Jakarta bagai gargantua diantara kota-kota lainnya di Indonesia ukurannya saja hampir dua kali Surabaya sebagai kota terbesar kedua. Belum lagi jika ditambah area megapolitan Jabodetabek. Pantas lah Jakarta harus punya sistem transportasi masal untuk menunjang mobilitas orang-orangnya. Tapi melihat Jakarta begitu glamor dengan transportasi berbasis rel maupun yang tidak, kondisi Surabaya sanga jauh panggang dari api bila mendamba transportasi masal penyangga mobilitasnya.
Ketika Jakarta sudah mulai ajeg dengan pakem kereta rel listriknya, jaringan MRT, lintasan LRT, dan koridor-koridor busway Transjakartanya, Surabaya masih mentok sampai di maket dan model hasil renderan software 3D.Â
Warga Surabaya tentu sangat mengidamkan transportasi masal, terutama yang berbasil rel dan terpadu. Keberhasilan dihubungkannya Yogyakarta dan Solo melalui KRL sudah tentu semakin melecutkan rasa penasaran warga Surabaya. Ditambah Solo yang sudah punya angkutan kereta bandara yang terpadu dan Yogyakarta sudah dalam proses pembangunan jalur baru untuk menyokong KA bandara barunya
Mentok Surabaya hanya dimanjakan oleh serangkaian KRD dan kereta-kereta lokalan macam KRD SuSi-SuLam atau KRD Krian-Indro. Bukannya tak mau, pemkot Surabaya sendiri sudah seringkali punya rencana angkutan berbasis rel ini.Â
Mulai dari MRT, KRL, LRT, bahkan baru-baru ini disebutkan pemkot bakal membuat ART (Autonomous Rail Rapid Transit) yang berbeda dengan nama-nama sebelumnya, ART tidak berjalan diatas rel besi, tapi mirip bus gandeng yang perawakannya seperti trem yang secara otomatis dan mengikti alur garis diatas jalan biasa.
Seperti yang pernah dilontarkan oleh salah satu pengelola akun @tfsurabaya yang berfokus pada peningkatan awareness warga Surabaya raya akan pentingnya transportasi umum, rencana-rencana pemkot lebih didasari oleh estetika bukan fungsionalitas. Kenapa tidak memanfaatkan saja dulu jalur eksiting kereta api yang ada selagi dicicil integrasi dengan moda lainnya. Angkot misalnya, kondisi angkot semakin menurun bisa saja diselamatkan dengan terpadunya angkot dengan angkutan lainnya semisal KRL.
Setiap saya melewati jalan A. Yani ketika sore dan puncak-puncaknya orang pulang kerja dan kuliah, saya selalu membayangkan betapa nyamannya bila sebenarnya saya naik KRL komuter di jalur kereta sebelahnya sambil cuma memandangi kendaraan di A. Yani yang penuh sesak. Selain membayangkan menaiki KRL, miris juga meliat sederetan halte macam Jemursari dan Kertomenanggal yang hanya jadi monumen, komuter Surabaya-Bangil pun tidak sudi menaikturunkan penumpangnya disitu.
Surabaya boleh berbanga dengan serentetan penghargaan dan tamannya. Tapi mengenai transportasi publik dan masal, Surabaya sejauh ini hanya mampu mengubah rencana menjadi wacana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H