Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islamisasi Sejarah Sumpah Pemuda, Kenapa Tidak?

30 Oktober 2017   20:06 Diperbarui: 30 Oktober 2017   20:28 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat saya mendengar tentang Sejarah UI, yang tebersit di benak saya adalah sosok alumninya macam Anhar Gonggong dan JJ Rizal dengan karya-karya mereka yang luar biasa.

Setidaknya itu sebelum seorang kawan mengirimkan tautan tulisan tentang islam, muslim  dan sumpah pemuda melalui WhatsApp. Katanya, "Baca ini, kayak bedebah." (Tolong maafkan teman saya yang kurang beradab itu) Setelah membacanya, saya merintih dalam hati: Yawla! Keamaestroan dua alumni sejarah UI yang saya sebut tadi ternyata tidak ada apa-apanya.

Baca judulnya: "Sumpah Pemuda dalam Pandangan Islam" dan "Muslim Tidak Wajib Sumpah Pemuda". Judul yang gagah. Nama penulisnya juga gagah: Abu. Apalagi sang doktor sejarah alumni UI Tiar Anwar Bahtiar yang dikutip terkenal suka menulis dengan judul yang tak kalah gagah: "Islamisasi Sejarah."

Anda pasti mengharapkan diskursus yang berat dan serius, yang penuh dengan kata-kata sulit macam "diskursus". Pendeknya, tipikal tulisan yang membikin Anda menyerah dan lantas menyetel channel seleb sosmed dedek gemes macam Gita  Savitri Devi atau Lia ketika masuk paragraf ketiga. Tapi, Anda tak akan menemukan itu.

Yang Anda temukan justru kalimat monolog dan miskin dialog macam "Menurut syekh ini syekh itu, thagut, bidah,  sesat, kafir, haram." Jadi agar tidak menjadi  menista agama, kita tidak boleh tanah air, bahasa dan  bangsa Indonesia? Dengan kata lain, kita semua di Indonesia harus menjadi ngislam dan ngarab.

Saya sebetulnya ingin membedah tulisan itu dengan serius. Tapi, mengingat tulisan ini bahkan belum layak masuk Kompasiana (jika saya editor Kompasiana, saya akan menempelkan tag [citation needed] di sana-sini) karena banyaknya kutipan yang cenderung intoleran, mari kita move on saja.

Kabar berikutnya yang sedang naik daun dalam kalangan yang nganu rada intoleran itu adalah polemik Wage Rudolf Supratman penganut Ahmadiyah, yang dianggap bukan Islam oleh tokoh-tokoh mereka seperti Jonru yang dulu membuat beritaga  #AhmadiyahBukanIslam.  Eksistensi dan peran sejarah Wage dinilai tidak pantas karena masyarakat Indonesia mayoritas muslim. Bahkan sampai ada yang membandingkan lagu Indonesia Raya dengan tilawah kitab suci Quran. 

Lebih aneh lagi, ada yang mengatakan bahwa keberadaan hal ini dikhawatirkan akan menjadi sekulerisasi Indonesia dan bisa mengalahkan pamor agama yang dibawa para nabi.

Beberapa kawan saya yang asli NU alias nahdiyin yang dianut mayoritas muslim Indonesia justru mengaku ayem-ayem saja atas keberadaan Wage yang Ahmadiyah dan Sumpah Pemuda serta Indonesia Raya tersebut. Mereka malah menyarankan saya membaca tulisan ilmuwan muslim yang merangkul Indonesia seperti Ayzumardi Azra dan Syafii Maarif serta kalau butuh pandangan hukum atau fiqh ke tulisan Nadirsyah Husein yang menguasai hukum syariah islam dan hukum sekuler.

Saat sumpah pemudanya yang mayoritas peserta dan panitianya adalah muslim. Ketika para pahlawan itu disebut-sebut ikut dalam usaha pelecehan agama, tentu saja saya merasa harus membuat pembelaan.

Pertama, Indonesia ini bukan berada di timur tengah. Sehingga kalau mau seratus persen copy paste kondisi jaman nabi hidup dan kondisi jaman sekarang kita hidup bukanya barokah malah menimbulkan masalah. Contohlah teks-teks tentang makanan kurma dan daging unta ya kalau secara normal dipaksa kurma dan unta tak dapat hidup di kepulauan nusantara.

Kedua, sumpah pemuda ini bukan berhala atau thagut. Sedari awal, pembangunanya memang sekedar sebagai akad atau perjanjian. Toh juga orang indonesia di KTP dan tata cara ibadahnya tetap menyembah Tuhanya masing-masing buktinya hari besar keagamaan ramai trus tuh bahkan kalau jumat masjid selalu penuh, minggu gereja juga penuh lho.

Ketiga, terkait kritik terhadap tanah air, bangsa dan bahasa. Ada ajaran membela tanah air adalah bagian dari iman contoh resolusi jihad yang sekarang jadi hari santri. Soal konsep bangsa yah ini kan masalah muamalah yang nabi saja memberikan kebebasan.Terkait bahasa arab sebagai bahasa surga kok kayaknya ini paling ganjal mengingat nabi sebelumnya dari berbagai macam bahasa. Untuk lebih pahamnya silahkan baca sendiri artikel lewat google terutama sumber NU yang pro  Indonesia.

Keempat, perihal amal dan dosa, beriman dan kafir. Yah kalau percaya kepada hari penghakiman atau hari akhir semua itu hak prerogatif Tuhan. Nasib Wage siapa yang tahu kalaupun dia mau kemana setelah mati bukan urusan kita lagi.

Nah, keempat alasan ini sebenarnya sudah cukup untuk menangkis argumen orang-orang yang mempermasalahkan sumpah pemuda, indonesia raya, dan wage dengan muslim dan islam. Daripada sibuk mempermasalahkan beberapa hal itu yang katanya representasi sekulerisme dan konspirasi, sekalian saja bikin cucoklogi agar punya bukti bahwa semua itu Islami. Gajahmada bisa diislamkan menjadi Gaj Ahmada masa Sumpah Pemuda dan Wage tidak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun