Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Gus Mus dari Pintu Sastrawi

10 Juni 2021   05:45 Diperbarui: 10 Juni 2021   05:50 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus atau yang pernah dikenal sebagai M. Ustov Abi Sri sebagai nama pena bebarapa karyanya adalah kiai cum sastrawan. Hal yang semakin jarang di zaman kiwari ini. 

Ketika makna ulama atau kiai tereduksi menjadi juru ceramah atau orator agama. Padahal bukan hal yang jarang pada zaman salafus shalih seorang ulama menggemari berbagai cabang ilmu. 

Seperti halnya Imam Syafii yang meski terkenal sebagai pendiri mazhab fiqih, beliau punya kitab yang berisi syair-syair buatannya sendiri bernama Diwan As-Syafii.

Bukan tanpa alasan Imam Syafii menuangkan kelihainnya bersyair menjadi kiab tersendiri. Syair menjadi medium bagi Imam Syafii menyebarkan kalam-kalam hikmatnya, bahkan kitab 'antololgi' syair ini sudah ada kitab syarah (penjelasan) sendiri yang disusun Syaikh Muhammad Ibrahim Salim. 

Gus Mus pun sepertinya mengikuti jejak Imam Syafii. Selain rutinitasnya mengaji kitab-kitab salaf bersama santri, undangan ceramah yang menurut beliau sendiri faedahnya sedikit, Gus Mus menulis banyak karya sastra dalam bentuk puisi maupun prosa, bahkan lukisan.

Penulis meski dibesarkan di lingkungan pesantren, pertama kali 'mengenal' Gus Mus melalui karya cerpennya yang monumental itu, Gus Jakfar. Terpukau dan sendari situ lebih mengenali beliau dan terus dari jalur sastrawinya. 

Cerpen Gus Jakfar dengan lihai menguliti aspek-aspek mistisme khas pesantren tapi dengan mudah dilahap masyarakat awam yang mungkin sanksi akan kelakuan tokoh 'Gus Jakfar' itu sendiri sepanjang jalannya cerita. Banyak orang pintar tapi tak sebanyak orang yang pintar menyederhakan isi pikirannya ke orang lain.

Dalam cerpennya yang lain, Ngelmu Sigar Raga. Lagi-lagi Gus Mus membuat penulis terpukau dengan kelihainnya membedah mistisme agama dengan pisau sastrawi. Dibalut plot cerita yang tak tertebak dan kritik sosial yang sudah digeluti Gus Mus sejak tahun 1980an. 

Dalam cerita tersebut, bukan hanya pembaca yang terlupa akan Sigar Raga tokoh 'Aku' hasil tabarukan ke Mbah Joned, tapi bahkan si tokoh 'Aku' juga lupa akan ilmu dan amalan lamanya itu. 'Aku' sudah terbuai akan dunia.


Lain lagi ketika menyelami karya beliau yang lebih baru, yaitu Nyai Sobir (Kompas, 2011). Disitu Gus Mus bukan membedah mistisme seperti di dua karya diatas, tapi dilema yang sudah sangat sering dirasakan kaum yang menjanda. 

Tokoh janda Kiai Sobir dihadapkan dengan kegundahan hati setelah ditinggal mati oleh suaminya yang merupakan sesepuh besar di daerahnya dan mengayomi ribuan santri dan warga. 

Sebagai istri muda yang terpaut umur jauh dan dipersunting sepeninggal istrinya yang lama, kematian Kiai Sobir sontak membuat tokoh Nyai disini mendadak digerus kesepian.

Gus Mus dengan apik menyampaikan isi hati seorang janda tokoh besar. Dimana ia sehari-hari hidup dalam bayang-bayang suaminya dan menyokong kesibukannya mulai sekadar menyiap kudapan hingga mengatur jadwal sehari-hari. 

