Pele dan Maradona adalah dua mentari sepak bola di abad 20. Pele meliuk bersama Brazil dan Maradona menyihir publik dengan kaki dan tangannya. Saking berharganya Pele, sampai-sampai rezim presiden Janio Quadros mendekritkan dirinya sebagai harta nasional Brazil yang otomastis menganulir kesempatan Pele berkarir di luar negeri pada masa primanya. Hal ini yang bikin Pele tak seberuntung rekan-rekannya seperti Vava yang sempat di Atletico Madrid dan Didi ke Real Madrid. Keputusan sarat politik tersebut juga menjadi salah satu what if besar dalam perbincangan sepak bola.
Sedangkan Maradona adalah cahaya Tuhan itu sendiri. Kisah-kisah semakin lama semakin berbumbu pujian sana-sini. Jurnalis sepak bola kawakan Yusuf 'Dalipin' Arifin pernah berujar dalam suatu kesempatan kurang lebih seperti ini, memenangkan kejuaraan harus memiliki kolektivitas tim yang ciamik atau tim itu memiliki Maradona. Pelatih kepala timnas Argentina ketika Piala Dunia 1986, Carlos Bilardo tak ambil pusing menempatkan Maradona pada posisi dan role apa. Dibiarkan saja Maradona menari di lapangan, mementaskan pertunjukannya, rekan-rekannya cukup memberikan support saja agar pertunjukan Maradona tak dicoreng kekalahan.
Namun mereka berada pada era yang berbeda. Pele mengakhiri karir kejuaraan internasionalnya pada Piala Dunia 1970, sedangkan Maradona baru memulai perjalanannya pada debut di Argentinos Juniors pada 1976. Ada kekosongan pada dekade 1970an diantara dua era besar itu dan diisi oleh salah satu rivalitas paling epik dalam sejarah, antara Raja dan Kaisar, antara Johan Cruyff dan Franz Beckenbauer. Kisah tentang satu titik kosong yang membuat karir gemerlap Cruyff tak pernah sempurna.
Gelaran akbar Piala Dunia 1974 diadakan di tanah Jerman, wa bil khusus Jerman Barat. Setelah peristiwa Das Wunder von Bern pada 1954, praktis Jerman tak pernah lagi merajai Piala Dunia. Generasi emas Brazil era Pele merajai 3 dari 4 gelaran selanjutnya. Kampanye terbaik mereka hanyalah runner-up gelaran 1996 yang dibumbui gol kontroversial Geoff Hurst yang diklaim belum melewati garis gawang. Sedangkan unggulan teratas sudah pasti milik pasukan orange Belanda.
Cruyff sedang menikmati puncak kejayaan karirnya sebagai pemain sepak bola. Sebelumnya ia sudah mengemas hattrick juara Piala Champions bersama Ajax Amsterdam. Pada 1974 dia yang baru saja pindah ke Barcelona langsung memberi efek instan juara La Liga pertama setalah 14 tahun lamanya Barcelona tak pernah juara liga dan untuk ketiga kalinya ia menyabet Ballon d'Or. Gaya main Total Football yang ofensif menjadi primadona pada masa itu dan Cruyff adalah poros intinya. Terlebih pelatihnya di Barcelona, Rinus Michels juga menangangi Timnas Belanda di Piala Dunia 1974.
Ini adalah kali pertama FIFA mengenalkan trofi terbarunya setelah trofi Jules Rimet secara permanen dimiliki oleh Brazil. Jelas Belanda-nya Cruyff lebih megah dibanding Jerman. Selain Cruyff masih ada nama Johan Neeskens dan Johnny Rep yang juga membahayakan lini belakang musuh-musuhnya. Ada nama van de Kerkhoff, Rensenbrink, dan Wilhelmus 'Wim' Rijsbergen yang pernah dalam waktu singkat menangani Timnas Indonesia di masa mendatang.
Belanda melaju ke final dengan catatan mentereng. Tak pernah kalah dalam dua kali fase grup, menceploskan 11 gol dan hanya sekali kebobolan, itu pun gol bunuh diri Ruud Krol ketika lawan Bulgaria. Jerman yang waktu itu masih Jerman Barat malah sempat kalah dengan saudara timurnya di fase grup pertama. Meski skuad Jerman juga mumpuni, ada Sepp Maier, Uli Hoeness dan Gerd Muller yang pada tahun itu baru saja juara Piala Champions bersama Bayern Munich. Bahkan Jerman datang sebagai juara bertahan Euro 1972. Tapi, semua orang masih menganggap Belanda lebih unggul.
Seperti pada tulisan sebelumnya, orang-orang Jerman itu laksana mesin. Pun ketika bertanding, performa mereka akan semakin baik ketika mesin sudah panas. Itulah yang terjadi, setelah gol terjadi bukannya berusaha memperlebar kedudukan malah kesebelasan Belanda 'bermain-main' dengan bola. Hanya mengoper kesana-sini tanpa tujuan seolah mengejek Jerman. Hasilnya jelas Jerman semakin panas dan terpacu membalas. Puncaknya pada menit 25, setelah Holzenbein dilanggar di kotak penalti dan eksekusi Breitner berjalan sukses.
Belanda yang kaget atas kebangkitan Jerman tak lagi diberi nafas oleh orkestrasi pertahanan solid Beckenbauer sang Libero. Alih-alih kembali unggul, liukan Die Bomber Gerd Muller membawa Jerman berbalik unggul di menit 43 setelah mencocor bola umpan Bonhof. Ini adalah gol internasional terakhir Muller, sebab pensiun seusai turnamen. Tak ada tambahan di papan skor sampai peluit panjang, Muller sempat mencetak gol pada menit 85 yang kemudian dianulir wasit. Total Football dan Cruyff tak berdaya dibekap Die Kaiser Franz Beckenbauer.
"Pada akhirnya, tidak ada yang bisa kami lakukan mengenai gol Mller yang membuat kedudukan menjadi 1-2 itu," Cruyff dalam otobiografinya.