Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sumpah Pemuda Zaman "Now", Harusnya Membuat Kita Malu

30 Oktober 2017   09:44 Diperbarui: 27 Oktober 2020   22:21 7825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saking derasnya banjir linimasa terkait sumpah pemuda atau sumpah pemuda jaman now, mulai dari selfie jokowi sama anak muda milenial, upacara di daerah yang berakhir lomba, hingga tulisan-tulisan nasionalisme dalam berbagai media dan tidak lupa film wage beserta kebijakan jokowi yang ingin mengembalikan lagu indonesia raya menjadi 3 stanza serta kemeriahan deklarasi kebangsaan di mana-mana. 

Barangkali hanya sedikit yang membaca atau bahkan mengingat narasi-narasi sejarah sebenarnya tentang sumpah pemuda. Narasi-narasi yang mungkin akan membuat kita sedikit terketuk dan malu terhadap generasi muda jaman old yang sudah tiada lagi di dunia. 

Pada tanggal 28 oktober 2017 kata kunci sumpah pemuda sempat riuh di mesin pencari google beserta yamin sebagai artis tahunan dengan tambahan wage karena filmnya lagi happening atau terkenal di kalangan generasi muda milenial atau kids jaman now. 

Banyak yang lupa fakta Sumpah Pemuda acaranya di rumah orang Tionghoa, dalam satu sesinya mendengarkan lagu Indonesia Raya yang dikarang oleh seorang Ahmadiyah ya siapa lagi kalau bukan Wage. 

Mazhab, keyakinan, agama, bahkan identitas suku tidak pernah penting seperti keikutsertaan pemuda komunis yang katanya tak beragama, atheis dan agnostik lalu tak lupa ada banyak pemuda penganut agama pribumi seperti agama suku dayak. 

Jangan lupa sebagaimana umumnya acara pemuda kongkow-kongkow atau nongkrong jaman old pada masa itu juga dimanfaatkan untuk mencari jodoh seperti banyaknya laki-laki yang terlibat cinta lokasi dengan para wanita termasuk primadona atau idola jaman old yaitu Siti Sundari. 

Tidak ketinggalan adanya manusia-manusia muda yang ingin menonjol ke permukaan dengan menunjukan kemampuan dan kecerdasanya berpidato seperti Kusno atau Presiden Sukarno dan dalam soal menulis seperti Yamin serta bermusik seperti Wage.

Saat ini di Indonesia memasuki masa ledakan populasi dengan banyaknya generasi muda atau kasarnya banyak kids jaman now yang beranjak dewasa. Tentu saja semuanya terbagi dalam sekat-sekat suku, agama, ras dan golongan dibawah naungan Indonesia. 

Saya rasa ini bukanya tanpa masalah. Minimnya serapan lapangan kerja pada angkatan kerja membuat para pemuda gampang frustasi dan kecewa apalagi melihat banyak kaum tua berbuat seenaknya dan seakan kebal hukum seperti kasus rekaman SN. 

Hal ini membuat sekat-sekat SARA mudah dimainkan untuk kepentingan oknum yang tak bertanggung jawab dengan dikotomi mayoritas-minoritas dan pribumi dan non pribumi.

Masih ingat kasus aksi 212 dan terkait dengan Al-Maidah, yang bermaksud mengkriminalisasi Ahok berlangsung dan berhasil menggerakkan jutaan muslim termasuk generasi mudanya, berlangsung di Indonesia, saya kerap teringat kisah Sumpah Pemuda jaman Old atau jaman dulu ketika Wage, Sukarno, Yamin dan Siti Sundari masih hidup. 

Begini pembaca jaman dulu para pemudanya juga tak kalah gahar namun semuanya selesai dengan damai pada akhir kongres. Pada masa lalu ribut-ribut masalah tanah air, bahasa dan bangsa itu gak sehalus film Wage yang sekarang dapat kita tonton dibioskop atau situs bajakan. 

Segala macam perbedaan panas bukan lantas membuat mereka main tuntut sana tuntut sini sampai berantem sampai mati kepada golongan berbeda. 

Dengan legowonya mereka saling berupaya memadamkan bara api emosi dengan dialog hingga lahir 3 bait sumpah pemuda dan lagu Indonesia Raya.

Sampai sekarang ini di Indonesia kita disuguhi ceramah-ceramah oknum tokoh agama yang isi ceramahnya galak dan panas terkesan ingin seratus persen mengcopy paste kehidupan para pendiri agama terdahulu ke Indonesia jaman sekarang. 

Celakanya organisasi-organisasi besar macam NU yang ramah pada tradisi lokal dan terbuka pada perubahan kemudian menjadi sasaran ujaran kebencian dipandang keluar dari ajaran agama. 

Jangan lupakan organisasi-organisasi kecil macam Ahmadiyah yang juga sudah lama ada di Indonesia dianggap bukan bagian dari agama. 

Lah kok kita jaman sekarang sedikit-sedikit main persekusi mengusir Ahmadiyah padahal dulu Wage yang pemuda Ahmadiyah itu mendapat tempat pada sumpah pemuda jaman old atau jaman dulu.

