Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008, yang dipicu oleh pecahnya gelembung perumahan di Amerika Serikat, mengguncang perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia tidak langsung terpapar pada gejolak pasar properti AS, dampak dari krisis tersebut cukup terasa melalui penurunan permintaan global, krisis likuiditas, serta ketidakpastian di pasar keuangan internasional. Untuk menghadapinya, Indonesia menerapkan bauran kebijakan fiskal dan moneter yang agresif, yang bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pemulihan.
Krisis Keuangan 2008: Dampaknya Terhadap Indonesia
Pada tahun 2008, perekonomian Indonesia menghadapi dua tantangan besar akibat dampak krisis global. Pertama, terdapat penurunan tajam dalam ekspor, terutama dari sektor komoditas, karena permintaan global yang lesu. Indonesia yang banyak mengandalkan ekspor bahan baku seperti minyak, gas, batu bara, serta produk pertanian, langsung terhantam oleh penurunan harga komoditas dan menurunnya daya beli pasar internasional.
Kedua, krisis keuangan global menyebabkan ketidakpastian di pasar keuangan global, memicu gelombang penurunan harga aset, dan meningkatkan volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Banyak investor asing yang menarik investasinya dari pasar Indonesia, mengakibatkan penurunan tajam pada indeks saham Indonesia dan penguatan dolar AS. Dalam situasi ini, ketegangan likuiditas semakin meningkat, dan ada kekhawatiran bahwa krisis ini bisa berdampak lebih buruk bagi perekonomian domestik.
Respons Kebijakan Fiskal Indonesia: Stimulus untuk Ekonomi Domestik
Pemerintah Indonesia merespons krisis ini dengan kebijakan fiskal yang ekspansif untuk mengurangi dampak negatif terhadap perekonomian domestik. Salah satu langkah utama yang diambil adalah penerapan stimulus fiskal berupa peningkatan pengeluaran pemerintah di berbagai sektor, termasuk infrastruktur, program perlindungan sosial, dan sektor-sektor yang terdampak langsung oleh krisis.
Pada akhir 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan paket stimulus ekonomi sebesar Rp 73,3 triliun untuk mendukung perekonomian yang sedang melambat. Stimulus ini mencakup penurunan pajak, peningkatan belanja pemerintah, dan investasi infrastruktur yang diharapkan dapat menyerap tenaga kerja serta mendorong permintaan domestik. Pemerintah juga memperkenalkan program bantuan langsung tunai (BLT) untuk rumah tangga miskin guna menjaga daya beli masyarakat.
Paket stimulus fiskal ini juga mencakup insentif pajak untuk sektor-sektor tertentu yang terdampak berat oleh krisis, seperti industri otomotif dan sektor perbankan. Pemerintah Indonesia berharap bahwa dengan mendorong pengeluaran domestik dan melindungi sektor-sektor utama, ekonomi Indonesia dapat terhindar dari resesi yang lebih dalam.
Namun, kebijakan fiskal ini juga menimbulkan tantangan, terutama terkait dengan potensi pembengkakan defisit anggaran dan utang pemerintah. Meskipun demikian, karena Indonesia masih memiliki rasio utang yang relatif rendah dibandingkan negara-negara maju, kebijakan fiskal ini dianggap sebagai langkah yang diperlukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan Moneter: Menjaga Stabilitas Rupiah dan Likuiditas
Di sisi lain, kebijakan moneter yang ditempuh oleh Bank Indonesia (BI) juga memainkan peran penting dalam merespons krisis 2008. Bank Indonesia, di bawah kepemimpinan Gubernur Boediono, melakukan serangkaian langkah untuk menstabilkan pasar keuangan domestik dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.