-pass tak ubahnya bencana di awal-awal penerapannya. Kebanyakan kiper jaman itu tak dilengkapi skillset seorang pemain bola pada umumnya.

Tugasnya hanya menepis atau menangkap bola dan diselingi menendang drop kick atau tendangan gawang serta melempar bola tangkapannya ke pemain bertahan. Strategi mengoper ke kiper semakin jarang dilakukan sebab lemahnya kemampuan kiper menguasai bola.

Jauh kedepan aturan back-pass ini menghasilkan role baru bagi penjaga gawang berupa sweeper-keeper. Kiper semakin dituntut mampu menggunakan kakinya untuk ikut berkontribusi dalam membangun serangan. Naiknya pamor Manuel Neuer di Piala Dunia 2014 semakin menahbiskan tren baru ini.

Kiper yang berani keluar kandangnya dan piawai mengirimkan bola-bola ke rekannya. Turut campurnya Pep Guardiola semakin menjadikan sweeper-keeper adalah real deal bagi tim, sampai-sampai ia mendepak Joe Hart dari tim utama sebab ketidaknyamanan Hart memainkan bola di kakinya.

Neuer adalah kiblat bagi kiper modern. (AFP/Gabriel Boys)
Neuer adalah kiblat bagi kiper modern. (AFP/Gabriel Boys)
Penghapusan aturan gol tandang mungkin tak akan menghasilkan revolusi taktik seperti back-pass atau offside. Kita hanya akan disuguhkan kedua tim tidak akan segan-segan saling serang sepanjang laga.

Akan aneh juga kan jika kejadian AC Milan vs Inter Milan semifinal UCL 2002/2003. Dimana AC Milan lolos setelah unggul 'gol tandang' pada agregat 1-1, padahal keduanya memiliki homebase yang sama. Esensi awal dari dibuatnya aturan gol tandang jadi percuma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun