Bahkan ketiganya mempunyai warna kostum yang sama, yaitu hijau dan berlaga di stasion yang sama, yaitu Gelora 10 November, Tambaksari Surabaya. Warga Surabaya dan sekitarnya dimanjakan dengan tontonan sepakbola yang melimpah.
Sportivitas selalu terjaga diantara ketiganya. Secara rutin Surabaya mengirim wakilnya ke babak play-off liga dan puncaknya Persebaya menyabet juara pada 1997 dengan menjungkalkan MBR di final setelah semusim sebelumnya Persebaya dan Mitra menduduki peringkat satu dan dua wilayah timur.Â
Mitra sendiri pernah menembus babak semifinal pada edisi 1995-96 dan ASGS lolos ke play-off pada edisi perdana Ligina.
Animo warga Surabaya waktu itu sungguh unik dengan bisa berganti dukungan tiap pekannya. Bila ada salah satu klub bermain, berbondong-bondong Gelora 10 November akan dipenuhi para suporter, dan pekan depannya dapat dipenuhi lagi oleh orang-orang yang sama dengan mendukung panji yang berbeda, diantara ketiga klub tersebut.Â
Hal tersebut dapat dimaklumi, sebab Mitra maupun ASGS bermula dari akar yang sama, yaitu sebagai klub internal kompetisi Persebaya yang kemudian diangkat investor untuk mengikuti Galatama. Tercermin dari pilihan warna kostum yang identik.
Namun hagemoni itu hanya beberapa tahun saja terjadi seiring dengan masih adanya masalah klasik klub Galatama, kesulitan finansial.Â
Tanpa adanya sokongan dana melimpah, sangat sulit menjalankan klub untuk berkompetisi penuh Mitra bahkan pernah mengalami pembubaran ketika terakhir kali bernama NIAC Mitra pada 1990, Agustinus Wenas yang sejak berdirinya klub menyokong dana akhirnya melepas kepemilikannya ke Grup Jawa Pos yang diawali dengan meruginya klub pada kompetisi edisi sebelumnya.
Adalah ASGS yang mengawali meninggalkan pesta bola Surabaya di kompetisi tertinggi. Vonis degradasi diterima ASGS setelah hanya bertengger di posisi 10 dari 11 peserta wilayah timur Ligina edisi ketiga (1996-97).Â
Klub yang dirintis oleh para kaum peranakan Hadrami semenjak 1930an ini mengawali cerita di Galatama divisi 1 pada musim 1990. Berhasil promosi membuat Assyabaab dilirik oleh Group Salim milik konglomerat Sudono Salim membiayai klub dan alhasil nama Assyabaab menjadi Assyabaab Salim Group Surabaya.
Indonesia mulai memasuki masa krisis moneter pada 1997, bertepatan dengan degradasinya ASGS dari divisi utama Ligina.Â
Salim Group memutuskan untuk membubarkan tim alih-alih mengikuti divisi 1. Kondisi finansial Salim Group sendiri sebagai penyokong dana sedang limbung dan terancam bangkrut akibat dihajar krisis.Â