Kelakuan para politisi juga tak kalah memprihatinkanya jaman sekarang. Para pemimpin bangsa ini bukanya merangkul perbedaan malah ikut-ikutan terbelah juga. 

Contohnya pidato Anies Baswedan yang menyampaikan pidato tentang pribumi yang membuat heboh Indonesia dalam pro dan kontra. 

Seolah-olah penggambaran pribumi itu hanya meliputi suku-suku yang dianggap asli seperti Jawa, Batak plus Arab sementara Tionghoa itu aseng dan Barat itu asing sampai banyak meme soal ini di dunia maya. 

Lha kok kita jaman sekarang ribut-ribut soal asing atau aseng sementara data menunjukan kalau kita masih butuh bantuan asing dalam soal penanaman modal dan transfer ilmu pengetahuan serta teknologi. 

Faktanya sejarah kita menerima orang tionghoa bahkan sumpah pemuda memakai rumah orang tionghoa selain itu pendiri kopasus pasukan terkenal Indonesia itu orang barat yang dinaturalisasi ke Indonesia.

Sekarang mari kita tunjuk muka kita sendiri sebagai rakyat biasa kaum muda milenial. Lihat kelakuan kita sekarang yang hanya mementingkan eksistensi dunia maya dengan banyak follower dan lebih mementingkan diri sendiri dengan sibuk soal asmara. 

Yah mungkin kalau saya kritik pakai teori marx atau kelas sosial sekarang generasi muda telah menjadi kelas menengah yang hanya gagah di dunia maya kontras dengan dunia nyata. Malulah pada kids jaman old yang mencetuskan sumpah pemuda. 

Pada jaman dulu walaupun Marco, Sukarno, Yamin dan Wage sibuk soal asmara memperebutkan Siti Sundari, mereka masih sempat memikirkan persatuan dan karya dengan pidato, tulisan, lagu dan sumpah pemuda yang dapat dinikmati bersama komunitas sosial dan generasi muda jaman now.

Soal tanah air generasi muda juga memalukan contohnya suka traveling ke sana kemari bahkan sampai keluar negeri serta tak segan berusaha pindah kewarganegaraan ke luar negeri. 

Pengalaman kompasianer TE di Australia dalam tulisanya berhadapan dengan orang Indonesia yang berusia lebih muda yang tanpa malu mengajak TE sekalian mengajukan pindah negara ke sana.Selain itu banyak modus lain dilakukan generasi muda jaman sekarang dengan belajar ke luar negeri lalu lama kelamaan pindah kesana. 

Orang-orang dulu yang ikut sumpah pemuda macam Sukarno itu loh sampai menolak beasiswa luar negeri dan tak mau diajak pacarnya yang orang bule pindah jadi warga negara Eropa. 

Zaman dulu lebih susah masbro mbakbro ada pembagian kelas yang lebih parah enggak bisa dengan mudahnya daftar pns atau jadi pengusaha bahkan pejabat negara. 

Mereka juga gak sekedar main deklarasi dan beritagar bahkan hastag atau lomba-lomba semata-mata konsep generasi muda jaman old terbukti direalisasikan kemudian menjadi aksi perjuangan kemerdekaan dalam bentuk negara Indonesia.

Soal bahasa Indonesia saya gak bisa komentar banyak. Soalnya kids jaman old pas sumpah pemuda juga kesulitan pakai bahasa Indonesia bercampur bahasa daerah dan belanda sampai undangan sumpah pemuda asal belanda yaitu Van Der Plas tertawa terbahak-bahak. 

Bedanya generasinya mereka yaitu muhammad yamin, soegondo, marco, sukarno, wage, sundari dan yang lain-lain berusaha keras berbahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Orang-orang terpelajar jaman dulu itu memang terkenal menguasai banyak bahasa bahkan penguasaan bahasa asing, indonesia dan daerah sekaligus.

Sekarang kita generasi muda memiliki kecenderungan yang sama untuk mencampur adukan bahasa walaupun dapat membuat profesor, doktor, dosen dan guru bahasa indonesia sedikit terguncang.

Serangkaian tulisan saya ditas itu semata-mata adalah usaha untuk membuat Indonesia terutama kita generasi muda "terbiasa" dengan perbedaan. 

Serangkaian tulisan itu pula yang mengingatkan kita kepada ungkapan Marthin Luther, In the end, we will remember not the words of our enemies, but the silence of our friends atau kalau yang lebih barokah ungkapan Ali Bin Abi Thalib, mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaaan atau kalau mau yang lebih suci ungkapan Quran, sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia berbeda untuk saling mengenal.

Ketika pemuda jaman dulu mendeklarasikan diri siap menjadi Indonesia dengan sumpah pemudanya. Jika kebijakan pribumi-non pribumi dan asing-aseng benar-benar diterapkan, terkadang saya membayangkan pemuda di Indonesia memberikan dukungan aksi serupa dengan mendeklarasikan diri siap membelahak kaum minoritas dan hak asasi manusia di Indonesia. 

Coba bayangkan apabila nanti saya berhasil menggandeng Chelsea Islan yang Katolik atau Gita Savitri Devi yang Melayu atau Agnes Monica yang tionghoa itu benar-benar bhinekka tunggal ika dan sumpah pemuda jaman now atau kekinian bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun