Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (MU) sangat mudah disebut sebagai dua jam'iyah islam terbesar di Indonesia. Sudah hal mudah kedua organisasi tersebut sering bersinggungan di berbagai arena.Â
Bukannya mencari perbedaan, namun buat apa ada dua organisasi bila isi, fungsi, dan misi yang sama. Sudah sejak zaman baheula NU diidentikkan kaum sarungan penghuni sudut-sudut desa yang komunal, sedangkan MU selalu diibaratkan orang-orang intelektual kota dengan ghiroh beroragnisasinya.
Banyak arena dimana tak jarang NU dan Muhammadiyah saling berbeda pendapat dan bersaing dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Mulai dari panggung fiqih syariat, kajian sosial, pemberdayaan ekonomi, hingga panggung politik person-personnya.
Para ulama yang menjadi otak pengarah kedua orgaisasi ini tak perlu diragukan lagi tingkat intelektualitasnya. Namun semenjak belakangan ini ada arena baru tapi lama yang mulai merangkak naik sebagai sarana fastabiqul khairat, yaitu olahraga khususnya sepak bola.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, PSSI sebagai induk federasi sepak bola bagi kaum bumiputera lahir di Yogyakarta dibidani Soeratin Soesrosoegondo. Banyak disebut-sebut Soeratin sendiri adalah penggiat Muhammadiyah, hal yang maklum sebab Yogyakarta adalah 'kandang' bagi gerakan Muhammadiyah.
Bendahara pertama PSSI, Abdul Hamid bahkan waktu itu juga menjabat sebagai pengurus di PP Muhammadiyah. Pada kesempatan lainnya Abdul Hamid tercatat sebagai pendiri PSIM dan pernah menjabat sebagai ketua umum.
Dalam urusan sepak bola Muhammadiyah punya underbow andalannya, yaitu Hizbul Wathan (HW) juga identik dengan kepanduannya. Tak hanya di Yogyakarta, PS Hizbul Wathan juga dibangun di cabang-cabang Muhammadiyah lainnya.Â
Untuk PS HW Yogyakarta pengelolaan dilimpahkan ke Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan menjadi PS HW UMY. Mereka menjadi salah satu peserta Liga 3 bersama PS UAD (Universitas Ahmad Dahlan) yang juga sayap pendidikan Muhammadiyah.
Terobosan lainnya adalah akuisisi Persigo Semeru Lumajang oleh PW Muhammdiyah Jatim dan diubah menjadi PS Hizbul Wathan serta berlaga di Liga 2. Sungguh langkah berani dari Muhammadiyah mengingat dana untuk mengarungi kompetisi di Liga 2 terbilang besar dan dapat membengkak sewaktu-waktu.Â
Keberanian ini boleh dibilang bukan asal nekat, Muhammadiyah sudah punya jaringan RS dan Universitas yang solid. Sewaktu waktu dapat dipergunakan bila ada pemain cedera maupun lapangan untuk latihan.
Bila Muhammadiyah sudah mengguita dengan punya klub sendiri, NU secara legal tak pernah memiliki klub atas namanya sendiri. Namun ada ceruk lain yang diisi oleh NU, yaitu pemutaran liga santri antar pesantren.Â
Sejak 2016 NU melalui sayap kepesantrenannya, Rabithah Ma'hadid Islamiyah (RMI-NU) telah menjalankan kompetisi Liga Santri Nusantara (LSN). Bicara perayaan, LSN adalah pesta bagi santri untuk berpeluh selain sorogan mengaji maupun murajaah hafalan.
Diputar di berbagai regional hingga tingkat nasional, awalnya LSN dibiayai oleh Kemenpora dan RMI-NU sebagai operator. Berbagai potret unik terjadi dalam penyelenggaran, mulai dari pemain setiap menjabat tangan wasit sebelum pertandingan malah cium tangan hingga chant suporter yang banyak diisi pujian-pujian dan kalimat thaiyibah Para suporter pun banyak yang bersarung dan masih memakai songkok.Â
Ada potongan cerita menarik ketika seorang pemain dikartu merah, bukannya ngedumel ke wasit dia malah cium tangan dulu sebelum meninggalkan lapangan.
Tapi penyelenggaraan LSN mendapat sorotan serius BPK pada 2019 dan berujung tak lagi disubsidinya LSN oleh Kemenpora. Meski tanpa Kemenpora, RMI-NU masih mampu memutar kompetisinya.Â
Pada tahun 2019 Kemenpora digoyang kasus korupsi dana hibah hingga Menpora Imam Nahrawi terseret. Sayangnya kondisi pandemi pada 2020 memutus keistiqomahan penyelenggaran LSN. Seperti halnya juga PS HW yang belum juga debut di kompetisi resmi setelah Liga 2 urung digelar.
Turun tangannya dua jam'iyah islam terbesar dalam menyemarakkan persepakbolaan Indonesia dapat dimaknai sebagai salah satu ikhtiyar dalam fastabiqul khairat. Sebagai organisasi yang sehari-harinya selalu bersama dengan masyarakat akar rumput, bukan hal aneh merangkul mereka melalui sepak bola yang banyak dijunjung sebagai olahraganya rakyat. Semoga kedepannya NU juga ikut punya klub sepak bola juga, supaya nanti penonton akan disuguhi duel El-Classico antara keduanya.Â
Tak berlebihan bila nanti ada pemain yang terjatuh akan menyebut kalimat thaiyibah alih alih sumpah serapah, atau kedua suporter bukan saling berbalas ejekan tapi antara Ya Lal Wathon dari tifosi NU akan dibalas Sang Surya oleh suporter Muhammadiyah. Tak lupa setelah pertandingan akan ditutup doa dan saling bersalaman dibanding membakar smoke bomb atau menyulut flare. Suara deru knalpot blong suporter sehabis pertandingan akan diganti lantunan pujian dan shalawat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H