Kalau menyebut sepak bolanya Surabaya, pasti tak lain dan tak bukan adalah Persebaya. Tak akan ada yang menyebut Persikubar atau Surabaya United.Â
Klub yang lekat dengan kostum hijau itu telah menjadi representasi kota pahlawan sejak didirikannya sebagai ahli waris Soerabajasche Indische Voetbal Bond (SIVB).Â
Para pendukungnya yang jamak disebut sebagai Bonek bahkan sudah menjadi sebutan umum untuk para arek Suroboyo.
Sudah menjadi hal umum di kompetisi sepak bola Indonesia bahwa hanya ada satu tim dominan di satu kota. Sebut saja Persebaya dengan Surabaya, PSIS di Semarang, Jakarta dengan Persijanya meski beberapa musim belakangan sering menjadi tim musafir.Â
Bahkan Persib dalam waktu yang langgeng menikmati sebagai klub bagi seluruh masyarakat Jawa Barat. Munculnya klub-klub macam Pelita Jaya Karawang (kemudian Pelita Bandung Raya) hanya seperti tim gurem bagi Persib.Â
Mungkin hanya Mastrans Bandung Raya (MBR) yang sempat punya hagemoni singkat dengan juara Ligina 1995-96, meski harus bubar di akhir musim depannya.
Fenomena adanya dua matahari dalam satu kota tak terlepas dari keputusan PSSI melebur Galatama dan Perserikatan pada 1994 bertajuk Liga Indonesia (Ligina).Â
Tapi di Surabaya cerita agak berbeda, bukan dua, tapi tiga klub sekaligus bertarung dalam satu kota di Ligina. Mereka adalah Persebaya Surabaya, Mitra Surabaya, dan Assyabaab Salim Group Surabaya (ASGS).
Mitra dan ASGS terlebih dahulu rutin bertemu sebab keduanya mentas bersamaan sebagai peserta Galatama. Mitra Surabaya adalah penerus klub NIAC Mitra yang pernah juara Galatama tiga kali.
Bisa dibilang era 90an awal hingga pertengahan adalah keemasan sepak bola di Surabaya. Bayangkan tiga klub sekaligus mewakili kota untuk berlaga di level tertinggi kompetisi sepak bola.Â