Gus Mus menarasikan perubahan suasana ketika tokoh si janda ini kesepian ditengah hiruk-pikuk peziarah dan serangkaian tahlilan menjadi mulai menarik perhatian orang-orang untuk dipersunting, sekaligus menyuarakan dirinya yang masih menambatkan hatinya untuk almarhum Kiai Sobir dan alih-alih mencari suami baru, lebih memilih merawat warisan pesantren Kiai Sobir.

Mundur jauh ke belakang pada akhir dekade 1980an, Gus Mus pernah merilis karya puisinya yang sampai sekarang masih langgeng dan relevan 'Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana'. 

Lagi-lagi dengan lihai Gus Mus yang berbekal diksi-diksi sederhana dan pengulangan kata-kata, membangun sebuah puisi yang solid sebagai kritik pada penguasa. 

Memotret keadaan pada waktu itu dimana segala hal ditentukan oleh 'ketua dari segala ketua' yang seringkali dipertanyakan masyarakat bawah yang juga tak berani bertanya.

Dalam puisi beliau yang lain, 'Aku Menyayangimu Karena Kau Manusia' Gus Mus dengan indah menjelaskan kemanusiaan. Syair yang kemudian beken karena dinyanyikan oleh Iwan Fals ini menentang, mengutuk, dan melawan sekaligus menyayangi orang dalam satu bingkai, sebagai manusia. 

Disini secara intriksik menyampaikan pentingnya berbagai kritik kepada manusia lain karena mereka masih manusia, bukan Tuhan. Menyayangi bukan sekadar memuja, karena bisa membuatnya bukan lagi 'manusia'.


Sedangkan di dimensi karyanya yang lain, Gus Mus menjelma menjadi pelukis. Beliau pernah membuat lukisan kontroversial berjudul "Berdzikir Bersama Inul" yang mana menggambarkan orang-orang bersorban, berpeci, dan sarungan sedang melingkar seperti sedang berzikir dan menghadap seorang penari di tengahnya. 

Sontak panitia Pekan Muharram 1424 H di Masjid Agung Al Akbar tempat dipamerkannya lukisan mendapat ancaman untuk segera menurunkan lukisan dari sebuah kelompok pemuda islam dan mengancam akan membakar masjid.

Melalui lukisan itu Gus Mus menyampaikan tentang hakikat zikir yang meurut beliau masih banyak yang hanya sebatas 'daging' saja dan lupa akan jiwa. Hal ini adalah cerminan dimana banyaknya pejabat-pejabat yang tertangkap korupsi meski sudah haji, berarti hajinya masih sebatas daging saja. Bahkan dalam menyikapi sebuah lukisan saja, orang-orang juga ada yang lebih memakai dagingnya dibanding jiwanya.

Gus Mus dan Berzikir Bersama Inul. dok:Brilionet
Gus Mus dan Berzikir Bersama Inul. dok:Brilionet
Mungkin kesederhanaan Gus Mus dalam karya-karyanya adalah kekuatan tersendiri. Gus Mus tidak sedang ndakik-ndakik, hanya sekadar menuangkan apa yang dilihat dan dialaminya ke dalam karyanya. 

Dalam Gus Jakfar dan Ngelmu Sigar Raga terlihat jelas Gus Mus memperlihatkan kejadian-kejadian disitu di sekitarnya yang akar rumput masih lumrah. Ketika lukisan kontroversialnya naik pun, sedang gencar-gencarnya pencekalan Inul dimana-mana, Gus Mus pun menuangkan keresahannya lewat lukisan.

Tak heran memang Gus Mus pernah dijuluki satu rumah dengan ribuan pintu. Orang dapat memasuki pintu Gus Mus sebagai kiai pesantren, Gus Mus sebagai ahli fiqih, Gus Mus sebagai pengurus NU, Gus Mus sebagai pelukis, atau bahkan Gus Mus sebagai mantan poltisi praktis. Tapi saya sudah nyaman mengenal Gus Mus lewat pintu sastranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun