Setiap negara pasti punya suatu masa dimana mereka menganggapnya sebagai puncak hagemoninya dan selalu dituturkan dengan berbagai bumbu kebanggaan. Bagi persepakbolaan bangsa Hungaria mereka menganggap pertengahan abad 20 adalah puncak hagemoni mereka.Â
Nama-nama Ferenc Pusks, Sndor Kocsis, hingga Nndor Hidegkuti akan selalu harum di langit jagat sepak bola Hongaria.Â
Mighty Magyars, the Magical Magyars, the Magnificent Magyars, the Marvellous Magyars dan Golden Team itulah berbagai julukan mereka. Sekelompok punggawa tim nasional Hungaria besutan pelatih legendaris Gusztv Sebes.
Mereka menyengat semua tim power house sepak bola eropa. Pada gelaran Olimpiade 1952 di Finlandia, Hidegkuti dan rekan-rekan menggondol medali emas mengangkangi negara-negara besar dan menjungkalkan Yugoslavia yang sedang garang-garangnya.Â
Sebes membuang taktik WM yang lumrah dipakai di masa itu dengan perombakan besar dan menelurkan versi sangat awal yang nantinya digubah oleh Rinus Michels sebagai Total Football di Belanda.Â
Sebes menggunakan bentuk formasi 4-2-4 yang kemudian berkembang jadi 2-3-3-2 untuk mengakomodir ofensivitas pemain-pemainnya.
Sebes menyulap Pusks dan Kocsis sebagai mesin haus gol. Sebes juga mendorong semua pemain outfield menjadi setara seperti pada kutipan Pusks, "When we attacked, everyone attacked, and in defence it was the same".Â
Hungaria seperti mengajari dunia bagaimana memainkan sepak bola secara lebih baik.
Dalam hikayat sepak bola, tak ada yang lebih angkuh dibanding Inggris sendiri. Negara yang mendaku sebagai tempat kelahiran sepak bola ini malah baru mau ikut Piala Dunia (yang gagasan Rimet yang orang Prancis) pada 1950.Â
Inggris dengan jemawa mengundang Hungaria untuk laga persabahatan di Wembley pada 1953, mereka tak pernah kalah lawan tim luar Britania di Wembley.Â
Disitulah dimana laga yang kemudian dikenal sebagai match of century kesebelasan Inggris 'diajari' bermain sepak bola oleh Hungaria. Kalah 3-6 jelas memalukan.Â
Hidegkuti sampai mencetak hattrick ke gawang Bill Merrick. Apakah publik Inggris terima saja negaranya diayam-ayamin?. Jelas tidak, mereka menuntut tanding balasan ke Budapest tahun depannya.
Dua kali hujaman ke pride of nation orang-orang Inggris, ternyata klaim sebagai negara tempat lahirnya sepak bola tidak ada apa-apanya di mata orang Hungaria.Â
Hasilnya The FA muhasabah diri dan sadar bahwa Inggris bukan negara kuat dan mulai mengadaptasi taktik yang berkembang di luar Inggris dan ujungnya meraih juara dunia pada 1966.
Namun akhirnya Hungaria tak pernah menjuarai piala dunia. Peluang terbaik mereka adalah pada 1954 ketika menembus final.
Tapi Jerman membuyarkan pesta rakyat Hungaria, mereka mengkandaskan asuhan Sebes 3-2 di final lewat sebuah laga yang dibumbui beberapa kejadian kontroversial.Â
Sebes pun dipecat sebagai pelatih karena konsekuensi gagalnya Hungaria meraih juara piala dunia. Sepeninggal Sebes ternyata ada nama Bela Guttman yang sebelumnya mengabdi sebagai asistennya di Timnas.
Nama Guttmann ini malah lebih terkenal dibanding Sebes. Sosok sarat kontroversi dan prestasi ini bahkan juga terkenal sebab 'Kutukan 100 Tahun' yang ia lontarkan kepada Benfica dan langgeng hingga sekarang sejak 1962.Â
Terhitung sudah delapan final kejuaraan eropa yang dilalui Benfica dan semua berujung kekalahan, Eusebio sempat menangis di pusara Guttmann di Vienna memohon kutukannya diangkat, namun sepertinya Guttmann di alam baka masih tak bergeming.
Hungaria memang simpul awal bagi perkembangan taktikal sepakbola kedepannya. Guttmann dengan racikan 4-2-4 nantinya menginspirasi generasi emas Brazil yang mengangkat piala Jules Rimet pada 1958.Â
Sayangnya sepak bola Hongaria tak pernah lagi mencapai level hegemoni Mighty Magyars sampai sekarang. Semua kemunduran itu dimulai ketika Revolusi 1956 bergejolak di Hungaria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H